International Mask Festival 2021 Ketika Panji Menyusuri Jalur Rempah
Cerita Panji mengingatkan Irawati Kusumorasri pada Jalur Rempah Indonesia saat ini. Menurutnya, sebaran kisah Sang Pangeran nyaris sama dengan sebaran Jalur Rempah. Lalu dia tuangkan gagasan itu lewat IMF 2021.
Malam itu angka jam menunjukkan pukul 21.00 WIB lebih sedikit. Pendopo Ndalem Purwohamijayan di lingkungan Kasunanan Surakarta, Jawa Tengah, sudah riuh oleh penonton. Laki-laki, perempuan, tua, dan muda; hampir semuanya siap-siap menyorongkan ponsel pintar mereka ke depan, ke arah bagian tengah pendopo. Tentu saja dengan posisi kamera belakang menyala.
“Telah hadir di tengah-tengah kita seorang maestro, penari topeng, dalang wayang kulit purwo, juga sinden, pemain sandiwara tradisi, bahkan pemain teater kontemporer. Kita sambut dengan tepuk tangan yang hangat: Wangi Indriya,” seru Elizabeth Sudira, MC yang sejak pukul 19.00 WIB memandu acara.
Tidak ada yang mencolok dari penataan panggung—yang adalah bagian tengah pendopo—malam itu. Hanya ada semacam tirai yang dibentangkan di antara dua tiang utama pendopo, meja kecil dengan nampan berisi dupa di atasnya, dan sedikit ornamen. Meski begitu, aura magis tetap terasa begitu kental. Lebih-lebih ketika Sang Maestro memasuki panggung dan bersila di sana. Wajahnya tenang, pandangannya tajam ke depan, dengan pakaian penari khas Indramyu-nya yang meriah.
Suasana seketika hening. Wangi Indriya mulai bangkit dari posisi bersilanya. Lalu menggerakkan tangannya yang mungil. Sangat lentik. Sejurus kemudian, dia membuka benda kecil terbungkus kain putih yang sedari tadi dibawanya. Benar, itu adalah topeng gaya Panji yang akan menjadi pelengkap menarinya.
Walau terlihat sederhana, gerakan-gerakan Wangi Indriya sangat anggun. Pelan-pelan, wanita 59 tahun itu mulai memasang topengnya di wajah, menggigitnya kuat-kuat. Aroma dupa semakin menyeruak kuat. Penonton mulai siap sedia memencet tombol bulat merah di ponsel pintar, entah untuk menjepret sebagai foto atau mengabadikannya dalam bentuk video. Pertunjukan pun dimulai.
Malam itu, Wangi Indriya
Tari topeng Panji versi Indramayu—juga Cirebon, Majalengka, dan Kuningan— lebih menekankan soal kesucian seorang manusia yang baru lahir, serta hubungan manusia dengan Sang Pencipta, alih-alih sebuah kisah cinta dua insan yang dimabuk asmara.
menampilkan tarian topeng Panji gaya Indramayu. Tentu saja ceritanya berbeda dengan cerita Panji versi asli. Tari topeng Panji versi Indramayu—juga Cirebon, Majalengka, dan Kuningan—lebih menekankan soal kesucian seorang manusia yang baru lahir, serta hubungan manusia dengan Sang Pencipta, alih-alih sebuah kisah cinta dua insan yang dimabuk asmara.
“Panji versi Indramayu-Cirebon tidak bercerita soal Panji sebagai keturunan Airlangga. Tapi lebih menggarisbawahi falsafah hidup manusia dengan alam, manusia dengan Sang Pencipta, kesucian manusia yang baru lahir dan belum mengenal dosa,” ujar Wangi Indriya sebelum pentas berlangsung.
Penampilan Wangi Indriya itu adalah penampilan penutup gelaran International Mask Festival (IMF) 2021 hari kedua sekaligus penutup seluruh rangkaian acara yang digelar pada 11 – 12 Juni
2021 di Ndalem Purwohamijayan, Surakarta, Jawa Tengah, itu. Di hari pertama, acara dipungkasi oleh penampilan apik penari topeng asal Yogyakarta, Martinus Miroto, lewat Miroto Dance.
Mengusung tema “Panji Road
To Jalan Rempah”, IMF 2021 menghadirkan 12 delagasi untuk live performance, yang berasal dari beberapa wilayah di Indonesia. Hari pertama diisi oleh Fajar Dance Group Solo, Rumah Lengger Banyumas, Nuryanto Solo,
Saksak Dance NTB, Selendang Merah Jakarta, dan Miroto Dance Yogyakarta.
Sementara di hari kedua penampil live performance adalah Darmawan Dadijono Yogyakarta, Rambat Yulianingsih Solo, Loka Art Studio Gunung Kidul, Semarak Seni Persada SSP Solo, Sanggar
Jati Duwur Jombang, dan ditutup dengan penampilan Wangi Indriya Indramayu.
Selain penampil dari dalam negeri, IMF 2021 juga mengundang delegasi dari luar negeri untuk tampil secara virtual di YouTube. Mereka adalah LSU Teatro Guindegan & Tambulig Performing Arts Filipina, Olivia Machon & Rafael Bianciotto Prancis, Xua Pha Traditional Art Group Vietnam, Anak Seni Asia & Faculty of Film, Threatre And Animation Universiti Tekonologi Malaysia, dan Ulsan Metropolitan Dance Company & Songpa Sandae Noli Mask Dance Drama Korea Selatan.
Tiga kriteria
Perhelatan IMF 2021 berbeda dari tahun-tahun sebelumnya dengan mengusung konsep hybrid. Artinya, “Selain bisa disaksikan
secara langsung, IMF 2021 juga bisa disaksikan secara virtual. Luring dan daring. Tahun 2020 daring doang,” ujar Mimi Zulaikha, chief executive IMF 2021.
Menurut Irawati Kusumorasri, kurator IMF 2021, setidaknya ada tiga kriteria delegasi yang diundang dalam festival topeng kali ini: bisa datang ke Solo di situasi pandemi Covid-19, kesesuaian dengan tema, dan bisa menghadirkan kemeriahan dalam sebuah festival.
Untuk kriteria ketiga, misalnya, “Delegasi dari Banyumas. Kami hadirkan mereka karena ingin
memberi nuansa meriah di festival topeng kali ini,” ujar maestro tari asal Solo, Jawa Tengah, itu.
Irawati juga punya pertimbangan khusus kenapa mengundang Martinus Miroto dan Wangi Indriya. Menurut pendiri sanggar tari Semarak Candrakirana Art Center itu, keduanya adalah meastro di bidangnya masingmasing. Wangi Indriya, misalnya, selain penari, dia juga adalah dalang topeng dan maestro tari topeng Indonesia.
“Tahun ini ada Ibu Wangi dan Mas Miroto. Tahun lalu ada Mas Didi Nini Towok dan Eko Pece alias Eko Supriyanto,” kata Irawati.
Selain melalui undangan, IMF juga membuka semacam open call. Jadi, siapa pun yang ingin tampil secara virtual di IMF 2021 bisa mengirimkan karyanya, baik perorangan maupun komunitas. Meski begitu, tidak asal video yang nantinya bakal ditampilkan ke penonton. Irawati sebagai kurator punya persyaratan yang ketat.
Selain sesuai dengan tema, kualitas video juga harus memenuhi standar yang sudah disepakati di awal—kalau tidak layak akan dikembalikan ke pengirim. “Kamu perbaiki atau tidak tayang sama sekali,” tegas Irawati soal ketatnya kualitas video yang harus dipenuhi.
Usut punya usut, ternyata
IMF 2021 punya maksud lain dengan membuka skema open call. Cara ini, menurut Irawati, memungkinkan penyelenggara menemukan talenta-talenta baru
Konon, Cerita Panji mencapai kepopulerannya di masa Kerajaan Majapahit. Sampai-sampai Mpu Prapanca melukiskannya secara khusus dalam kitab Negarakertagama, di mana dia menyebut penguasa Wilwatikta saat itu,
Raja Hayam Wuruk, berkenan menari dengan mengenakan topeng.
dalam dunia tari topeng. Terutama para anak muda yang diam-diam punya ketertarikan dengan budaya Nusantara yang satu ini.
Dengan begitu, “Kami bisa tunjukkan, ternyata banyak lho generasi muda yang tertarik dengan tari topeng. Mereka juga merasa diapresiasi,” tutur wanita kelahiran Desember 1963 itu.
Cerita Panji = Jalur Rempah?
Cerita Panji adalah cerita asli Jawa dengan latar belakang masa Kerajaan Kediri. Bercerita tentang kisah cinta dua tokoh utamanya, Panji Asmarabangun alias Inukertapati dan Dewi Sekartaji alias Galuh Candrakirana. Panji sendiri adalah pangeran Kerajaan Jenggala, sementara Dewi Sekartaji putri Raja Kediri.
Konon, Cerita Panji mencapai kepopulerannya di masa Kerajaan Majapahit. Sampai-sampai
Mpu Prapanca melukiskannya secara khusus dalam kitab Negarakertagama, dengan menyebut penguasa Wilwatikta saat itu, Raja Hayam Wuruk, berkenan menari dengan mengenakan topeng.
Cerita Panji, berikut kisahkisah yang dilingkupinya, juga terabadikan dalam relief-relief candi peninggalan Majapahit. Di Candi Penataran di Kabupaten Blitar, salah satunya, lalu di Candi Mirigambar di Kabupaten
Tulungagung, dan di Candi Surawana di Kediri.
Dalam relief-relief itu, Panji digambarkan sebagai sosok pria yang menggunakan penutup kepala berupa blangkon Jawa gaya solonan. Sementar tubuh bagian atasnya digambarkan tidak mengenakan pakaian, lalu tubuh bagian bawah digambarkan memakai kain yang dilipat-lipat menutupi paha.
Panji juga digambarkan sebagai sosok yang membawa keris yang diselipkan di bagian belakang pinggangnya. Atau membawa senjata seperti tanduk kerbau, seperti yang diperlihatkan di relief Candi Gajah Mungkur di lereng Gunung Penanggungan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Tak hanya di Nusantara, kepopuleran Cerita Panji juga tersebar ke beberapa wilayah di Asia Tenggara. Malaysia, Siam (Thailand), Khmer (Kamboja), bahkan sampai Filipina—tentu saja disesuaikan dengan karakter dan situasi setempat.
Cerita Panji yang tersebar ke banyak tempat itu mengingatkan Irawati pada Jalur Rempah Nusantara. “Titik-titik kebudayaan Panji juga adalah titik-titik peradaban Jalur Rempah,” ujar Irawati bersemangat.
Itulah kenapa, delegasi-delegasi yang diundang dalam IMF 2021 ini, menurut wanita yang aktif di Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Solo ini, berasal dari wilayah-wilayah yang dilintasi oleh Jalur Rempah. Meski mengusung tema besar Panji, sebagai kurator, dia tidak membebani para delegasi untuk menampilkan pertunjukan yang menceritakan kisah pangeran dari Kerajaan Jenggala itu.
Melalui tema Panji Road To Jalan Rempah, Irawati juga ingin menunjukkan bahwa betapa kebudayaan Panji sangat dekat dengan Jalur rempah.
“Spirit Panji Road To Jalan Rempah adalah spirit tentang jalur kebudayaan Panji yang membuka jalan bagi Jalur Rempah,” tutup wanita yang kini sedang merampungkan studi doktoralnya di Institut Seni Indonesia Surakarta itu.
Melalui tema Panji Road To Jalan Rempah, Irawati juga ingin menunjukkan bahwa betapa kebudayaan Panji sangat dekat dengan Jalur rempah. “Spirit Panji Road To Jalan Rempah adalah spirit tentang jalur kebudayaan Panji yang membuka jalan bagi Jalur Rempah,”