Di Balik Topengtopeng Karakter Panji
Panji tak hanya melebur sebagai kisah romansa dalam relief dan naskah leluhur. Ia berkembang menjadi filosofi dan karakter dalam ragam topeng yang menari.
Sewaktu kecil, saya sering membaca buku tentang legenda asli Nusantara yang memiliki kisah beragam seperti Timun Mas, Keong Mas, Panji Semirang, hingga AndeAnde Lumut. Semua kisah itu memiliki perbedaan terkait tokoh dan beberapa peristiwanya, tetapi akhir ceritanya selalu bahagia.
Salah satu cerita favorit saya adalah Panji Semirang yang mengisahkan putri kerajaan Daha, Dewi Candrakirana dan pangeran Inu Kertapati dari Kerajaan Kahuripan. Dewi Candrakirana kabur dari kerajaannya karena dituduh gila, padahal sebelumnya ia hendak dinikahkan dengan Inu Kertapati yang merupakan cinta sejatinya sejak lama.
Ketika Inu Kertapati ingin mengunjungi Daha, ia harus berhadapan dengan kelompok perampok yang dipimpin Panji Semirang. Kedua belah pihak tidak saling menyerang, justru Panji Semirang menyarankan agar tidak mempercayai bahwa kawanannya sebagai perampok adalah stigma yang salah, mereka adalah masyarakat miskin. Panji Semirang juga menyarankan agar tidak mempercayai apa-apa terkait dirinya berdasarkan isu dari kerajaan Daha.
Singkatnya, raja Daha menyarankan agar Inu Kertapati dinikahi dengan saudari Dewi Candrakirana, yakni Dewi Ajeng. Menolak hal itu, Inu Kertapati lebih memilih berkelana mencari pujaan hatinya dalam waktu yang sangat lama. Dia menyadari bahwa Panji Semirang yang pernah ditemuinya adalah kedok samaran Dewi Candrakirana. Pencarian berlanjut untuk menemukan Panji Semirang, tetapi hasilnya tetap saja nihil.
Di sisi lain, Dewi Candrakirana sudah tak lagi menyamar sebagai Panji Semirang, ia mengubah identitasnya sebagai penyair bernama Jaka Asmara. Suatu ketika, Dewi Candrakirana mendapat panggilan kerajaan untuk menghibur Inu Kertapati dengan puisinya. Saat itu Inu Kertapati berjasa menyelamatkan Galenggang.
Ketika dilantunkan, Inu
Lambat laun saya menyadari bahwa legenda ini berkisah pada suatu budaya yang disebut tradisi Panji. Cerita rakyat ini bukan hanya sekedar pengantar tidur anak-anak atau romansa biasa. Tradisi Panji memiliki sarat makna yang bisa dipahami filosofi, budaya, dan sejarahnya.
Kertapati merasa ada kemiripan syair itu dengan kisahnya selama ini. Ia mencoba menyelidiki siapa Jaka Asmara yang ada di hadapannya. Akhirnya terungkap bahwa penyair ini adalah Dewi Candrakirana. Mereka pun akhirnya dipertemukan kembali, dan hidup dengan bahagia.
Lambat laun saya menyadari bahwa legenda ini berkisah pada suatu budaya yang disebut tradisi Panji. Cerita rakyat ini bukan hanya sekedar pengantar tidur anakanak atau romansa biasa. Tradisi Panji memiliki sarat makna yang bisa dipahami filosofi, budaya, dan sejarahnya.
“Salah kalau kamu hanya menganggap cerita Panji sekadar cerita cinta-cintaan, ini bukan seperti sinetron yang digilai tapi enggak ada maknanya,” ujar Henri Nurcahyo, seorang budayawan Panji. Ia menanggapi pernyataan saya yang saat itu masih terbatas memahami Panji.
Makna yang disampaikan budaya Panji bahkan memiliki intrik politik untuk mewujudkan pemimpin negeri yang ideal. Misal dalam kisah Panji Semirang, sosok Inu Kertapati
sebagai pangeran meminta masukan dari pengawalnya. Hal ini tak biasa pada zaman kerajaan Nusantara, seolah kisah ini membawa pesan demokratis yang tersirat, menurut Henri.
Meski kisahnya menceritakan kalangan kerajaan, tetapi cerita Panji berbeda dengan legenda Ramayana dan Mahabharata yang diimpor dari India.
Beberapa dari kisah Panji bahkan menggambarkan Sekartaji yang rela meninggalkan kerajaan asalnya. Sekartaji pun mengalami cross gender selama kepergiannya, yang seakan berpesan kalau isu gender adalah hal yang sudah ada sejak lama di negeri ini.
Budaya Panji ini paling tua ditemukan dalam relief Candi Kendalisodo di Jawa Timur pada 1996 oleh arkeolog Jerman, Lydia Kieven. Kieven lewat buku hasil penelitiannya berjudul Menelusuri Panji & Sekartaji, mengungkap bahwa Panji sudah ada sejak Majapahit, dan dipastikan berasal dari Jawa Timur.
Kemudian menurut Henri,
Panji selanjutnya tersebar ke seluruh Asia Tenggara dan melebur dengan kebudayaan yang ada lewat beragam bentuk, seperti naskah, lagu, wayang, drama, dan tari. Itu sebabnya para budayawan menyebut Panji disebut sebagai budaya atau tradisi, bukan sekadar cerita belaka.
Topeng Panji sebagai puncak spiritualitas
Thomas Stamford Raffles melalui The History of Java, menyebut bahwa budaya Panji muncul dalam kesenian topeng Cirebon. Raffles menulis, kesenian ini terdiri dari dalang dan enam orang pemuda yang menari diiringi dengan musik gamelan yang dimainkan empat orang.
Topeng sendiri tak terlepas dari tradisi Panji. Topeng juga disebut sebagai kedok yang bertujuan untuk menyamarkan identitas asli penggunanya. Kedok berfungsi untuk menyampaikan nilai luhur yang dalam tariannya.
Sedangkan Yayan Nurhidayah dari IAIN Syekh Nurjati dalam makalah tahun 2017 menyebut, tari topeng ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha di Jawa Barat yang memiliki pesan keagamaan.
Fungsi ini kemudian digunakan oleh Sultan Cirebon Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung
Jati) dan Sunan Kalijaga untuk penyebaran agama Islam, karena sempat pudar seiring para raja di Pulau Jawa memeluk agama Islam. Tujuannya, agar agama Islam bisa diterima lebih dekat kepada masyarakat lewat pertunjukkan kebudayaan yang selama ini mereka kenal. Hingga saat ini ada banyak ragam gaya tari topeng yang memiliki unsur Panji yang
karakternya diadopsi dari budaya Jawa.
Endang Caturwati, seniman dari Institut Seni Budaya
Indonesia, Bandung menerangkan, bermacam-macam gaya ini karena proses penyebaran yang dibawa murid-murid Sunan Kalijaga dan Gunung Jati yang kemudian dikembangkan. Perkembangan gaya itu antara lain mengikuti daerah tempat penyebarannya seperti Slangit, Palimanan, Kroya, Beber, Indramayu, Gegesik, Majalengka, dan Losari.
“Tapi kalau tari topeng
Cirebon menjadi karakter dari perkembangan manusia atau siklusnya yang mulai dari topeng amarah sampai menuju ke
Panji,” tutur Endang. “Beberapa gaya itu akhirnya berkembang karena mempunyai amanah untuk menurunkan penyebaran Islam lewat pendidikan karakter Islam, begitu juga di daerah penyebarannya.”
Ada lima topeng dalam tari ini yang menggambarkan siklus sifat manusia. Topeng paling dasar disebut Klana yang merupakan gambaran manusia dengan hawa nafsu tinggi, amarah, egois, dan tempramental. Klana digambarkan dengan wajah merah dan kumis tebal yang terkadang bila dipentas secara lelakon menggambarkan karakter Rahwana.
Sedangkan topeng paling atas adalah Panji dengan wajah putih dan tak membentuk gender apapun. Karakter Panji yang merupakan gambaran sifat manusia yang suci seperti baru lahir, sempurna, lembut, jujur, dan bijak. Topeng Panji adalah tujuan dari semua rangkaian tari topeng, dan membutuhkan latihan yang cukup rumit.
“Inilah yang membedakan budaya Panji di Jawa Barat dengan daerah Jawa lainnya. Ia hanya mengambil karakter yang digambarkan lewat topeng sebagai perjalanan siklus sifat manusia. Berbeda dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang menjadi nama sosok,” tambah Endang.
Perlu ritual khusus
Salah satu tari topeng yang berkembang adalah gaya Indramayu yang kini didalangi
Aerli Rasinah. Dia adalah generasi ke-11 pewaris tari topeng ini dan menggantikan neneknya yang merupakan maestro, Mimi Rasinah. Sang nenek sudah meninggal pada 2010 dan kini menjadi tugasnya sebagai pewaris untuk menjaga kesenian ini tetap lestari.
Bagi Aerli, tari topeng— khususnya Panji—adalah wadah spiritualitasnya untuk mendapatkan kesempurnaan, sehingga tari topeng tidak melulu soal kesenian tapi juga ritual. Ia menerangkan, untuk menari
topeng dengan tujuan ritual harus melakukan rangkaian kegiatan, termasuk berpuasa. Tujuannya agar nilai spiritualitas dapat disajikan ke penonton, dan memberikan nilai positif.
Ritual juga harus memiliki rasa niat ikhlas untuk mendalami karakter topeng, dan mengadakan perjanjian kepada dirinya, Yang Maha Kuasa, dan penonton agar tampil dengan hati yang suci.
“Selain itu, untuk mempelajari tari topeng Panji itu tidak mudah, karena diawali dengan yang kecil-kecil (proses menuju Panji). Itu, di Panji ada (proses yang disebut) Mageung Nafas atau mengendalikan diri. Banyak yang mementaskan tapi tidak ada isinya,” kata Rasinah.
Sedangkan untuk menari topeng untuk belajar atau sekadar ingin menari saja, Aeri Rasinah mengatakan, tidak apa-apa bila tak melewati proses ritual itu. Bahkan bisa menari salah satu dari topeng secara langsung. “Megeung itu adanya di dalam dalang. Ini dipelajari dari leluhur. Kalau penari ( biasa), itu kosong. Enggak ikut ritual. Hanya badannya saja yang gerak,” tambahnya.
Sekilas gerakan tari topeng Panji terlihat gampang karena cenderung kalem, dan tenang. Kesulitan
mementaskan topeng Panji terletak pada tariannya yang bertolak belakang dengan alunan musik. Hal itu ditujukan agar selaras dengan sifat topeng Panji.
“Elemen Panji itu harus ada tari dan musik, serta ajeg badan yang harus dipelajari. Kalau (topeng) yang lain ke kanan-kiri dan loncat, kalau Panji harus pandai menahan emosi, menahan pernapasan, tapi badan kita tetap berjalan dengan konsentrasi baik pada musik demi menyatukan diri kepada alam, dan Tuhan,” jelas Aerli.
Selain itu, karakter atau sifat topeng juga bisa disesuaikan dengan beberapa tokoh dalam tarian berjenis lakon, atau cerita. Umumnya, kesenian topeng jenis lakon ada di sekitar Karawang, Bekasi, dan Bogor, dengan menggunakan cerita wayang seperti Ramayana dan Mahabharata, hingga kisah keseharian masyarakat.
Topeng yang menantang zaman
Meski tari topeng sangat populer berkat teknologi, Aerli Rasinah mengakui upaya pelestariannya sangat berat. Bukan karena kurangnya minat, sebab banyak pula anak-anak muda yang ingin turut mempelajarinya.
Tantangannya sendiri adalah regenerasi untuk menjadi dalang atau sosok ikon selanjutnya jika ia tiada.
Sebetulnya, untuk menentukan siapa dalang generasi selanjutnya sudah tampak tandanya pada keponakan dan cucunya. Penampakan itu sudah muncul sejak mereka berusia belia, tetapi Aerli enggan menyampaikan siapa itu.
Alasannya, meski anak itu mempunyai tanda, belum tentu hatinya ingin mengikuti tradisi, sehingga membiarkannya saja agar tak memaksa kehendak.
“Karena setiap orang punya kehendak untuk hidup. Jika ingin membuatnya tertarik harus pelanpelan. Beda masa tentu beda metode,” ujar Aerli memaparkan rencananya.
“Mimi Rasinah dulu pada saya harus begini-begini. Kalau saya akan pelan-pelan dan harus sabar menghadapi anak seperti apa, psikologinya seperti apa, dan enggak mau pakai metode yang sama persis dengan Mimi Rasinah. Mereka punya hak dan cita-cita. Tanda itu hanya jadi bidikan.”
Beda nasib dengan Aerli Rasinah untuk tari topeng gaya Indramayu, Nani Sawitri dengan gaya Losari terancam dari luar komunitasnya. Endang menyampaikan, kondisi tari topeng yang dibawa Nani terusik oleh kalangan penganut agama Islam.
“Padahal tari topeng itu media penyebaran agama Islam. Keadaan Nani itu, orang-orang sekitar tidak menerima karena anggapan musyrik, ya tidak hanya tari topengnya saja, tetapi juga wayang,” papar Endang yang memang kerap berjejaring dengan pegiat tari topeng lainnya.
“Kesenian itu dianggap Hindu, padahal nilai-nilainya melebur untuk kearifan lokal karena bersumber dari Cirebon.”
Endang berpendapat, cara mempertahankan tari topeng ini harus lewat pendidikan karakter dan kebudayaan di sekolah. Guru hingga kepala dinas harus bisa menjaga kebudayaan daerah masing-masing, terutama tari topeng lewat UU tentang Pemajuan Kebudayaan tahun 2017.
“Bisa bertahan, tinggal peran guru-guru orangtua yang melestarikan, dan memilah mana yang lokal tapi nilainya bisa mengglobal. Banyak tari-tarian kita yang diambil nilai-nilainya oleh orang lain,” papar Endang.
Ia mengambil contoh pada kelompok orkestra gamelan yang populer di Amerika Serikat. “Masak di Amerika grupnya bisa lebih 500 grup? Mereka lebih menghargai orkes kita yang terdengar tenang -- yang justru tidak menggambarkan nilai-nilai Barat.”