Topeng Malang Yang Tertidur Karena Pandemi
Pandemi Covid-19 membuat topeng malang seolah hilang ditelan kenyataan zaman. Dari balik wajah-wajah topeng inilah, kisah-kisah Panji diwariskan turun temurun, bertahun-tahun.
Teater terbuka itu lama tak tersentuh pentas. Tribun penonton yang biasanya bersih, kini ditumbuhi lumut. Sejak Covid-19 masuk ke Indonesia, gebyag (pentas topeng malangan) di Padepokan Seni Mangundarmo milik M. Soleh Adipramono (Ki Soleh) sudah tidak pernah terselenggara lagi. Teater terbuka di Desa Tulus Besar, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang ini dulu sempat menarik minat penonton dari dalam dan luar negeri.
Pun di Padepokan Asmoro Bangun yang dikelola oleh Tri Handoyo, penerus penari topeng malangan legendaris, Mbah Karimun. Pendapa padepokan ini biasanya tak pernah sepi. Setiap Minggu, Handoyo dan istrinya, Saini, melatih anak-anak menari secara gratis. Tiap malam Senin Legi (Minggu sore) selalu ada gebyag.
Covid-19 telah mengambil irama dan tarian Dukuh Kedungmonggo, Desa Karangpandan, Kecamatan Pakisaji, Kabupateng Malang, Jawa Timur. Desa tempat topeng malangan masih berdaulat di hati warganya sejak puluhan tahun silam dengan pasang surutnya.
Dari sebatang kayu hanyut
Menurut penuturan Ki Soleh, pembuatan topeng malangan di Malang bermula pada awal abad ke20. Alkisah Ruminten, penduduk Desa Pucangsongo ( kini Kecamatan Pakis, berjarak 8 km ke arah barat laut dari Desa Tulus Besar) sedang memantau genangan air di sawah akibat banjir Kali Amprong. Ruminten menemukan potongan kayu besar yang dibawa banjir.
Ia kemudian mengambil kayu itu untuk dibuat pendiangan. Namun kayu itu ternyata tidak terbakar api meski sudah dikeringkan. Kemudian Ruminten punya ide membuat topeng. Kayu sepanjang 50 cm ini dibelah dan dipotong jadi empat bagian. Masing-masing diukir dan jadilah empat karakter topeng yaitu Klana, Gunungsari, Panji Asmorobangun, dan Patrajaya.
Keberadaan topeng Pucangsongo tercatat oleh ahli sastra Jawa dari
Keberadaan topeng Pucangsongo tercatat oleh ahli sastra Jawa dari Belanda, Dr. Theodoor Gautier Thomas Pigeaud (20 Februari 1899 – 6 Maret 1988). Catatan Pigeaud berangka tahun 1938 menuliskan bahwa pada tahun 1928 di Kabupaten Malang terdapat 21 koleksi topeng.
Belanda, Dr. Theodoor Gautier Thomas Pigeaud (20 Februari 1899 – 6 Maret 1988). Catatan Pigeaud berangka tahun 1938 menuliskan bahwa pada tahun 1928 di Kabupaten Malang terdapat 21 koleksi topeng.
Pemain-pemain topeng yang terkenal asalnya dari Desa Pucangsongo di Kecamatan Pakis. Di zaman dahulu kepala desa tersebut yang bernama Saritruno, terkenal pandai menari topeng. Belum lama ini di Malang dan sekitarnya semua pemuda dan priyayi harus dapat menari topeng. Karena itu pada pesta-pesta tidak jarang tari topeng dilakukan oleh para priyayi. Topeng dibuat di Kecamatan Karangploso (sekarang termasuk Kecamatan Belimbing).
Pada kurun waktu yang sama, tercatat beberapa tokoh penari topeng yang tersebar di beberapa wilayah di Kabupaten Malang. Ruminten merupakan keponakan dari Reni, penari topeng malangan dari Desa Polowijen, Kecamatan Blimbing, Kabupaten Malang (sekitar 20km arah barat laut dari rumah Ki Soleh). Reni merupakan pembuat dan penari topeng malangan terkenal yang berjaya pada tahun 1930-an.
Sejarawan Onghokham (1 Mei 1933 – 30 Agustus 2007) pada tahun 1972, menuliskan bahwa pada tahun 1930-an seorang petani
kaya di Polowijen mahir menari dan membuat topeng Reni. Pada masa hidup Reni, wayang topeng mencapai salah satu titik puncak.
Perkembangan ini sebagian disebabkan oleh sumbangan Bupati Malang pada waktu itu, R.A.A Soeria Adiningrat yang menyuplai Reni dengan bahan-bahan pembuat topeng yaitu lempengan emas tipis, cat berkualitas, dan kayu. Bupati ini juga menetapkan standar arsistik sebuah karya topeng malangan. Catatan ini dikumpulkan oleh Robby Hidajat, akademisi di Universitas Negeri Malang.
Pertunjukan wayang pada masa popularitas Reni telah tersebar di banyak desa antara lain Wajak, Dampit, Sanggreng, Ngajum, dan daerah lainnya. “Kek Reni ini hidup sezaman dengan kakek saya, Kek Tirtonoto. Beliau adalah dalang topeng malangan,” kata Ki Soleh.
Beberapa tokoh topeng kini memang mewarisi bakat dan talenta leluhurnya. Seperti juga Handoyo merupakan cucu dari Karimoen, penari dan pemahat topeng malangan terkenal di Desa Kedungmonggo yang lahir pada tahun 1920-an.
Kisah umum dalam Panji yaitu perjalanan sepasang kekasih untuk saling menemukan yaitu Raden Panji Asmoro Bangun dari kerajaan Janggala/Kuripan dan Dewi Galuh Candrakirana dari Kerajaan Dhaha (Kadiri). Ceritanya ada banyak versi. Salah satunya, mereka sudah bertunangan namun tiba-tiba Sang Dewi raib dan mengembara. Kemudian Raden Panji mencari dan ikut mengembara diikuti beberapa pengikut setianya.
Sejak masa Reni hingga tahun 1970-an, wayang topeng malangan dipentaskan hampir di wilayah Malang. Malang melahirkan banyak tokoh penari topeng dan pemahatnya. Mereka mendirikan sanggar dan pentas rutin.
Sampai pada tahun 1970an, hanya tinggal tiga desa terakhir yang tersisa yaitu Desa Jabung, Kecamatan Jabung
( bekas Kawedanan Tumpang), Dusun Kedungmonggo, Desa Karangpandan, Kecamatan Pakisaji ( bekas Kawedanan Kepanjen) yang masih mempertahankan kesenian tersebut, dan Kecamatan Tumpang (di sini ada Ki Soleh dan Sukani, pengukir topeng).
Kisah panji dalam topeng malangan
Gebyag topeng malangan mengisahkan tentang kisah panji. Dalam topeng malangan terdapat enam tokoh utama yaitu Panji Asmoro Bangun, Dewi Sekartaji (Galuh Candrakirana), Gunungsari, Ragil Kuning, Patih Kelana Sewandana, dan Bapang. Tokoh ini selalu muncul dalam tiap kisah pementasan. Selain itu ada tokoh pendukung dengan total 60-an tokoh.
Kisah umum dalam Panji yaitu perjalanan sepasang kekasih untuk saling menemukan yaitu Raden Panji Asmoro Bangun dari Kerajaan Janggala/Kuripan dan Dewi Galuh Candrakirana dari Kerajaan Dhaha (Kadiri). Ceritanya ada banyak versi. Salah satunya, mereka sudah bertunangan namun tiba-tiba
Sang Dewi raib dan mengembara. Kemudian Raden Panji mencari dan ikut mengembara diikuti beberapa pengikut setianya.
Dalam pengembaraan inilah, Raden Panji Asmoro Bangun dan Dewi Galuh Candrakirana berganti banyak nama dan melahirkan sekuel kisah yang dipentaskan. Misalnya Ande-Ande Lumut atau
Keong Mas. Dongeng dari Jawa Tengah ini merupakan kisah pengembaraan Candrakirana.
Kisah Panji lahir dari budaya tutur. Panji sesungguhnya adalah gelar yang disandang di depan nama diri. Sedangkan kisah panji yang dituturkan erat kaitannya dengan masa kejayaan Majapahit. Kisah Panji menyebar di wilayah kekuasaan Majapahit di Asia Tenggara, pun nama-nama wilayah yang dikisahkan dalam kisah panji merujuk pada wilayah Majapahit.
Periode Majapahit, penyatuan kerajaan menjadi fokus Hayam Wuruk saat itu. Salah satunya dengan pembentukan sistem kuil dan ritual. Misalnya, Hayam Wuruk memilih Kamal Pandak sebagai tempat suci yang otomatis menggabungkan antara dua wilayah kerajaan yaitu Janggala dan Panjalu. Penyatuan secara politis melalui kuil ini tercermin dalam kisah tutur yaitu menikahnya Panji Asmoro Bangun (dari Janggala) dan Candrakirana (Panjalu).
Budaya tutur tersebut “terlukis” dalam relief candi-candi khususnya di Jawa Timur yang didibangun pada abad ke-14 dan ke-15. Sosok Panji digambarkan dalam relief sebagai figur bertopi (figur yang mengenakan tekes atau blangkon dalam berbagai bentuk) dengan bentuk tertentu.
Lydia Kieven dalam penelitiannya yang dibukukan pada tahun 2014 dengan judul Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit menemukan figur bertopi dan cara berbusana melambangkan strata masyarakat. Sama halnya dengan ikonografi pada wayang, tutup kepala pada relief candi menunjukkan tokoh tertentu dan strata dalam masyarakat.
Juga penggambaran sikap duduk dan cara berdiri menunjukkan strata sosialnya. Topi besar kebanyakan mencerminkan relief bangsawan sedangkan topi kecil sebagai rakyat jelata. Lebih detail, bentuk topi membedakan profesinya.
Lydia mencatat beberapa relief candi yang mencerminkan kisah Panji. Antara lain Candi Penataran di Blitar, Jawa Timur. Di teras/ pendapa kemungkinan tempat sesaji terdapat figur bangsawan bertopi besar dan pemusik reyog bertopi dengan tepi samar. Relief ini diidentifikasikan sebagai adegan dalam Sang Satyawan dan Sri Tanjung.
Meski bukan cerita Panji secara langsung, namun relief tersebut memuat unsur-unsur khas kisah Panji. Mulai dari penggambaran kisah sang pangeran ( kemungkinan adalah Panji) yang melepas topi sebagai tanda hormat pada pertapa, persiapan mencari kekasih, hingga pertemuan dua sejoli dengan suasana erotis yang tergambar
dalam relief.
Di candi induk Candi Penataran menggambarkan cerita Panji mengantarkan peziarah ada tataran duniawi menuju doktrin Tantra. Sedangkan Candi Rimbi yang terletak di Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang menggambarkan kisah Sang Satyawan.
Hasil penelusuran Lydia ketika menganalisis unsur-unsur figur bertopi mulia, ia menyimpulkan bahwa dalam banyak kasus, cerita Panjilah yang digambarkan. Mulai di teras Candi Penataran, Candi Jago, Candi Mirigambar, dan Candi Kendalisodo.
Panji masa kini
“Saya masih akan terus membuat topeng, terus mengajarkan anakanak menari,” kata Handoyo.
Meski kegiatan ini belum bisa dilaksanakan pada saat pandemi Covid-19.
Sebelum pandemi, Padepokan Asmoro Bangun rutin menggelar gebyag setiap Senin Legi. Hari itu dipilih untuk mengenang wafatnya Mbah Karimun. Selain untuk melestarikan topeng wayangan, gebyag juga merupakan persembahan bagi para “penjaga” desa dan wujud rasa syukur kepada Tuhan atas berkah yang diberikan.
Sebelum gebyag, sore hari dilaksanakan kirab topeng. Selain
untuk mengenalkan kembali topeng malangan kepada masyarakat juga menjadi sarana ritual. Topeng diarak oleh para pemain menuju makam Mbah Karimun kemudian topeng itu disucikan di Kali Metro (Metro, “e” dibaca seperti “e” pada kata “sekolah”). Usai berdoa bersama, peserta potong tumpeng dan makan bersama kemudian menuju panggung untuk pentas.
“Pentas topeng malangan juga sebagai sarana ritual. Misalnya untuk ruwatan,” kata Ki Soleh. Ada keluarga yang akan menikahkan anaknya di Desa Duwet, Kecamatan Tumpang. Atas perhitungan tertentu, pasangan pengantin suku Tengger ini harus diruwat terlebih dahulu dengan mementaskan topeng malangan.
Tak hanya generasi senior, topeng malangan ini juga menarik minat para pemuda. Sebagaimana dilakukan oleh Gubug Baca, sebuah komunitas yang tak hanya membaca buku tapi juga “membaca Semesta”. Gubug Baca ini tersebar di beberapa desa di Kecamatan Jabung. Salah satunya di Desa
Busu yang menggelar festival Busu Tempo Doeloe. Di sini ada pentas tari topeng malangan oleh anakanak dan remaja.
“Anak-anak ini rutin latihan, butuh tempat untuk manggung. Mereka senang tentu saja kalau bisa pentas,” kata Fachrul Alamsyah, pendiri Gubug Baca. Di panggung beralaskan tanah desa itu akan memberikan memori kolektif bagi anak-anak tentang keindahan dan kebahagiaan ketika menarikan tiap karakter topeng malangan.