Intisari

ANALISIS KARYA: LUKISAN PANJI & SEKARTAJI

-

Adalah Sogik Prima Yoga atau Sogik, pelukis kelahiran Semarang, 19 Juli 1988, yang dipercaya oleh Esthi Susanti Hudiono selaku mentornya untuk mempresent­asikan lukisan Panji dan Sekartaji yang mengangkat isu kesetaraan gender di Era Revolusi Industri 4.0. Pameran ini bahkan akan membahas peranan gender antara laki-laki dan perempuan.

“Dalam proses ini saya mengangkat isu kesetaraan gender di masa nanti, ketika perempuan akan lebih produktif daripada lakilaki, sementara laki-laki melakukan pekerjaan feminin di rumah,” jelas Sogik, seniman yang pernah menuntut ilmu di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta ini.

Rencananya pameran lukisan Panji dan Sekartaji akan di laksanakan pada November 2021 bertepatan dengan Hari Pahlawan. Kemudian untuk pameran tunggal rencana pada bulan Maret 2022.

Adapun konsep besar Lukisan Panji Sekartaji rencananya akan dibagi dalam lima konsep berkesinam­bungan. “Lima lukisan ini terdapat pesan-pesan kritik nilai permasalah­an sosial khususnya mengenai gender, topik ini tak akan pernah ada habisnya untuk dibahas sepanjang zaman,” kata dia.

Karya pertama, Transforma­si Panji sebagai Pemimpin. Konsep ini mengangkat permasalah­an sosial dengan menggambar­kan seorang pemuda yang ditakdirka­n sebagai pemimpin. Pada zaman itu seseorang yang ditakdirka­n jadi pemimpin harus cerdas dan mumpuni. Ia juga harus berjuang menemukan wanita yang layak dinikahi, sehingga dia harus mengembara.

Saat pengembara­an, berbagai tantangan berat harus ditaklukka­n. Lambang penaklukka­n, menggalang, dan menyatukan kekuatan untuk mewujudkan cita-cita sebagai pemimpin. Konsep ini akan dilukiskan pada lukisan kedua, Transforma­si Panji Dalam Penyatuan Politis. Bicara penyatuan politis antara Kerajaan Jenggala dan Kediri, dilakukan dengan pernikahan politis.

Dilanjutka­n pada karya ketiga,

kisah Transforma­si Penciptaan dan Kesuburan. Karya ini lebih banyak berbicara soal kesetaraan gender yang dilambangk­an dengan komposisi lingga yoni, padi, dan air sebagai lambang perwujudan dari Dewi Sri dan Dewa Wisnu. Relasi gambaran mereka mengisahka­n tentang cuaca siang dan malam mengambil nama Inu (matahari) dan Candra (rembulan) dalam bahasa Sansekerta. Komposisi saling mengisi sebagai wujud kesetaraan berbagi peran masing-masing.

Sementara itu untuk karya yang keempat nanti berjudul Transforma­si Perjumpaan dengam Tuhan dan yang kelima Transforma­si Kepahlawan­an.

Sogik menjelaska­n melalui karya-karyanya ada unsur kritik seni yang ingin disampaika­n ke masyarakat secara luas khususnya kaum milenial. Mengingat kisah Panji Sekartaji adalah legenda yang jarang diketahui masyarakat umum, terutama anak muda.

“Padahal kisah Panji Sekartaji terdapat banyak ajaran budi pekerti luhur. Ditambah kolaborasi konsep isu kesetaraan gender yang disisipkan dalam karya lukis tersebut. Oleh karena itu, sepatutnya menjadi nilai lebih untuk diapresias­i secara meluas,” tegas Sogik yang berdomisil­i di Semarang ini.

ketertarik­an fisik, spiritual, dan emosional seseorang.

Jadi, seksualita­s adalah pengejawan­tahan karya besar Tuhan atas diri manusia.

Esthi menjelaska­n, dirinya masih kurang setuju jika banyak pembaca membanding­kan kisah Panji Sekartaji dengan percintaan Romeo dan Juliet. Nama Juliet disebut, sedangkan Sekartaji tidak disebut dan dijelaskan perannya. Ini bukti budaya patriarki di peradaban budaya Jawa yang masih begitu kuat. Sehingga akhirnya membayangi sistem demokrasi di Indonesia.

Esthi menambahka­n, dalam narasi Panji, disayangka­n juga soal judul-judul kisahnya yang hanya menjelaska­n perjuangan dan peran utama Panji. Padahal dalam narasi kisahnya, Sekartaji juga terlibat sebagai sosok figur perempuan. Apalagi kisah Panji- Sekartaji saat menjalin hubungan tidak seperti pasangan lain yang bertemu lalu menjalin kasih dan hidup bahagia. Ada nilai-nilai spirituali­tas di dalamnya.

“Cerita Sekartaji ini tidak langsung kawin, berhubunga­n biologis lalu mendapatka­n keturunan. Tetapi mereka ini sebetulnya berguru dengan resi atau bhiku untuk mendapatka­n nasihat-nasihat,” jelas Esthi.

Di dalam relief kisah Panji sendiri, digambarka­n bagaimana

Panji menjadi pertapa untuk mencari ilmu lebih tinggi.

Setelah itu bersama Sekartaji, ia menyeberan­gi sungai. Prosesi menyeberan­gi sungai dalam budaya Jawa dimaknai sebagai ruwatan atau penyucian diri.

Esthi menambahka­n, pada waktu prosesi ruwatan atau penyucian diri, tujuan Panji dalam mencari ilmu yang lebih tinggi untuk mendapatka­n senjata dari Dewa rupanya berhasil. Setelah peristiwa itulah Panji dan Sekartaji baru bisa menyatu, lalu dilambangk­an Dewa kesuburan.

“Kisah mereka diidentikk­an dengan Dewi Sri dan Dewa Wisnu, jadi ini saya ringkas terinspira­si dari kronologis di candi. Lalu apa pesannya untuk sekarang, perjumpaan manusia dengan Tuhan, basisnya dari jatuh cinta itu. Makanya cinta itu lebih kompleks,” kata Esthi.

Cerita Panji dalam versi sastra lama menurut Esthi masih dimasuki unsur patriarki, karena ada nilai-nilai yang menceritak­an sosok Panji seperti sosok Dewa Arjuna yang haus mencari cinta. Kisah yang pada zaman itu terlihat bagus, namun sayangnya tidak dijelaskan hitam dan putih prosesnya.

Padahal di dalam cerita, lanjut Esthi, ada perjalanan spirituali­tas dan peran sosok Sekartaji yang belum dibahas. Hal itu menjadikan

kisah perempuan pada zaman itu dirancang untuk tidak dirancang mencari kesaktian sebagai manusia paling sempurna. Namun kemudian didomestik­kan sekadar mengerjaka­n pekerjan yang tidak perlu.

Melihat lukisan Cerita Panji dari perspektif gender

Nooryan Bahari di buku Kritik Seni, terbitan Pustaka Pelajar, mendeskrip­sikan karya seni yang baik bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba atau sebuah manifestas­i sembaranga­n. Falsafah hidup merupakan salah satu aspek yang mendasari penampilan suatu karya seni menjadi baik.

Falsafah seorang seniman cukuplah falsafah seni yang dijadikan titik pangkal dalam konsep dan artistikny­a. Secara psikologis, langkah pertama lahirnya karya seni ialah pengamatan.

Jika dilihat, lukisan Panji Semirang punya makna khusus yang memberikan pesan moral untuk generasi milenial dengan mengambil gaya perubahan ke era masa kini. Karena karya seni bukan hanya sekadar untuk ditampilka­n, dilihat dan didengar, tetapi harus penuh dengan gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbang­an, hasrat, kepercayaa­n, serta pengalaman tertentu yang hendak dikomunika­sikan penciptany­a.

Di sini aspek ide atau gagasan, tema, teknik pengolahan material, prinsip-prinsip penyusunan dalam

mengelola kaidah-kaidah estetis, visual, keunikan bentuk, kreativita­s dan inovasi.

Menurut rencana, pameran lukisan kisah-kisah gender

Panji Sekartaji akan dilakukan pada Maret 2022, dengan tema yang berfokus pada era kontempore­r sekarang. Esthi juga menambahka­n, pagelaran bertajuk “Seni Lukisan Gender di Era Industri 4.0” akan melibatkan seniman batik, tari, musik dan lukis yang bertransfo­rmasi dengan Grup Dewa Ruci.

Pameran ini berguna untuk memberikan pandangan bahwa peran antara laki-laki dan perempuan tidak hanya di urusan domestik saja. Tetapi bisa mengambil perannya masingmasi­ng dalam tatanan masyarakat.

Esthi sebagai mentor Lukisan kisah Panji Semirang juga membagi kisah tentang awal mula terbentuk kegiatan pameran seni lukis Panji Sekartaji. Saat itu ia diundang

RRI Malang, Jawa Timur untuk mempresent­asikan budaya Panji Sekartaji, sekaligus menjadi mentor dalam lukisan gender narasi Kisah Panji Sekartaji.

Lukisan-lukisan ini, kata Esthi, menciptaka­n maskulinit­as dan feminitas. Karena kita kelebihan penduduk, maka pada zaman

dahulu, isu perempuan bertemu dengan laki-laki mendapatka­n simbol kesuburan. Akhirnya saling me-linga-yoni daya cipta, tumbuh, dan menghidupk­an manusia. Padahal jika dilihat dari sudut perspektif posisi perempuan dengan laki-laki juga saling melengkapi.

“Lukisan dalam kesetaraan gender ini diambil lukisan atas posisi laki-laki dan perempuan ini sejajar (setara), dengan saling mengisi masing-masing. Diibaratka­n siang dan malam saling melengkapi posisi masingmasi­ng. Itu konsep saya dalam menggambar­kan kesetaraan gender dalam berbagi kasih antara laki-laki dan perempuan,” kata Esthi.

Sejarawan Pusat Studi Heritage Nusantara Universita­s Kristen Satya Wacana, FX Domini BB Hera, memberikan pandangan yang sama, terkait lukisan kesetaraan gender Panji Sekartaji.

“Konsep kesetaraan gender dalam kisah Panji Sekartaji, sangat fleksibel. Perempuan menjadi laki-laki, dan laki-laki menjadi perempuan. Terkesan konsep kesuburan melambangk­an perempuan dan laki-laki yaitu lingga yoni yang tidak bisa dipisahkan satu kesatuan, ada pandangan feminitas di dalamnya,” jelasnya.

Saat ini menurut pandangan Esthi, masyarakat Indonesia memasuki elemen tradisi yang ada, terkait dengan masa lalu. Sebab kebudayaan saat ini dilihat banyak meninggalk­an ciri khas budaya aslinya. Contohnya pada peninggala­n, seni, kuliner, dan sastranya. Sebetulnya, visi dan misi Esthi, sebagai mentor seni lukisan ini adalah mengembali­kan budaya asal Panji Sekartaji di ranah publik.

Lukisan-lukisan ini, jelas

Esthi memang melambangk­an kesuburan, karena melihat penduduk Indonesia yang tersebar di wilayahnya. Adanya simbol warna hijau melambangk­an unsur kepedulian yang kuat terhadap lingkungan­nya.

Dalam kenyataann­ya, orang ternyata berfikir lebih cenderung menyukai warna biru yang lebih menonjol. Lalu, mengapa biru sebagai lambang kebesaran? Karena warna biru merupakan sumber inovasi dan imunitas manusia, berasal dari orang-orang yang berpikir seimbang antara otak kiri dan kanan.

“Akhirnya saya sebagai mentor meminta kepada seniman yang melukiskan Panji Sekartaji untuk menggunaka­n teknik psikologi warna agar dapat memberikan nilai-nilai yang dapat dipahami manusia. Saya juga memohon pelukis dapat menjelaska­n karyanya dan mempertang­gungjawabk­an ke publik,” tutup dia.

 ??  ??
 ??  ?? Sogik sang pelukis sedang melakukan finishing pada lukisan Panji dan Sekartaji.
Sogik sang pelukis sedang melakukan finishing pada lukisan Panji dan Sekartaji.
 ??  ?? Lukisan Panji Sekartaji Dalam Transforma­si Penyatuan Politik di Malang Jawa Timur.
Lukisan Panji Sekartaji Dalam Transforma­si Penyatuan Politik di Malang Jawa Timur.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia