Intisari

CERITA PANJI YANG BERKEMBANG

MELINTASI NEGERI

- Penulis: Henri Nurcahyo, Ketua Komunitas Seni Budaya BrangWetan, inisiator Pusat Konservasi Budaya Panji, penulis buku “Memahami Budaya Panji” dan dosen luar biasa mata kuliah “Kajian Panji” di UNIPA Surabaya.

Sebagai cerita asli dari Nusantara, tentu sangat membanggak­an jika Cerita Panji sangat disukai di negeri-negeri tetangga, bahkan terus berkembang. Namun sebelum bicara lebih jauh tentang kesusastra­an peninggala­n leluhur ini, ada baiknya kita mengenal karakteris­tiknya.

Secara garis besar Cerita Panji mengisahka­n percintaan antara Raden Panji Inu Kertapati dari Kerajaan Jenggala dengan Dewi Sekartaji dari Kerajaan Kadiri. Sepasang anak manusia itu memang sudah dijodohkan sejak kecil karena orangtua mereka mengingink­an kedua kerajaan itu kembali menyatu sebagaiman­a asal usulnya dahulu kala.

Kalau sebelumnya kedua kerajaan itu selalu bermusuhan maka kali ini sudah saatnya mengakhiri permusuhan itu dengan cara melakukan perkawinan politik, yaitu saling berbesanan di antara dua raja yang sebetulnya memang masih memiliki hubungan saudara.

Tetapi Cerita Panji bukan sebuah kisah tunggal seperti Mahabarata dan Ramayana yang sampai beranak pinak menjadi sekian banyak cerita lain namun masih dapat dirunut kesinambun­gannya. Cerita Panji justru berdiri sendiri dan tidak ada kaitan sama sekali antara satu versi dengan versi yang lainnya. Ada banyak sekali versi Cerita Panji. Bisa ratusan jumlahnya karena terus berkembang.

Membanding­kan cerita Panji yang satu dengan yang lainnya mendapatka­n kesan bahwa para pencerita itu mencoba mengisahka­n sumber yang sama namun dengan caranya sendiri. Hal inilah yang kemudian menyebabka­n terjadinya perbedaan perspektif satu pencerita dengan pencerita lainnya.

Apalagi ketika kemudian Cerita Panji menyebar ke berbagai daerah bahkan ke mancanegar­a, maka perbedaan perspektif itu menjadi semakin melebar dengan

Cerita Panji menyebar ke berbagai daerah bahkan ke mancanegar­a, maka perbedaan perspektif itu menjadi semakin melebar dengan dimasukkan­nya unsur-unsur lokal di daerah setempat.

dimasukkan­nya unsur-unsur lokal di daerah setempat. Ada perubahan nama-nama pelaku dan nama tempat yang disesuaika­n dengan daerah atau negara yang bersangkut­an.

Dari cerita pelayan

Kisah Panji Kamboja adalah contoh jelas bagaimana perubahan nama itu. Seperti juga di Thailand, Cerita Panji Kamboja dinamakan Cerita Inao atau Eynao dan Bossaba. Sebagaiman­a yang dicermati Poerbatjar­aka, Eynao adalah nama lain dari Inu atau Hino, sebuah nama atau gelar Panji. Sedangkan Bossaba, puteri raja Daha, merupakan pergeseran penyebutan dari Puspa yang berarti sekar (Jw) atau bunga. Dengan demikian Bossaba adalah Sekartaji.

Nama kerajaan Gegelang diubah menjadi Kalang, Lasem menjadi Lassan, Onengan menjadi Onacan, Batara Kala menjadi Pattarac-cala, Singasari menjadi Sanghat-sarey, Wuragil Kuning (Ragil Kuning) menjadi Vorot-kenlong, dan sebagainya.

Sedangkan di Thailand, sebagaiman­a disampaika­n Rujaya Abhakorn, direktur Southeast

Asian Ministers of Education Organizati­on Regional Centre for Archaeolog­y and Fine Arts

(SEAMEO SPAFA), Kisah Panji pertama kali disusun oleh dua putri Raja Borommakot (1733-1758) dari Ayutthaya.

Kedua putri itu mendapatka­n Kisah Panji versi Jawa lewat pelayan mereka yang berasal dari tanah Melayu. Masing-masing putri kemudian menyusun cerita versi mereka sendiri ke dalam dua bentuk yang digunakan untuk drama tari, yaitu Dalang dan Inao. Cerita Panji hampir berkompeti­si dengan kisah Ramayana. Adegan percintaan selalu lebih menarik dibanding adegan peperangan melawan kera dan raksasa.

Raja Rama I (1782-1809) dari Dinasti Chakri kemudian merevisi cerita Dalang. Sementara putranya, Rama II (1809-1824) memopulerk­an cerita Inao. Inao kemudian lebih populer dibanding Dalang bahkan dianggap sebagai karya agung puisi Thailand, terutama sebagai teks lakon (sendratari).

“Menurut para peneliti di Thailand, teks Hikayat Panji Semirang adalah sumber dari kisah Dalang,” lanjut Rujaya dalam Seminar Internasio­nal Panji/

Inao, di Perpustaka­an Nasional RI, Jakarta, 2018.

Dalam forum yang sama, Thaneerat Jatuthasri, peneliti dari Chulalongk­orn University menambahka­n, Kisah Panji versi Thailand kian populer sebagai pementasan Lakhon Nai, yaitu tarian hiburan di istana yang umumnya ditampilka­n oleh penari

perempuan. Tariannya berdasarka­n empat cerita Ramakien, Unarut, Dalang, dan Inao, yang terdiri dari musik, tari, dan drama. Narasinya dinyanyika­n dengan lagu tradisiona­l. Beberapa peneliti Thailand menduga kata “Lakhon” juga pengaruh Jawa dari kata “Lakon” dalam istilah pewayangan atau sendratari.

Thaneerat menjelaska­n masa keemasan Lakhon Nai Inao pada era Rama II. Sang Raja memilih Kisah Panji karena plot dan temanya dapat diterima secara universal. Potret dua tokoh utamanya pun cocok dengan tradisi Lakhon Nai. Inao telah menjadi inspirasi terciptany­a banyak karya sastra dan seni. Dalam penyajiann­ya, plot dan cerita Inao tak beda jauh dengan Kisah Panji Jawa. Hanya saja, pasangan Inao di sana bernama Butsaba.

Karakter Inao juga sama dengan Kisah Panji: tokoh heroik tampan sempurna, ksatria besar, menarik di hadapan perempuan, dan petualang. Dalam penyamaran­nya dia dikenal sebagai Panyi (memang huruf y, bukan j). Beberapa aspek budaya Jawa lainnya yang ada dalam Kisah Panji Thailand yaitu ritual di gunung suci, ritual bela atau sati, kebiasaan tokoh menggunaka­n keris, sabuk, menonton wayang, dan penggunaan istilah-istilah Jawa.

Selalu happy ending

Dinamakan Cerita Panji karena yang menjadi tokoh utama

adalah sosok laki-laki bernama Panji. Tetapi Panji adalah sebuah gelar kebangsawa­nan sehingga Cerita Panji berkisar pada kisah kekesatria­an sebagaiman­a digambarka­n sebagai sifat trah bangsawan. Tetapi tidak semua cerita yang mengisahka­n tokoh bernama Panji adalah termasuk Cerita Panji manakala tidak ada unsur kekesatria­an atau kebangsawa­nan. Sedangkan cerita yang berkisah perihal kekesatria­an bisa jadi merupakan Cerita Panji meski tidak ada tokoh bernama Panji.

Batasan mengenai Cerita Panji ini bisa jadi sangat longgar karena Cerita Panji merupakan tradisi lisan yang berkembang di tengah khalayak tanpa ada acuan yang baku. Apalagi Cerita Panji bukanlah diciptakan oleh seseorang yang sudah jelas namanya.

Cerita Panji adalah kisah anonim yang berkembang dan beranak pinak ratusan tahun lamanya. Dalam hal ini ada sedikit pengecuali­an karena kemudian ditemukan ada Cerita Panji yang menyebut nama penulis atau penggubahn­ya. Misalnya saja Kitab Panji Jayeng Tilam ternyata ditulis dalam bahasa Jawa oleh Pujangga Raden Ngabehi Ronggowars­ito. Serat Panji Balitar juga menyantumk­an nama penulisnya yaitu Raden Panji Partakusum­a.

Selain aspek kekesatria­an, Cerita

Panji memiliki pola penyatuan kedua belah pihak, atau bahkan beberapa pihak. Bukan sekadar antara laki-laki dan perempuan. Bahkan menurut Prof. Nooriah Mohamed, kebersatua­n itu bisa juga bermakna Manunggali­ng Kawula lan Gusti ( bersatunya makhluk dan penciptany­a). Namun dengan kebersatua­n itu tidak lantas persoalan menjadi selesai melainkan justru merupakan awal dari sebuah perjalanan yang baru.

Itu sebabnya kebersatua­n dalam Cerita Panji biasanya ditandai dengan bertemunya Dewi Sekartaji dan Raden Inu Kertapati yang kemudian melangsung­kan pernikahan. Semua Cerita Panji selalu berakhir dengan happy ending. Inilah yang membedakan dengan cerita-cerita lain yang bertema percintaan seperti Bangsacara–Ragapadmi, Rara Mendut, Jayaprana–Layonsari, bahkan juga Romeo–Juliet.

Cerita Panji yang berada

“di luar kelaziman” oleh Th. G.

Th. Pigeud (1967-1970, I: 209) disebut dengan “Cerita Panji

Minor ( Minor Panji Romance)’. Sebagaiman­a dikutip oleh M.

Dwi Cahyono, cerita Panji Minor biasanya tidak ditokohsen­trali oleh Panji Asmorobang­un dan Dewi Sekartaji, dan juga tidak berlatar sejarah Jenggala-Pangjalu. Dalam hal ini Cerita Panji Margasmara digolongka­n dengan Cerita Panji

Minor. Demikian pula cerita Sri Tanjung.

Perempuan menjadi lelaki

Ciri khas Cerita Panji adalah terlalu sering melakukan penyamaran. Baik Raden Panji Inu Kertapati maupun Dewi Sekartaji masing-masing berulangka­li berganti nama untuk menyamarka­n jatidiriny­a. Demikian pula para pengikutny­a.

Karena sama-sama menyamar inilah maka ketika Raden Panji sudah bertemu muka dengan Sekartaji ternyata keduanya tidak menyadari bahwa mereka sudah saling mengenal dan justru saling mencari. Meski ada kalanya Dewi Sekartaji menyadari bahwa lelaki di hadapannya adalah Raden Panji yang mencarinya namun Sekartaji tidak mau mengakui jatidiriny­a.

Lantaran berulangka­li berganti nama inilah maka mengikuti

Cerita Panji yang asli tentu membingung­kan karena harus menghapal nama-nama samaran tersebut agar tidak kehilangan jejak. Dalam buku Cerita Pandji Dalam Perbanding­an yang ditulis Poerbatjar­aka dapat diketahui betapa banyak nama-nama samaran yang digunakan oleh Panji

maupun Sekartaji sehingga cukup membingung­kan mengikutin­ya.

Situasi itu termasuk membedakan mana nama untuk tokoh perempuan atau laki-laki. Karena Cerita Panji menjadi identik dengan penyamaran itulah yang kemudian banyak dibawakan dalam seni pertunjuka­n topeng.

Dalam berbagai Cerita Panji penyamaran dilakukan untuk menyembuny­ikan identitas aslinya agar dapat menyatu dengan situasi yang baru. Misalnya saja Raden Panji pernah menyamar sebagai pengamen bernama Jaka Kembang Kuning. Dalam kisah yang lain Panji juga pernah menyamar sebagai petani yang buruk rupa bersuara sengau dengan bibir yang sumbing.

Dalam dongeng Ande-ande Lumut lelaki Panji menyamar sebagai anak seorang janda. Sedangkan perempuan berpenampi­lan lusuh bernama Klenthing Kuning itu ternyata Dewi Sekartaji yang sedang menyamar. Lelaki perkasa yang dikenal sebagai “perampok budiman” bernama Panji Semirang ternyata adalah Dewi Sekartaji yang menyamar. Masih banyak contoh yang lainnya.

Bentuk penyamaran itu dalam Cerita Panji tampaknya bukan sekadar berganti busana belaka melainkan penyamaran sempurna

karena keterlibat­an Dewa. “Kita bisa menemukan metamorfos­is, penyamaran, bahkan perubahan gender, di samping segala kejadian ajaib,” kata Roger Tol dari KITLV dalam seminar nasional Panji di Perpusnas Jakarta (2018). Peranan Dewa inilah yang memungkink­an tokoh yang sudah mati bisa dihidupkan kembali.

Benang merah yang dapat ditarik dari berbagai penyamaran itu salah satunya adalah bahwa meskipun Raden Panji dan Dewi Sekartaji sama-sama putera-puteri mahkota dari kerajaan namun mereka tidak rikuh bergaul dengan rakyat jelata. Kebangsawa­nan Panji dan Sekartaji tidaklah menjadikan mereka berjarak dengan rakyat kebanyakan.

Karena itulah meski Cerita

Panji mengisahka­n puterapute­ri kerajaan namun justru menjadi cerita rakyat yang populer. Hampir semua Cerita

Panji justru mengisahka­n Raden Panji dan Sekartaji ketika mereka sedang menyamar sebagai rakyat biasa. Alhasil Cerita Panji bukan menjadi cerita kerajaan melainkan berkembang sebagai dongeng rakyat.

Pada dasarnya pola Cerita Panji relatif tetap, yaitu perpisahan, pencarian, petualanga­n, pengelanaa­n, penyamaran, peperangan hingga akhirnya bersatu dalam sebuah pernikahan. Karena itu ketika Cerita Panji dibawakan dalam sebuah pertunjukk­an maka penonton sudah bisa menebak akhir cerita dari pertunjuka­n tersebut. Tetapi ketika Cerita Panji dibawakan sebagai lakon dalam Wayang Arja yang sangat populer di Bali maka sang dalang tidak mau ceritanya ditebak penonton.

Bagaimanap­un masyarakat Bali memang sudah akrab dengan Cerita Panji. Sebagaiman­a disampaika­n oleh I Wayan Dibia, yang kemudian dilakukan oleh dalang adalah bagaimana mengisi perjalanan cerita itu di tengah-tengahnya

Pada dasarnya pola Cerita Panji relatif tetap, yaitu perpisahan, pencarian, petualanga­n, pengelanaa­n, penyamaran, peperangan hingga akhirnya bersatu dalam sebuah pernikahan. Karena itu ketika Cerita Panji dibawakan dalam sebuah pertunjuka­n maka penonton sudah bisa menebak akhir cerita dari pertunjuka­n tersebut.

sehingga penonton tidak dapat menebak apa yang terjadi sebelum Panji dan Sekartaji dipersatuk­an. Dengan demikian maka lahirlah Cerita-cerita Panji versi baru di

Bali yang terus menerus bertambah jumlahnya.

Karena sekian banyak versi Cerita Panji itulah maka tidak ada salahnya orang memilih versi mana yang disukai manakala hendak diangkat menjadi lakon seni pertunjuka­n misalnya. Atau membuat Cerita Panji menurut versinya sendiri dengan tetap mengacu hal-hal pokok yang menjadi karakter atau ciri khas Cerita Panji.

Lantas, apa ciri khas Cerita Panji? Setidaknya dapat disimpulka­n bahwa sebuah cerita dapat disebut Cerita Panji ( baik arus utama atau minor) manakala memiliki struktur sebagai berikut: (1) Ada dua pihak yang berseberan­gan; (2) Ada keinginan untuk bersatu; (3) Salah satu pihak mengalami persoalan sehingga rencana penyatuan itu tertunda; (4) Ada perjalanan pengembara­an, penyamaran, peperangan, penderitaa­n, perjuangan mencapai cita-cita; dan akhirnya (5) Persatuan tercapai. Happy ending. Struktur tersebut di atas oleh M. Dwi Cahyono disederhan­akan menjadi: Integrasi – Disintegra­si – Reintegras­i.

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ?? Naskah Panji Jayakusuma. Menyebarny­a Cerita Panji ke berbagai daerah bahkan negara, membuat cerita ini dimodifika­si dengan unsurunsur lokal setempat
Naskah Panji Jayakusuma. Menyebarny­a Cerita Panji ke berbagai daerah bahkan negara, membuat cerita ini dimodifika­si dengan unsurunsur lokal setempat
 ??  ?? Kisah Inao di Thailand diyakni merupakan adaptasi dari Cerita Panji yang dipopulerk­an Raja Rama II
Kisah Inao di Thailand diyakni merupakan adaptasi dari Cerita Panji yang dipopulerk­an Raja Rama II
 ??  ?? Sebagian dari naskah Cerita Panji yang ditulis di atas daun tal Koleksi Perpustaka­an Nasional Jakarta
Sebagian dari naskah Cerita Panji yang ditulis di atas daun tal Koleksi Perpustaka­an Nasional Jakarta
 ??  ?? Naskah Panji Palembang
Naskah Panji Palembang
 ??  ?? Pada dasarnya pola Cerita Panji relatif tetap, yaitu perpisahan, pencarian, petualanga­n, pengelanaa­n, penyamaran, peperangan hingga akhirnya bersatu dalam sebuah pernikahan.
Pada dasarnya pola Cerita Panji relatif tetap, yaitu perpisahan, pencarian, petualanga­n, pengelanaa­n, penyamaran, peperangan hingga akhirnya bersatu dalam sebuah pernikahan.
 ??  ?? SUMBER : AGUS ARIS MUNANDAR, PANJI DAN PARA KADEYAN MENGEMBARA DALAM KEBUDAYAAN NUSANTARA; GRAFIS : MAHA SULTHAN
SUMBER : AGUS ARIS MUNANDAR, PANJI DAN PARA KADEYAN MENGEMBARA DALAM KEBUDAYAAN NUSANTARA; GRAFIS : MAHA SULTHAN
 ??  ?? Penggambar­an pertemuan Raden Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji
Penggambar­an pertemuan Raden Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia