KONTROVERSI NAMA DAN AGAMA WILLEM
Tercatat dalam buku Peranan Willem Iskander Dalam
Pembaharuan, Perubahan nama Sati Nasution menjadi Willem Iskander, disertai pula perpindahan agama
Sati menjadi Kristen. Basyral mencatat bahwa Groen-lah yang membaptis Willem pada 1858 itu.
Akan tetapi fakta ini dibantah Pangaduan Lubis. Menurut dia,Willem tidak pindah agama, karena mereka menikah secara
Burgerlyke Stand, artinya dispensasi mempelai tetap dalam agama masing-masing.
Fakta ini juga tertuang dalam tulisan Pangaduan Lubis yang juga mengutip buku Tuanku
Rao. Dalam buku itu dikatakan ada kelicikan pemerintah kolonial Belanda yang berhasil membusukkan nama Willem Iskander. Di depan Assistent
Resident Belanda dan di depan Raja-raja Mandailing, Willem dipaksa mengaku menikah di gereja padahal ia menikah secara catatan sipil ( Burgerlyke Stand). Pernyataan ini terbantahkan lagi dalam buku Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas. Basyral menemukan surat yang ditulis Willem di Panyabungan kepada Profesor Millies di Utrecht mengenai kepindahan agamanya. Yang Dipertuan Hutasiantar menenangkan hati Sutan Kumala, kakak Willem dengan ucapan, “Setiap orang bertanggung jawab memelihara kalbunya masing-masing.”
Dalam catatan Basyral, sekembalinya Willem ke Mandailing, ia mendapat pesan dari Yang Dipertuan Huta Siantar agar hubungannya tidak renggang karena berbeda agama.
Pada kenyataannya di masa kini, Rizali Harris Nasution, Pendiri Pusat Informasi dan Dokumentasi Mandailing, menyatakan masyarakat Mandailing sama sekali tidak mempersoalkan masalah itu. Tidak ada satu pun yang “mengkafirkan sosok Willem”.
Agama apa pun yang dianut oleh Willem, keberadaan Willem dalam sejarah Mandailing adalah bukti bahwa toleransi masyarakat Mandailing cukup baik. Bisa menerima perbedaan di tengah keberadaan umat Muslim di Mandailing.