Intisari

TANPA INGAR BINGAR TERUS MENGAJAR

-

Lama tidak terdengar kiprahnya di media massa, Yayasan Indonesia Mengajar

(IM) rupanya tetap konsisten mengirim para relawannya yang disebut Pengajar Muda ke pelosok-pelosok Indonesia. Saat ini IM sudah sampai pada angkatan ke-XX yang baru saja berangkat bertugas, Maret 2021.

Total selama 11 tahun berdiri, hingga kini IM sudah terjun di 28 kabupaten dengan 1.037 Pengajar Muda dan berkarya di 251 sekolah. Menurut Haiva Muzdaliva, Managing Director Indonesia Mengajar, kegiatan IM tetap berjalan terus mengingat peminatnya juga masih besar. “Setiap tahun pendaftar sekitar 7.000 orang, bahkan pernah sampai 15.000 orang. Padahal yang diterima hanya 50-75 orang,” tutur Haiva.

Haiva mengungkap­kan, memang pernah IM diwacanaka­n untuk dihentikan. Terutama setelah salah seorang Pengajar Muda,

Aditya Prasetya, meninggal di Saumlaki, Maluku, pada tahun 2013. Pihak IM saat itu tidak ingin kasus serupa terjadi lagi, karena dampaknya dinilai tidak baik.

Namun setelah didiskusik­an lebih jauh, kata Haiva, aktivitas IM tetap berlanjut hingga hari ini. Apalagi kala itu orangtua Aditya sendiri berpesan agar rekan-rekan tetap melanjutka­n perjuangan anaknya untuk memajukan dunia pendidikan Indonesia.

pendidikan di suatu tempat tentu menghasilk­an anak didik yang punya prestasi akademik terbatas. Begitu pula di Kepulauan Yapen, Radhiyan merasa prihatin karena anak-anak juga mengalami hal tersebut.

Ia misalnya menjumpai, ada anak kelas 5 atau 6 yang masih kesulitan membaca, melakukan perkalian serta pembagian. Karena itu Radhiyan punya target pribadi saat mengajar di sekolah itu, yaitu minimal anak-anak di kelas 6 sudah bisa menyelesai­kan soal luas segitiga. Itu target minmal sampai dia menyelesai­kan tugas sebagai Pengajar Muda.

“Untuk menyelesai­kan soal luas segitiga kan diperlukan beberapa operasi hitung dasar seperti perkalian, pembagian, dan desimal. Jadi saya mulai ajarkan sejak awal,” tutur Radhiyan yang aslinya adalah sarjana ilmu politik Universita­s Indonesia ini, menjabarka­n target pribadinya.

Akan tetapi di balik situasi yang memprihati­nkan, anakanak di Kepulauan Yapen bahkan Papua umumnya, ternyata punya kecerdasan lain yakni linguistik. Anak-anak sejak kecil tidak ragu untuk tampil di muka umum dan punya kemampuan public speaking yang baik.

Ini terbukti ketika Radhiyan mempersila­kan murid-muridnya untuk tampil di depan kelas.

Mereka ternyata berebut tunjuk tangan, minta beraksi di depan teman-temannya. Di depan kelas mereka biasanya akan membawakan cerita-cerita “mop”, semacam stand up comedy. Ya, mereka melawak!

Mereka menuturkan cerita lucu dengan struktur yang lengkap mulai dari premis, set up, dan punch line, mirip struktur lawakan cerdas yang biasa dipertonto­nkan di televisi dan Youtube. Hasilnya, kelucuanke­lucuan ala masyarakat lokal yang mengundang tawa bersama.

Menurut Radhiyan, kemampuan ini sebenarnya luar biasa. Karena ia kebetulan juga pernah mengajar sebuah SD di daerah Pangandara­n, Jawa Barat, lewat Gerakan Universita­s Indonesia Mengajar (GUIM). Saat itu untuk meminta anak-anak tampil di depan kelas sangatlah sulit. Rata-rata anakanak malu untuk tampil, apalagi sampai membawakan materi seni di depan kelas.

“Kalau di sekolah ini, anak kelas 1 SD saja sudah bisa membuat pantun,” tutur pria bernama panjang Muhammad Radhiyan Pribadi ini terkagum-kagum.

Hanya sebulan

Pengalaman bersentuha­n dengan dunia pendidikan Indonesia juga dirasakan Adinda Yusra, mahasiswa dan relawan yang sempat mengajar di desa Pagardalam, Kabupaten

Pesisir Barat, Lampung.

Adin, begitu ia biasa disapa, mengajar bersama dengan rekanrekan­nya para relawan dari GUIM, selama sebulan, pada Januari 2020.

Di desa yang sudah mengarah ke Provinsi Bengkulu tersebut, Adin merasakan wajah yang berbeda dari wajah pendidikan Indonesia. Meski sarana dan prasarana boleh dikata cukup lengkap, namun ternyata materi pelajaran berjalan lebih lambat dari semestinya. Penyebabny­a karena situasi di kelas tidak selalu memungkink­an.

Akibat kondisi tersebut, Rencana Pelaksanaa­n Pembelajar­an (RPP) yang sudah disusun sebelumnya, tidak berjalan semestinya. Padahal sebelum para relawan berangkat ke lokasi ini mereka sudah mempersiap­kan segala bahan pelajaran sampai alat-alat peraga.

“Saya malah sudah mempersiap­kan apa saja yang akan disampaika­n di depan kelas kepada anak-anak,” tambah Adin yang meski mengaku terkejut tapi tidak kecewa.

Berbeda dengan Indonesia

Mengajar yang merencanak­an pelaksaan programnya selama setahun, GUIM lebih singkat, satu bulan saja. Dalam kurun waktu tersebut, para pengajar berkesempa­tan berkontrib­usi terhadap pengajaran anak-anak di kelas. Namun di sisi lain ada juga pengalaman berharga saat mendamping­i guru kelas saat mengajar.

Dari kerjasama dengan guru wali kelas inilah Adin bisa mendapat gambaran yang lebih lengkap tentang profesi guru. Sebuah situasi yang membuatnya semakin mengagumi peran guru dalam mendidik anak-anak dengan berbagai macam keadaannya. Guru yang harus selalu sabar dan pandai mengelola emosi.

“Saya saja yang baru mengajar sebulan sudah merasa emosi banget. Sementara mereka sudah bertahun-tahun. Membuat anakanak itu tetap bisa on di kelas, tidak gampang!” tutur mahasiswa Jurusan Biologi UI angkatan 2019 ini.

Siaran radio

Menariknya, kiprah para relawan di daerah tempat mereka diterjunka­n, tidak sebatas masalah pengajaran di depan kelas. Para relawan di GUIM juga punya sejumlah program untuk masyarakat setempat, seperti kegiatan penyuluhan tentang hidup sehat. Di sela waktu mengajar,

mereka juga berkunjung ke rumah orangtua murid dan mendengar tentang situasi belajar di rumah.

“Saat saya berkunjung ke salah satu murid, saya jadi tahu bagaimana sikap murid tersebut ke gurunya. Ternyata tidak disangka mereka bisa sangat antusias menyambut kami,” tutur Adin yang sempat ditangisi salah seorang muridnya lantaran tidak diperboleh­kan pulang.

Sementara untuk para Pengajar Muda di Indonesia Mengajar, program pemberdaya­an masyarakat dalam bidang pendidikan adalah salah satu misi mereka di daerah penugasan. Para Pengajar Muda yang bertugas di Kabupaten Kepulauan Yapen misalnya, berupaya menghimpun sejumlah penggerak pendidikan setempat untuk sama-sama berpartisi­pasi dalam mendidik masyarakat setempat.

Salah satu bentuknya, ikut memberi materi pelajaran melalui acara di Radio Republik Indonesia. Kebetulan saat itu Pandemi Covid-19 mulai merebak, sejumlah daerah memberlaku­kan lock down, dan sekolah diliburkan. Para Pengajar Muda ini akhirnya mengajar di siaran radio selama satu jam per minggu, mengingat pembelajar­an secara online tidak memungkink­an.

Para Pengajar Muda ini juga mengumpulk­an sejumlah penggerak pendidikan di

Kabupaten Kepulauan Yapen. Mereka sama-sama membuat capacity building untuk sama-sama meningkatk­an kemampuan public speaking. Mereka juga membuat acara kemah untuk para penggerak pendidikan ini untuk diajak berkolabor­asi.

Hasil dari acara kemah adalah program wisata belajar. Komunitas ini sama-sama berkunjung ke daerah-daerah yang menjadi daerah tempat penugasan Pengajar Muda dan menggelar acara mengajar kreatif. Pada Hari Pendidikan Nasional, bulan Mei 2021 ini, komunitas ini juga berencana membuat Festival Edukasi.

“Kami buatkan jejaring agar terbentuk komunitas pendidikan dan terjadi kolaborasi di antara mereka sendiri. Karena kami kan tidak selamanya di sini. Dan ketika kami pergi, mereka sudah saling berkolabor­asi,” tutur Radhiyan

Para Pengajar Muda ini juga mengumpulk­an sejumlah penggerak pendidikan di Kabupaten Kepulauan Yapen. Mereka sama-sama membuat capacitybu­ilding untuk sama-sama meningkatk­an kemampuan publicspea­king

yang selalu bersemanga­t jika bercerita tentang masa-masa bertugas sebagai Pengajar Muda.

Para Pengajar Muda ini memang tidak selamanya berkiprah di suatu daerah. Setiap kabupaten dibatasi hanya lima tahun saja, kemudian Indonesia Mengajar akan pindah ke kabupaten di daerah lain. Selama itu mereka mengirimka­n 5 angkatan. Untuk Kabupaten Kepulauan Yapen misalnya, tahun 2021 merupakan tahun terakhir.

Karena keterbatas­an waktu itulah mereka punya misi untuk membangun ekosistem pendidikan yang baik. Sebab para Pengajar Muda ini percaya, sebuah mutu pendidikan yang baik lahir dari ekosistem pendidikan yang baik. Prasarana pendidikan, kualitas guru, sistem pembelajar­an, dan penunjang lainnya harus dalam kondisi baik.

Jadi vegetarian

Berkiprah sebagai guru di daerah yang asing, tentu butuh pengorbana­n yang tidak kecil. Para Pengajar Muda sudah menyadari konsekuens­i ini sejak awal. Karena itu selain persiapan untuk mengajar di depan kelas dan kemampuan leadership sebagai penggerak di daerahnya, mereka juga harus mempersiap­kan mental untuk situasi-situasi tidak terduga.

Bagi Radhiyan, kenyataan yang harus dihadapi adalah harus mampu bertahan hidup di suatu daerah yang tidak ada pendatang sama sekali. Sementara budaya, kebiasaan, dan pola kehidupan sehari-hari sangat berbeda dengan yang sudah dijalaniny­a selama ini. Belum lagi persoalan ketiadaan listrik dan sinyal telekomuni­kasi.

Contoh persoalan adalah makan sehari-hari. Kebetulan pola makan masyarakat setempat berbeda dengan masyarakat di tempat lain yang lebih teratur. Mereka makan saat memang membutuhka­n dengan cara memetik atau berburu dari hasil alam. Sementara di desa tersebut juga tidak ada penjual makanan atau warung.

Persoalan lain, sebagai Muslim, Radhiyan tidak bisa ikut menyantap makanan mereka yang kebanyakan non-halal. Contohnya, babi, kelelawar, atau kuskus. Alhasil, selama bertugas, ia harus menjadi vegetarian dadakan karena kebanyakan hanya makan sayur dan buah. “Pernah satu hari saya hanya makan mangga, karena memang adanya cuma itu,” kenang Radhiyan tanpa bermaksud menyesalin­ya.

Karena kondisi yang terbatas itulah, saat berada di kota kabupaten, yaitu Serui, mereka seolah “balas dendam” dengan cara makan sepuasnya. Di kota itu keberadaan para Pengajar Muda memang cukup diperhatik­an oleh para “orangtua asuh”, seperti Bupati, para Kepala Dinas, dan

pegawai-pegawai negeri sipil setempat.

Di balik situasi yang serba terbatas, Radhiyan tidak mengeluh. Justru dia merasa beruntung bisa mengenal bentuk kehidupan lain dari yang selama ini dikenalnya di kota.

Dalam pemahamann­ya, masyarakat asli di tempat penugasann­ya justru beruntung. Karena mereka hidup bahagia dan serasi bersama alam. Apa pun yang dibutuhkan semua tersedia di sekitar dan tinggal memetiknya. “Mereka tidak pernah stres seperti orang-orang kota,” tutur Radhiyan yang seolah menertawak­an diri sendiri.

Radhiyan sendiri memang melihat tanah di sekitar Desa Sembrawai begitu subur. Segala jenis tanaman mudah tumbuh. Istilahnya, lempar batang singkong ke atas tanah langsung tumbuh. Penduduk minum dari air sungai yang jernih mengalir. Ikan-ikan berloncata­n di antara bebatuan sungai, sehingga tak sulit menangkapn­ya. Banyak binatang buruan di kawasan hutan yang bisa menjadi sumber protein menyehatka­n.

Satu hal yang menakjubka­n di mata Radhiyan adalah keberadaan sumber air panas di pantai. Kita tinggal menggali pasir di pantai menggunaka­n sekop, lalu akan mengalir panas di dalamnya, mirip seperti bak-bak mandi di hotel untuk berendam. Begitu damai dan lepas semua beban sehari-hari. Kalau sudah begitu, apa lagi yang hendak dicari dalam hidup ini?

 ??  ?? Pengajar Muda mengikuti pendidikan di alam sebelum terjun ke daerah tugas.
Pengajar Muda mengikuti pendidikan di alam sebelum terjun ke daerah tugas.
 ??  ??
 ??  ?? Bukan hanya mendidik dan mengajar, para Pengajar Muda juga bersahabat dengan anak-anak muridnya.
Bukan hanya mendidik dan mengajar, para Pengajar Muda juga bersahabat dengan anak-anak muridnya.
 ??  ?? Bermain di alam bersama muridmurid­nya yang punya kecerdasan alamiah.
Bermain di alam bersama muridmurid­nya yang punya kecerdasan alamiah.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia