Pengrajin Topeng Yang Bertahan Dari Gerusan Zaman
Cerita Panji tak hanya mengalir sampai jauh, tetapi juga variatif dalam media penyampainya. Dari hikayat sampai tari topeng. Untuk kebutuhan tari topeng atau wayang orang ini, muncullah perajin topeng panji. Salah satunya Samadi, yang tinggal di Dusun Bobung, Putat, Patuk Gunungkidul.
Hujan mengiringi kedatanganku sore itu saat memasuki Dusun Bobung, Desa Putat, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunugkidul. Saya lantas teringat puisi Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni. Ya, puisi itu seperti kehilangan greget saat ini karena Juni masih sering basah oleh hujan. (Sapardi mengisahkan, pada 1989, ketika ia menulis puisi tersebut, hujan memang tak pernah jatuh pada bulan Juni.)
Jalanan sepi. Berbekal koordinat yang dikirim Erina, putri Samadi, saya menyusuri jalanan kecil beraspal yang mengelupas di sanasini. Di sebuah pertigaan sistem GPS mengarahkan berbelok kanan memasuki jalan yang hanya cukup dilalui satu mobil. Harap-harap cemas saya mengikuti saja sampai kemudian jalanan seperti tidak memungkinkan untuk saya lalui. Titik akhir sudah dekat.
“Petanya kurang akurat. Nanti tanya saja kalau sudah dekat,” begitu pesan Erina.
Dalam gerimis sore saya pun turun dan memarkirkan mobil di tempat yang agak pinggir. Beruntung tempat agak longgar dan masih bisa untuk berbalik arah.
Lewat seorang pemilik warung tak jauh dari tempat saya parkir, ternyata rumah Samadi tidak begitu jauh lagi. Sekitar 100 m di depan.
Berlari kecil saya menuju ke rumah Samadi yang berada sekitar dua meter di atas jalan. Dusun Bobung berkontur tidak rata karena berada di ketinggian sebuah bukit dari jajaran pegunungan Sewu Gunungkidul. Lokasinya tak jauh dari objek wisata Gunung Nglanggeran.
Agak lama mengetuk pintu sebelum orang yang saya cari akhirnya keluar. Kami kemudian mengobrol di teras rumah yang merangkap sebagai tempat kerja Samadi.
Sejak lulus SD
“Saya sudah lama tidak membuat topeng. Tangan sudah mulai kaku sepertinya. Sekarang saya kerja di bangunan,” Samadi mulai bertutur soal kondisi terkini. Di dusunnya banyak yang beralih profesi.
Ada yang membuat mainan dari kayu seperti mobil-mobilan, ada juga yang mencari profesi jauh dari profesi sebelumnya seperti dilakukan Samadi.
Semua berawal dari pandemi. “Semenjak Lebaran tahun kemarin, terakhir saya mengerjakan patung besar. Patung klasik juga. Habis itu tidak pernah lagi menyentuh peralatan bikin topeng ini,” tunjuk Samadi ke rak di sebelahnya yang penuh dengan peralatan membuat topeng dan beberapa topeng Panji.
Padahal, hampir di seluruh umurnya ia habiskan untuk kerajinan kayu. Tinggal di pemukiman yang sejak tahun 1970-an sudah dikenal sebagai desa penghasil kerajinan kayu, pria kelahiran 17 November 1970 ini sudah menghasilkan uang selepas lulus SD.
“Saya ikut kerja ke Pak Sujiman, pemilik usaha kerajinan kayu ‘Karya Manunggal’,” Samadi bercerita.
Sujiman, bersama Tukiran, adalah dua orang murid Mbah Wagio. Mereka merupakan perajin topeng angkatan pertama di Dusun Bobung sekitar tahun 1970-an. Tukiran kemudian mengembara ke Yogya mendalami cara membuat patung loro blonyo, sebelum kembali lagi ke Bobung.
Mbah Wagio sendiri adalah mantan kepala Dusun Batur, tetangga Dusun Bobung. Ia adalah menantu Mbah Karso, pembuat topeng Panji yang terkenal di masa lalu untuk wilayah Gunungkidul.
Mbah Karso tinggal di Dusun Ngeduro, sebuah dusun di pegunungan yang cukup tinggi di Desa Putat. Dusun Bobung dan Batur berada di bawah Dusun Ngeduro.
Jejak wilayah itu sebagai perajin topeng Panji bisa dirunut dari keberadaan wayang beber di Karangmojo, Gunungkidul. Wayang beber adalah lukisan tentang cerita Panji pada selembar kain yang mulai dibuat pada masa Kerajaan Majapahit. Wayang beber di Karangmojo ini menjadi jejak terakhir wayang beber buatan masa lalu yang masih bisa kita lihat bersama dengan wayang beber di Pacitan milik keluarga almarhum dalang Sarnen yang menceritakan tentang “Jaka Kembang Kuning”.
Satu-satunya di Bobung
Dari sekian puluh perajin yang membantu Sujiman, Samadi menjadi sosok yang berbakat dalam membuat topeng Panji alusan. Dengan bimbingan dan pesanan yang mengalir terus menerus dari Sujiman, keahlian Samadi semakin terasah. Hanya berbekal foto topeng kuno dan bimbingan dari Sujiman, akhirnya Samadi menjadi perajin yang andal di Bobung. Secara tidak langsung, Samadi menjadi murid angkatan kedua Mbah Wagio.
Setelah merasa cukup bekal di ‘Karya Manunggal’, pada 1992 Samadi pun keluar dan mandiri.
Berbarengan dengan menikahi Marini. Ia kemudian menekuni pembuatan topeng Panji dan topeng wayang. Sampai sebelum pandemi Covid-19, ia menjadi jujukan orang yang mau pesan topeng Panji.
“Saya jadi satu-satunya yang mengerjakan topeng Panji di Bobung ini. Orederan Pak Sumijan dikasih ke saya,” kata Samidi.
Para pemesan biasanya membawa contoh atau foto topeng. Seperti diungkapkan dalam buku Panji dari Bobung terbitan Bentara Budaya Yogyakarta, menurut Samadi, guru terbaik untuk belajar membuat topeng adalah melihat langsung atau lewat foto yang dapat menggambarkan bentuk dan warna topeng kuno atau klasik.
Samadi sudah melatih ingatan sejak kecil. Ia bisa membuat topeng dengan mencontoh topengtopeng lama. Ingatan itu ia pahat dengan kuat di benaknya, sama seperti ia mengukir pernak-pernik topeng. “Semua sudah saya hafal. Bagaimana bentuk Panji, Klana, Sekartaji, Anggraeni,” ujar Samadi.
Selain menghafal karakter topeng, Samadi juga harus hafal dengan karakter kayu. Setiap kayu yang dipakai untuk bahan dasar topeng memiliki karakter dan teknis pekerjaan tersendiri. Misalnya, kayu pule harus dikerjakan ketika masih basah
atau setegah kering sebab jika sudah kering akan susah dibentuk. Sebaliknya, kayu terbelo puso harus dikerjakan ketika sudah kering. Sama seperti kayu jati.
“Untuk membuat topeng Panji bahannya terbelo puso. Bisa juga kayu jati. Lebih bagus, tapi jati itu berat. Kurang nyaman kalau dipakai untuk menari. Kecuali kalau untuk koleksi,” tambah Samadi.
Sebulan 15 topeng
Karena harus dalam kondisi kering, maka Samadi selalu menyimpan kayu terbelo puso dalam kondisi sudah kering. Kayu itu sudah dipotong-potong dalam bentuk balok seukuran topeng. Satu balok bisa untuk membuat tiga atau empat topeng.
Tidak seperti para pendulunya, Samadi tidak melakukan ritual khusus sebelum membuat topeng Panji. Dia hanya berdoa. “Tidak ada upacara khusus. Begitu juga dengan ketika menebang kayu terbelo puso. Tidak ada hari khusus atau ritual tertentu. Kecuali kalau tempatnya angker,” tutur Samadi.
(Selama ini kayu terbelo puso didatangkan dari Ponjong, Semanu, Panggang. Masih di kawasan Gunungkidul. Di Bobung sendiri
sudah ada penanaman kayu ini tapi masih kecil-kecil pohonnya. “Usia 20 tahun lebih baru bisa dibuat topeng,” jelas Samadi.)
Dari balok kayu yang sudah kering itu, Samadi kemudian mulai mengayunkan kampaknya membuat topeng tahap pertama. “Dibentuk segitiga. Untuk hidung (sisi runcingnya), Untuk tinggi topeng saya melihat siapa yang akan makai. Biasanya rata-rata 16 cm. Kalau orangnya besar ya 17 cm.”
Setelah bakalan patung selesai, barulah Samadi mengerjakan tahap kedua. Ini bagian muka yang lebih detail. Perlu ketelitian dan kehatihatian. Perlu konsentrasi dan mood yang bagus sebab jika salah sedikit harus mengulang dari awal. “Tapi jika kayu tidak memiliki ‘ciri’, saya jarang harus mengulang dari awal. (‘Ciri’ di sini) misalnya retak atau ada pokol. Jadi harus dicongkel,” tutur Samadi.
Setelah bagian muka selesai dengan detail-detail khas setiap karakter tokoh dalam cerita Panji, Samadi kemudian mengerjakan bagian belakang yang sebelumnya sudah tercoak tapi masih kasar. Dengan meraba-raba, ia harus membuat cekungan belakang dengan ketebalan sekitar setengah sentimeter.
Selama ini Samadi hanya mengerjakan topeng Panji pesanan. Ia tidak membuat topeng Panji untuk dijual ke pasaran. “Sudah ada yang membeli. Entah untuk koleksi
atau untuk digunakan dalam tari topeng. Dulu sebulan bisa merampungkan 15 topeng. Satu topeng bisa tiga harian. Dikerjakan siang malam,” ujar Samadi sambil menambahkan bahwa ia hanya bikin topeng mentahan – belum diwarnai – dengan kisaran harga Rp250.000.
Namun, ritme tadi terganggu oleh ulah pandemi Covid-19.
Sudah hampir tujuh bulan lebih Samadi tidak memegang peralatan membuat topeng. Di sisi lain, ia belum bisa mencari penerus perajin topeng Panji. Sempat mengajari anaknya, namun pandemi membuat pesanan tidak ada. Otomatis tidak ada sarana untuk melatih ketekunan dan kehati-hatian dan juga mengukir bentuk-bentuk Panji di benak.
Semoga pandemi berakhir dan Samadi bisa mengeluarkan peralatan membuat topeng Panjinya. Untuk menghidupi diri sendiri dan mencari pengganti dirinya.
Gerimis masih membasahi Dusun Bobung ketika saya pamit pulang. “Udan salah mongso mengacaukan ritme sawah kami. Harusnya bulan seperti ini kami menanam palawija. Tapi kalau kena hujan pasti gagal panen. Kalau menanam padi, belum tentu airnya nanti cukup untuk membesarkan padi. Sawah kami kan tadah hujan,” kata Samadi sambil melepas kepergianku.