Di Balik Makna Relief Cerita Panji
Cerita Panji adalah sastra asli Indonesia yang mendunia dan menjadi bukti bagian dari kreativitas masyarakat Jawa Timur. Cerita Panji dalam relief adalah bentuk komunikasi kisah-kisah Panji yang menggambarkan pesan kehidupan di dalamnya.
Bila membahas Cerita Panji, memang masih banyak yang perlu ditelusuri. Contohnya saja asal-usul Cerita Panji yang masih multitafsir. Dalam Menelusuri Panji dan Sekartaji, Tradisi Panji dan Proses Transformasinya Pada Masa Kini oleh Lydia Kieven, ada yang menyebutkan cerita ini berasal dari mitologi Suku Dayak di Kalimantan atau dari Jawa. Kemudian ada yang menyebutkan cerita ini sebagai cerminan sejarah yang berkaitan dengan kerajaan dan kehidupan Raja Airlangga, Ken Arok, Raden Wijaya, atau Hayam Wuruk, dan terakhir media religi dan ritual.
Meski multitafsir namun menurut Lydia, semua tafsiran ini memiliki kesamaan yakni bercerita tentang konflik dua kerajaan di masa Kerajaan Kediri yang disimbolkan dengan tokoh Raden Panji atau Inu Kertapati dari Janggala dan tokoh Serkataji atau Candrakirana dari Panjalu (Kediri). Keduanya saling mencintai namun dihadapkan dengan berbagai rintangan sebelum bersatu. Cerita ini lahir secara anonim namun menjadi perwakilan harapan rakyat pada masa itu agar dua kerajaan yang telah bermusuhan seratus tahun lamanya kembali menyatu
Melihat ide cerita yang menyebutkan Kerajaan Kediri, beberapa peneliti mencoba mengkaitkan asal cerita ini dengan penemuan prasasti di masa Kerajaan Kediri yang menuliskan nama atau pemberian gelar “Mapanji” pada kalangan keluarga kerajaan. Contohnya seperti Prasasti Banjaran 957 Saka yang menyebutkan nama raja
Sri Mapanji Alanjung Ahyes dan Prasasti Hantang 1057 Saka yang menggunakan nama “Mapanji” maupun “Apanji” raja dan para pejabat Kerajaan Kediri.
Figur bertopi
Meskipun prasasti dan ide cerita membawa nama Kerajaan Kediri tetapi tak dapat dipastikan kapan Cerita Panji mulai mewarnai Nusantara. Karena perlu dipahami, cerita ini adalah sastra lisan.
Yang artinya penyampaian ini disampaikan dari mulut ke mulut secara turun temurun.
Akan tetapi bila melirik beberapa penemuan artefak dari masa
penemuan artefak dari masa Majapahit seperti candi yang memiliki relief dengan kisah Panji, banyak peneliti yang menduga cerita ini muncul atau terkenal pada abad ke-14 atau masa Kerajaan Majapahit.
Majapahit seperti candi yang memiliki relief dengan kisah Panji, banyak peneliti yang menduga cerita ini muncul atau terkenal pada abad ke-14 atau masa Kerajaan Majapahit.
Lydia Kieven, arkeolog asal Jerman dalam bukunya Menelusuri Panji dan Sekartaji, memuji Cerita Panji sebagai simbol kreativitas budaya Jawa Timur di masa lampau. Ketertarikannya akan cerita ini mengantarkannya kembali menulis tentang penelitiannya Menelusuri Panji di Candi-Candi, Relief Figur Bertopi di Candi-Candi Zaman Majapahit.
Saat itu ia menemukan setidaknya ada 20 candi dengan relief figur bertopi yang ia perkirakan sebagai sosok
Raden Panji. Lydia sendiri mengkategorikan tokoh cerita pada relief dan status sosialnya berdasarkan rincian ikon grafisnya. Seperti bentuk tubuh dan bahasa tubuh, pakaian, dan khususnya hiasan kepala.
Hiasan kepala kerap disebut tekes oleh Agus Aris Munandar, arkeolog yang meneliti peninggalan Majapahit dalam buku Memahami Budaya Panji. Dalam pengamatannya mengenai
penggambaran relief Cerita Panji di dinding Majapahit, ia menemukan adanya kesatria dengan penutup tekes (Raden Panji yang diikuti oleh beberapa kadeyan ( sahabat pengiring).
Selain itu ada juga penggambaran kesatria dengan penutup rambut tekes yang diikuti oleh figur gemuk pendek maupun rambut dikuncir (seperti gambaran panakawan). Terakhir adanya penggambaran ksatria dengan penutup rambut tekes bersama dengan seorang putri ( kekasih Panji) dan embannya yang kadangkala diikuti oleh kadeyan atau panakawan.
Memang orang sering menyatakan bahwa ciri utama tokoh Panji dalam penggambaran relief dan arca adalah pria yang memakai topi atau tekes, topi mirip blangkon Jawa tapi tanpa tonjolan di belakang.
Namun mengenai pemakaian kata “tekes” pada figur bertopi
ini menurut Dwi Cahyono, arkeolog dari Malang, Jawa Timur, memunculkan pengertian yang ambigu karena pengertian tekes sendiri multitafsir. Yakni sebagai pelengkap penampilan pada seorang laki-laki, wanita yang berperan sebagai pendamping raja dalam pementasan, dan properti untuk seni pertunjukan tari. Pada konteks ini diharapkan masyarakat memahami bahwa ini sebagai pelengkap penampilan pada pria.
Rincian ikonografinya
Dalam penelitian, Lydia Kieven mendapati relief candi- candi itu memiliki rincian ikon grafis jenis tokoh dalam cerita Panji. Yakni rakyat jelata berstatus sosial rendah digambarkan untuk lakilaki, memakai celana pendek atau kain disingsingkan dengan aktivitas berjalan atau berkelahi.
Dalam beberapa kasus laki-laki dari kalangan biasa menggunakan topi kecil. Sedangkan untuk perempuan, panjang kain bisa mencapai pergelangan kaki, berwiru,dan salah satunya sudutnya sering disampirkan pada lengan atau bahu. Bagi perempuan berstatus rendah digambarkan bertelanjang dada.
Pada figur atau tokoh pelayan digambarkan berambut pendek dan sering muncul berpasangan membawa kotak sirih dan tempat ludah untuk tuan mereka.
Sebagaian besar memakai perhiasaan kecil, seperti antinganting dan gelang. Pada pelayan perempuan biasanya memakai kemben untuk menutupi payudara mereka, sebagai sikap sopan dan halus daripada bertelanjang dada pada perempuan dari kalangan rakyat jelata.
Cara tokoh pelayan berpenampilan menandakan tingginya kedudukan sosial raja atau dewa yang mereka layani. Panakawan menjadi tokoh pelayan yang istimewa. Panakawan lakilaki disebut Semar sedangkan panakawan perempuan disebut Nini Towong. Figur ini biasanya menemani tuannya, serta digambarkan tidak serasi yang ukurannya bisa besar atau kerdil. Dalam banyak adegan mereka meniru atau mengejek perilaku tuan mereka.
Kemudian tokoh bangsawan, pangeran, raja, maupun permaisuri dicirikan dengan pakaian lengkap dan meriah, menggunakan perhiasaan dan mengatur rambutnya. Seperti pada perempuan muda rambutnya tergerai sedangkan perempuan tua cenderung menggelung rambutnya. Ada tokoh lainnya yang sering digambarkan bersama tokoh bangsawan dan panawakan disebut kadeyan, figur laki-laki yang tampil dengan atribut bangsawan tetapi berperawakan agak gempal.
Selanjutnya pada pemeran religus seperti pendeta, pertapa, begawan, ataupn biksu biasanya dibedakan oleh hiasan kepala mirip serban yang rumit, sering dikombinasikan dengan kumis dan jenggot panjang. Mereka memakai kain panjang dan jas lengan panjang serta sering berperut buncit. Pemeran religus lainnya bisa memakai serban saja, berbadan ramping, dan menggunakan kain biasa. Pada pertapa perempuan biasanya memakai hiasan kepala mirip serban. Serban ini bentuknya lebih persegi dan lebih menjulang daripada yang dikenakan laki-laki.
Dewa-dewi biasanya digambarkan berdiri atau duduk di atas bantal bunga padma, tangannya lebih dari dua, dan biasa memiliki lingkaran cahaya di sekeliling tubuh. Mahluk surgawi lainya, seperti bidadari, digambarkan memiliki banyak selendang dan perhiasaan.
Terakhir, raksasa digambarkan bertubuh besar dan berkepala besar, matanya melotot, giginya menonjol, dan rambutnya sering gimbal.
Candi yang dominan
Agus Munandar bersama rekan arkeolognya, Ninie Susanti, mengidentifikasi ada 10 dinding
pada masa Majapahit yang memiliki relief kisah Panji (Lihat daftar).
Berbeda dengan Lydia Kieven, melalui penelitiannya menetapkan setidaknya ada tujuh candi yang Lydia pastikan memuat Cerita Panji dari 20 candi yang diteliti, yaitu Candi Penataran di Blitar, Candi Mirigambar di Tulungagung, Situs Gambyok di Kediri, Candi Kendalisodo, Patung dari Candi Selokelir, Candi Yudha di Penanggungan Mojokerto, dan Patung dari Grogol Sidarjo. Sedangkan yang lainnya masih tanda tanya seperti Candi Jawi, Candi Rimbi, ataupun Candi Wayang.
Sedangkan Dwi sendiri memperkirakan kemungkinan ada lebih dari tujuh candi yang bercerita tentang Panji. Namun ia sepakat dengan Lydia sejauh ini hanya tujuh candi
yang dominan memiliki relief mengkisahkan tentang Panji.
Dalam penelusurannya Dwi bahkan pernah mendapati relief yang bercerita tentang Panji namun tidak memiliki naskah. “Wajar,” jelas Dwi, bila kembali mengingat Cerita Panji adalah sastra lisan.
Lydia dan Dwi juga sepakat, relief candi yang lengkap dan menonjol dalam menceritakan Cerita Panji terdapat pada Candi Panataran, tepatnya di Teras Pendopo. Pada buku Menelusuri Panji di CandiCandi, Relief Figur Bertopi di Candi-Candi Zaman Majapahit, Candi Panataran ini dianggap sebagai Candi Negara Kerajaan Majapahit dan dipersembahkan untuk pemujaan Siwa. Candi ini juga sebagai tempat orang-orang pada masa itu mempelajari dharma, ajaran agama.
Relief- relief yang terdapat dalam candi ini menggambarkan beberapa adegan seperti kerinduan atau keterpisahan antara laki-laki dan perempuan duduk dengan sikap mendamba cinta, perjalanan lakilaki bertopi bersama panakawan atau kadeyan, penyatuan tubuh antara dua insan, menyeberangi perairan dan pertemuan dengan pertapa.
Dalam Memahami Budaya Panji oleh Henri Nurcahyo adegan ini kemudian ditafsirkan secara ringkas. Yakni sebagai perpisahan dan situasi rindu nan penuh emosi dan cinta dengan tujuan sepasang kekasih menyatu, perkelanaan dan saling mencari yang tujuannya untuk menyatu, dan situasi kasih dan romantis atau erotis yang tujuannya menyatu. Sedangkan menyeberang air berarti menyucikan dan maju secara spiritual dari tingkat bawah ke tingkat atas. Sedangkan pertemuan dengan guru spiritual artinya meminta pengajaran kepada guru spiritual.
Situs Gambyok
Dikutip dari Memahami Budaya panji, dari tujuh candi yang yang memuat Cerita Panji, Situs Gambyok di Kediri menjadi salah
Relief- relief yang terdapat dalam candi ini menggambarkan beberapa adegan seperti kerinduan atau keterpisahan antara lakilaki dan perempuan duduk dengan sikap mendamba cinta, perjalanan laki-laki bertopi bersama panakawan atau kadeyan, penyatuan tubuh antara dua insan, menyeberangi perairan dan pertemuan dengan pertapa.
satu yang menjadi perdebatan. Sejumlah ahli sepakat bahwa relief Gambyok Kediri menggambarkan kisah Panji bersama pengiringnya. Salah satu ahli yang sepakat adalah Poerbatjaraka, budayawan dan ilmuwan Jawa yang menafsirkan relief Panji Gambyok sebagai salah satu adegan kisah Panji Semirang.
Namun kenyataannya, situs yang tersimpan di museum Kediri ini sama sekali tidak diberi penjelasan sebagai relief Cerita Panji melainkan hanya disebutkan keterangan Relief Manusia. Keterangan itu pun berbunyi, “Umumnya relief manusia di candi Jawa Tengah digambarkan naturalis dengan wajah menghadap ke muka, sedangkan relief manusia di Jawa Timur digambarkan seperti wayang, wajahnya menghadap ke samping ( en profil) terdapat pendapat munculnya relief demikian berhubungan dengan munculnya kembali pemujaan masyarakat terhadap roh leluhur.”
Berdasarkan keterangan itu, maka muncullah sikap skeptis terhadap pengelola museum tersebut mengenai wawasan terhadap Cerita Panji atau mungkinkah pihak museum punya alasan seperti diskusi di media Facebook oleh Antonius Danurwendo, pelaku Budaya Panji yang memberi penafsiran berbeda penafsiran tentang situs Gambyok.
Menurut dia, relief Candi itu bisa jadi bukan menjadi bagian Cerita Panji seperti yang diklaim selama ini. Ia menginterpretasikan, relief itu adalah Kresna yang menunggu Rukmini untuk dibawa lari Kresnayana sebagaimana diceritakan dalam Kalangwan. Tentu, penafsiran ini sah-sah saja meski harus diuji lagi secara kritis.
Makna Cerita Panji dalam relief
Candi pada masa dulu memang acap dikenal sebagai tempat suci. Digunakan untuk memuja DewaDewi, namun juga tidak dipungkiri digunakan sebagai fungsi politik pada masa Majapahit, sebagai simbolis historis penyatuan dua kerajaan.
Lydia Kieven memaknai Cerita Panji dalam relief adalah sebagai pengantar kepada peziarah untuk menunjukkan jalan dari duniawi menuju kesucian dan dunia para dewa. Sehingga Tokoh Panji dianggap sebagai mediator antara manusia dengan Dewa karena pengkisahan tentang sosok Panji yang disayangi Dewa. Karena para Dewa menyayanginya, maka ia memperoleh perlindungan kekuatan supernatural.
Tetapi Dwi berpendapat lain. Bagi dia, Cerita Panji yang terukir dalam relief bukan sekadar religius namun juga mengandung pesan kehidupan sosial pada masanya. Ajaran yang menghubungkan antara manusia
dengan manusia. Misalnya saja bercerita tentang kerinduan antar kekasih, maka cara mengatasinya adalah mengirim surat atau memainkan musik saat bertemu. Sehingga pemaknaan relief pada candi tidak melulu bersifat vertikal namun juga horizontal.
Dalam Peradaban Pesisir Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara oleh Adrian Vickers, Cerita Panji juga disebut juga sebagai sastra Pesisir yang bukan hanya merefleksikan budaya Pesisir tetapi juga kiprah budaya itu. Cerita-cerita itu mendeskripsikan perihal idealnya masyarakat ningrat pada masa itu, seperti standar busana, seni pertunjukkan, maupun etiket yang secara tidak langsung kita pelajari.
Bila bersandar pada pengertian ini, ukiran Cerita Panji dalam relief secara tidak langsung telah memberikan gambaran bagaimana kehidupan masyarakat pada zaman itu, sebagaimana Lydia Kieven mencirikan ikon grafis pada beberapa tokoh. Seperti etiket berbusana sopan pada perempuan yang menutup bagian dada menjadi nilai kesopanan budaya Asia yang secara tidak langsung tersirat dalam pesan-pesan moral yang masih bisa kita rasakan di kehidupan kini.