Pasukan Bersepeda Jepang, Efektif Seperti Kavaleri
Berbekal sepeda kayu, gerak maju tentara Jepang terbantu. Hingga akhirnya Hindia Belanda pun takluk.
Balatentara Jerman butuh modal besar untuk menduduki para tetangganya di Eropa, karena harus mengerahkan banyak kendaraan lapis baja dalam divisi Panser-nya. Di Jawa, untuk menghajar tentara kolonial di Hindia Belanda Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL), Jepang tidak memakai tank atau panser dalam jumlah besar. Jepang bahkan lebih ekonomis dengan bermodal sepeda.
Militer Jepang tentu sudah memperhitungkan akan dirusaknya jembatan oleh pihak Hindia Belanda agar menghambat gerak laju militer Jepang. Pihak Hindia Belanda sendiri sudah membentuk Algemene Vernielengs Corps ( korps perusak) yang menghancurkan bangunan dan jembatan agar tidak dipakai oleh tentara Jepang.
Sepeda menjadi solusi yang baik, karena ringan sehingga mudah diseberangkan dibandingkan kendaraan besi dengan roda lebih dari empat. Para serdadu cukup mengangkat sepedanya tinggitinggi ketika harus menyeberangi sungai atau jika beruntung mereka bisa membuat jembatan darurat dengan kayu.
Jika mereka terhambat jembatan rusak, meski tank dan truk harus tertinggal di belakang hingga pasukan zeni membereskan jembatan, pasukan bersepeda bisa maju terlebih dahulu. Apalagi tentara KNIL Belanda yang seharusnya menyambut mereka dengan pertempuran ternyata tidak banyak memberikan perlawanannya. Serdadu KNIL yang biasa menghadapi perlawanan rakyat lokal itu ternyata memang tidak berdaya menghadapi tentara asing.
Sepeda yang dipakai Jepang, seperti disebut Djajusman dalam Hancurnya Angkatan Perang Hindia Belanda (KNIL) (1978: 197) adalah sepeda dengan frame yang terbuat dari kayu dan bisa dilipat. Jika hendak menembak musuh,
Sebelum 1940, Jepang adalah negara industri yang sangat maju untuk ukuran Asia. Membuat sepeda kayu tentu bukan hal sulit, dibanding membuat sepeda besi yang bahannya sulit diperoleh. Jozen Takeuchi dalam The Role of Labour-Intensive Sectors in Japanese Industrialization (1991:113) setelah 1880 tempat pengrajin sepeda kayu meningkat di Jepang.
mereka tak perlu meninggalkan sepeda, cukup berdiri di atas sepeda mereka yang kecil.
Sebelum 1940, Jepang adalah negara industri yang sangat maju untuk ukuran Asia. Membuat sepeda kayu tentu bukan hal sulit, dibanding membuat sepeda besi yang bahannya sulit diperoleh. Jozen Takeuchi dalam The Role of Labour-Intensive Sectors in Japanese Industrialization (1991:113) setelah 1880 tempat pengrajin sepeda kayu meningkat di Jepang.
Bermodal industri yang kuat, meski kurang bahan baku, militer Jepang berani melakukan serangan ke banyak wilayah di Asia Timur dan Tenggara. Termasuk Indonesia yang dijaga dengan buruk oleh KNIL Belanda.
Dengan sepeda kayu merebut Jawa
Jawa tentu saja sasaran penting tentara Jepang. Jawa diserbu dari pesisir utara, setelah Sumatra, Kalimatan dan lainnya diduduki terlebih dahulu. Ibarat pendakian gunung, Jawa adalah puncaknya. Di sinilah sepeda-sepeda kayu yang bisa dilipat itu beraksi dengan hebatnya.
Eretan Wetan, Indramayu, Jawa Barat rupanya dijadikan lokasi pendaratan tentara Jepang pada 1 Maret 1942. Pendaratan terbilang mulus, orang-orang Indonesia tidak merasa terganggu dan mendapatkan tontonan unik, serdadu-serdadu yang tidak biasa mereka lihat.
Di Eretan Wetan, truk, tank, dan banyak sepeda diturunkan. Setelah pasukan mendarat, pada hari itu juga pasukan di bawah Kolonel Thosinori Shoji terus bergerak ke Subang, tempat pangkalan udara militer Belanda.
Pasukan utama Jepang, yakni infanteri (sebutan untuk pasukan pejalan kaki) kini mengendarai sepeda, menjadi pasukan yang berjalan paling depan. “Mereka dapat bergerak dengan cepat sekali sehingga pada sore hari itu juga lapangan terbang berhasil diduduki,” tulis Djajusman (1978:210). Dengan menduduki Subang, tentara Jepang itu sudah dekat dengan jantung militer KNIL Hindia Belanda.
Di Jawa Tengah, Kragan, Rembang, pun jadi tempat pendaratan tentara Jepang pada 1 Maret 1942. “Dari Kragan mereka bergerak ke selatan, didahului oleh pasukan pelopornya yang naik sepeda pendek terbuat dari kayu,”
Penggunaan sepeda buatan Jepang tentu bukan tanpa masalah. Rosihan Anwar dalam Musim berganti, sekilas sejarah Indonesia, 1925-1950 (1985:99) menyebut banyak ban sepeda serdadu Jepang yang pecah karena jalanan begitu panas di daerah tropis.
aku RIS Pramoedibyo dalam Pelajar Pejoang: Keterlibatanku di dalam Perang Kemerdekaan (1993:18).
Setelah bergerak di darat yang terhitung daerah musuh, tak selalu sepeda itu dibawa. Jika mereka bertemu dengan penduduk yang bersepeda biasa mereka akan menukar sepedanya atau merampasnya. Pasukan-pasukan ini bergerak ke arah Cepu dan Ngawi. Cepu adalah daerah minyak.
Teluk Banten, pada 1 Maret 1942, juga menjadi lokasi pendaratan tentara Jepang. Dari Banten, pasukan itu akan menuju Jakarta. Seperti di tempat lain, pasukan infanteri bersepeda menjadi pasukan terdepan. Ketika pasukan Jepang bergerak maju, militer KNIL dan orang-orang Belanda memilih mundur. Banyak kendaraan roda empat yang tertinggal. Kendaraan itu akhirnya dimanfaatkan oleh tentara Jepang untuk bergerak maju.
Penggunaan sepeda buatan Jepang tentu bukan tanpa masalah. Rosihan Anwar dalam Musim Berganti, Sekilas Sejarah Indonesia, 1925-1950 (1985:99) menyebut banyak ban sepeda serdadu Jepang yang pecah karena jalanan begitu panas di daerah tropis. Para serdadu tak mau ambil pusing. Sepeda itu terus dikayuh hingga lingkaran roda sepeda mengenai aspal.
Pergerakan pasukan itu menjadi terdengar berisik. Sepeda para serdadu Jepang itu tidak jarang menyeret batok kelapa. Hingga mereka menghasilkan suara yang mirip deru tank. Jika itu dilakukan pada malam hari, akan tampak menyeramkan bagi lawan mereka. Serdadu Inggris asal India yang membantu Belanda di Jawa pun dibikin ketakutan karenanya.
“Tank, tank!” kata serdadu Inggris. Mendengar suara itu di malam hari membuat mereka harus bergerak mundur. Jadi sepeda-sepeda buatan Jepang yang dikendarai serdadu-serdadu mereka itu ibarat pasukan kavaleri modern dengan kendaraan lapis bajanya yang maju paling depan. Jika biasanya kavaleri melepaskan tembakan dari moncong meriam kecil atau senapan mesinnya, kali ini “kavaleri” bersepeda Jepang itu cukup mengeluarkan bunyinya
yang mirip tank saja.
Dengan mundurnya pihak Belanda dan sekutunya, mau tak mau membuat tentara Jepang maju lebih mudah lagi ke tujuan mereka. Jakarta, yang sebelum dikuasai Jepang bernama Batavia, sebetulnya sudah ditawarkan menjadi kota terbuka oleh pihak Belanda, namun tawaran itu tak digubris oleh pihak militer Jepang.
Jepang memberi ancaman kepada Jakarta dengan hanya mengirim bom ke Pelabuhan Tanjung Priok. Onghokham dalam Runtuhnya Hindia Belanda (1987:253) kota Jakarta tidak dapat lagi dipertahankan oleh tentara Belanda dan sekutunya. Hingga dikosongkan dan menjadi kota terbuka pada 5 Maret 1942. Jakarta sepi oleh tentara belanda dan sekutunya. Militer Belanda kala itu terpusat di Bandung.
“Mayor Jenderal Schilling mengambil keputusan untuk melepaskan kota Jakarta (Batavia) dan memerintahkan pasukanpasukannya untuk bergerak mundur ke daerah Bandung,” tulis Djajusman. Sebelum pergi, Tanjung Priok dibakar. Kata Onghokham, orang-orang penting berbangsa Belanda tentu saja sudah angkat kaki dari Jakarta.
Setelah Jakarta jadi kota terbuka, maka serdadu-serdadu Jepang dengan mudah memasuki kota Jakarta. Bahkan disambut orangorang Indonesia sebagai pahlawan. Kala Jepang masuk, Soebadio Sastrosatomo adalah mahasiswa Recht Hoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia. Dia menjadi saksi tentara Jepang yang mendarat di Teluk Banten itu memasuki Jakarta dari arah Tangerang. Orang-orang Indonesia menyambut kedatangan tentara Jepang itu dengan gembira.
“Lho, ini tentara naik sepeda, kok bisa menang,” kata Soebadio dalam hati. Tiga hari setelah Jakarta diduduki, pada 8 Maret 1942, terjadi penyerahan tanpa syarat—dari petinggi Hindia Belanda macam Gubernur Jenderal Tjarda dan Letnan Jenderal Hein Ter Poorten—kepada tentara Jepang di Kalijati, Subang. Jadi, berkat dukungan sepeda kayu juga, balatentara Jepang hanya
Terkait perkara sepeda, di zaman pendudukan Jepang itu, ada yang berbeda di mata Sunaryadi Tejawinata. “Sepeda-sepeda besi yang biasa beredar di jalanan mulai menghilang tanpa jejak. Keberadaan sepeda kayu menjadi alternatif baru yang diizinkan beradar di jalanan
butuh waktu satu minggu untuk menguasai Jawa. Setelah Jawa dikuasai maka Hindia Belanda pun bubar.
Sepeda-sepeda yang dirampas Jepang
Setelah Hindia Belanda diduduki sikap serdadu Jepang yang semula ramah mulai berubah menjadi kasar dan ditakuti oleh rakyat Indonesia yang di tahun 1942 menyambutnya dengan bahagia.
Setelah Jawa diduduki, di dalam daerah pendudukan itu, sepeda kayu menjadi alat patroli tentara Jepang. Serdadu Jepang yang berpatroli dengan sepeda kayu setidaknya punya gambaran menakutkan, seperti dalam film Lebak Membara (1982). Rakyat jelata di kampung-kampung sebaiknya menghindarinya saja.
Terkait perkara sepeda, di zaman pendudukan Jepang itu, ada yang berbeda di mata Sunaryadi Tejawinata. “Sepeda-sepeda besi yang biasa beredar di jalanan mulai menghilang tanpa jejak. Keberadaan sepeda kayu menjadi alternatif baru yang diizinkan beradar di jalanan,” Sunaryadi Tejawinata dalam Melayani dengan Hati (2020:14).
Seingatnya, sepeda dengan rangka besi berganti dengan rangka kayu. Kemudian hanya rantai dan pedal saja yang terbuat dari besi. Semua yang berbau logam, kemudian dilebur untuk dijadikan senjata untuk perang.
“Tahun 1942, awal pendudukan
Jepang, sepeda baruku dirampas oleh serdadu Jepang di pinggir jalan dekat kuburan, di Blora,” aku sastrawan besar Indonesia Pram alias Pramoedya Ananta Toer, dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995:250). Pram kehilangan sepeda itu pada suatu sore waktu seorang tentara Jepang mencegatnya. Sepeda itu adalah hadiah dari ibunya waktu zaman dia sekolah di Surabaya dulu.
Pram pun harus beli sepeda baru lagi di Jakarta. Tak hanya sepeda saja yang dirampas serdadu Jepang, arloji kebanggaannya juga dirampas oleh serdadu Jepang. Di zaman Jepang radio juga barang rampasan oleh tentara Jepang.
Penyair Sitor Situmorang juga punya cerita soal kehilangan sepeda, meski bukan sepedanya, melainkan sepeda kawannya. Sitor, dalam Sitor Situmorang, Seorang Sastrawan 45, Penyair Danau Toba (1981:69) mengaku sepeda kawannya itu dirampas serdadu Jepang di Lapangan Waterloo. Lapangan yang dimaksud kini sudah jadi Lapangan Banteng. Serdadu Jepang itu, kata Sitor melakukan segala-galanya hanya untuk Tenno Heika ( kaisar Jepang), barangkali termasuk sepeda kawannya yang dirampas itu.
Karikaturis Indonesia Augustin Sibarani, dalam Karikatur dan Politik (2001:83), bercerita bila sepeda milik si serdadu Jepang itu rusak, maka dia akan merampas
sepeda orang Indonesia dengan cara mencegat. Bukan hal aneh lagi jika serdadu itu juga akan “main tempeleng” demi sepeda pancal. Serdadu Jepang sangatlah menakutkan. Kehilangan sepeda, bagi sebagian orang Indonesia, lebih baik daripada hilang nyawa atau disiksa.
Perkara merampas sepeda, tidak hanya terjadi di Jawa atau hanya dilihat oleh tiga orang budayawan tadi. Di pulau Sumatra dan Kalimantan, serdadu Jepang yang miskin peralatan dan logistik itu juga merampasi sepeda penduduk untuk kepentingan mereka.
Bagi banyak orang Indonesia di zaman Jepang, sepeda tergolong barang mewah yang tidak mudah didapatkan. Tak semua orang bisa punya sepeda di zaman Hindia Belanda yang relatif tenang, apalagi di zaman pendudukan Jepang yang perekonomiannya sulit. Jepang hanya 3,5 tahun saja berkuasa di Hindia Belanda yang kemudian berubah menjadi Indonesia.
Ketika Perang Dunia II, di front Pasifik, Jepang tidak memiliki bahan baku memenuhi kebutuhan perangnya, sehingga menguasai Kalimantan yang punya minyak dan Jawa yang punya beras, menjadi hal penting. Minimnya sumber daya Jepang, sudah diperhitungkan beberapa orang terpelajar Indonesia bahwa kekalahan Jepang atas sekutu hanya tinggal menunggu waktu saja.