Wayang Gedog: Wayang Istana yang Hampir Sirna
Lebih dari 30 tahun tertidur, kini ada upaya untuk menghidupkan wayang gedog sebagai upaya melestarikan warisan leluhur. Jika dulu hanya bersifat eksklusif di istana, kini semangatnya tumbuh dari masyarakat biasa.
“Waktu itu ramai sekali,” kenang Heri. Kalau dari jauh suaranya dog..dog, tandanya udah main dalangnya.”
Dia menceritakan pengalamannya menyaksikan pertunjukan wayang gedog di suatu malam sekitar tahun 1980-an. “Siapa aja nonton, dari bapak-bapak sampai anak-anak”.
Saya menjumpai Heri Dwi Hartanto di sekolah tempat ia bekerja. Dia seorang guru swasta di SMA Al-Islam 1 Surakarta. Barangkali karena bunyi “dog... dog” itulah orang-orang menjuluki kesenian ini sebagai wayang gedog yang populer di Surakarta.
Namun dalam versi yang disebutkan Museum Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, kata gedog berasal dari Kandang Kuda karena kebetulan banyak penamaan tokohnya menggunakan nama kuda.
Terinspirasi dari cerita Panji, wayang gedog berupaya untuk memperkuat identitas sejarah lokal dengan mengangkat kerajaankerajaan Hindu di Nusantara dan bukan bersumber dari India seperti wayang Purwa dengan kisah Ramayana dan Mahabharata- nya. Cerita Panji merupakan produk kebudayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang luhur yang terus menerus berkembang hingga era modern.
Bermula dari berdirinya peradaban Hindu Kediri di Jawa Timur, cerita Panji diteruskan ke era Kerajaan Majapahit yang menjadi peradaban paling besar
Cerita panji yang dikenal masyarakat sebenarnya berkisah tentang asmara Raden Panji dan Dewi Sekartaji yang berlatar kehidupan pada masa Kerajaan Hindu tengah berkuasa di Nusantara, seperti Kerajaan Jenggala, Singasari, dan Kediri.
dan paling sukses seantero Nusantara. Cerita Panji tidak hanya disajikan dalam bentuk lisan, tapi juga melalui seni kesusastraan. Cerita Panji yang dikenal masyarakat sebenarnya berkisah tentang asmara Raden Panji dan Dewi Sekartaji yang berlatar kehidupan pada masa Kerajaan Hindu tengah berkuasa di Nusantara, seperti Kerajaan Jenggala, Singasari, dan Kediri.
Serat Centhini merupakan karya terbesar dalam kesusastraan Jawa yang digubah oleh para pujangga Keraton Kasunanan Surakarta dan diprakarsai oleh Adipati Anom (Hamengkurat II, Raja Mataram), mengisahkan bahwa wayang gedog diciptakan oleh Sunan Giri
pada masa Demak berkuasa yang dalam penanggalan Saka berangka tahun 1485. Pertunjukan dari masa awal kemunculannya terus berkembang dan baru pada tahun 1563, pertunjukan wayang gedog mulai diiringi gamelan laras pelog yang populer sebagai alat musik tradisional Keraton.
Wayang gedog dapat dikatakan sebagai wayang istana. Sejak digubah oleh Sunan Ratu Tunggul (Sunan Giri) dan dimainkan di pusat Kerajaan, wayang gedog telah menempati pertunjukan bergengsi yang digelar untuk tontonan
Raja dan masyarakat Mataram. Sampai kemudian Mataram terbelah menjadi dua bagian, Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat melalui Perjanjian pemisahan kekuasaan, Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755. Akibat perpecahan internal, wayang gedog terombang-ambing hingga pada akhirnya dihidupkan kembali oleh Pakubuwana III.
Pada masa pemerintahan Pakubuwana III, terjadi perubahan wujud wayang yang bentuknya dibuat menyerupai wayang purwa. Ada kemungkinan agar pertunjukan wayang gedog pada awal perkembangannya di Solo tidak asing karena bentuknya yang berbeda dengan wayang purwa.
Dibuat pula tokoh punakawan Bancak dan Doyok untuk memerankan tokoh Panji tua,
dan tokoh Sebul-Palet untuk memerankan tokoh Panji muda. Sayangnya, krisis yang terjadi di dalam Istana memaksa wayang gedog menepi dalam beberapa waktu hingga mulai dilupakan secara perlahan.
Van Groenendael dalam
Dalang di Balik Wayang (1987:53) menyebut naiknya Susuhunan Pakubuwana X menjadi penguasa baru di Keraton Surakarta pada 30 Maret 1893, memiliki andil dalam mengembalikan wayang gedog. Ia juga memfungsikannya sebagai simbol-simbol perayaan di dalam Istana pada momentum tertentu, seperti khitanan, malam midodareni (malam seserahan), sepasaran pengantin ( ngunduh mantu), selapanan pengantin (wejangan orang tua kepada anaknya dalam mempersiapkan rumah tangga) dan tuguran.
Pakubuwana X yang mampu membangkitkan lagi semangat Istana melalui seni dapat melegitimasi kekuasaannya meskipun saat itu Pemerintah Hindia-Belanda mengklaim Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sebagai negara vassal dari Hindia-Belanda. Pakubuwana X dikenal dengan pengaruhnya dalam membawa aura kebudayaan di Keraton, mulai dari langgam arsitektur, hingga menghidupkan kembali kesenian dan kebudayaan di dalam Istana.
Lambat laun pementasan wayang gedog sebagai simbol budaya Istana semakin jarang dipertunjukkan. Winahyu Adha Yuniyati dalam karyanya Kedudukan Selir Pakubuwana XII di Keraton Surakarta 1944 – 2004 (2014:53-54) menggambarkan kondisi pada era pemerintahan Pakubuwana XII.
Keraton Surakarta Hadiningrat menemui jalan terjal selepas Indonesia merdeka pada 1945, secara administrasi Keraton harus berada di belakang Pemerintahan Republik. Pakubuwana XII mulai kehilangan legitimasi sebagai penguasa Surakarta. Keadaan semakin tidak menguntungkan seiring dengan dicabutnya hak daerah istimewa Surakarta dan penolakan Soekarno atas penyetaraan daerah istimewa Surakarta dengan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Banyak kesulitan yang dialami Pakubuwana XII sejak awal pemerintahannya, terjadi juga hal yang memilukan dalam bahtera kepemimpinannya. Asetaset berharga Keraton hampir setengahnya habis dilalap si jago merah pada malam kelabu yang terjadi 31 Januari 1985 pukul 21.00 WIB.
“Kondisi tersebut memperkeruh situasi Keraton Surakarta dengan wilayah kekuasaan yang tidak sama dengan kondisi Surakarta Hadiningrat sebelum kemerdekaan
Republik Indonesia, yaitu dengan kekuasaan penuh dan pendapatan yang maksimal” ujar Winahyu Adha Yuniyati dalam wawancaranya kepada saya. Kondisi ekonomi Keraton yang semakin memprihatinkan ditambah dengan polemik internal Keraton membuat pertunjukan wayang gedog semakin dikesampingkan.
Faktor lain yang menyebabkan semakin jarangnya pertunjukan wayang gedog diperkirakan akibat utang yang melilit Keraton. Sunardi, Bambang Suwarno & Bagong Pujiono dalam Revitalisasi Wayang Gedog (2015:61-62) menyatakan bahwa kemunduran wayang gedog sebagai rutinitas upacara-upacara hajat dalem disinyalir karena pola hidup Pakubuwana XII dan masyarakat Istana yang glamor bak lebih besar pasak daripada tiang.
Di masa tersebut, status di masyarakat menjadi utama dengan pengeluaran yang lebih besar daripada pendapatan.
Itulah yang menjadi kendala bagi pemimpin Keraton selanjutnya dalam menghambat Keraton untuk mengadakan kembali acara-acara besar di dalam istana. Nasib wayang gedog pun kembali meredup dan terbengkalai.
Di sisi lain, disebutkan bahwa kemunduran wayang gedog diperkirakan karena tak adanya regenerasi dalang yang mampu mementaskan wayang gedog sebagaimana yang dilakukan pada masa pemerintahan Pakubuwana X karena belum adanya buku panduan yang mengulas tentang cara-cara mementaskan bonekaboneka gedog.
Wayang gedog bangkit kembali
Nasib wayang gedog tak memungkinkan selama beberapa dekade lamanya, bak bukubuku usang yang tertutup debu selepas Keraton tak lagi mementaskan boneka-boneka gedog di dalam tembok Istana. Rudianto, pramuwisata Keraton Kasunanan Surakarta menuturkan bahwa wayang gedog tidak lagi
Para budayawan yang mengintepretasi kegagalan eksistensi wayang gedog di Keraton, lantas menginisiasi untuk menciptakan dokumentasi sendiri. Karena tidak adanya buku paduan yang dapat digunakan seniman pedalang di masa mendatang dalam memainkan pertunjukan wayang gedog.
difungsikan di dalam tembok istana sebagaimana mestinya sehingga pertunjukannya kini dipentaskan di luar tembok istana oleh para budayawan yang peduli dengan wayang gedog dan budaya panji.
“Pada 1964, Konservatori Karawitan (KOKAR) Kota Surakarta mulai menggali kembali wayang gedog dengan menggelar lakon Jatipitutur dengan dalang Jagapradangga”, pungkas Soetarno dan Sudarko dalam Sejarah Pedalangan (2007: 21).
Para budayawan yang melihat kegagalan eksistensi wayang gedog di Keraton, lantas memulai mendokumentasikan sendiri. Ya, karena tidak adanya buku panduan yang dapat digunakan dalang di masa mendatang dalam memainkan pertunjukan wayang gedog.
Kepedulian para budayawan tersebut memberikan hasil, dibuatlah dokumentasi dalam bentuk tulisan tentang gending, lakon, dan sulukan wayang gedog. Naskah ketikan Martopangrawit (Penggubah Karawitan Gaya Surakarta) yang berjudul “Karawitan Wayang Gedog”
(1964) berhasil mengulas berbagai repetoar gending yang digunakan untuk mengiringi pagelaran wayang gedog semalam suntuk. Tulisan Martopangrawit ini berisi tentang gending-gending wayang gedog dalam berbagai bentuk.
Tak berhenti disitu, “Soetasoekarja pada tahun
1968 berhasil menyusun Serat Pakem Ringgit Gedog Lampahan Djakasumilir yang merupakan repetoar tuntunan penting untuk menjadi seorang dalang wayang gedog semalam suntuk, sehingga setidaknya hal ini menjadi upaya jitu dalam meregenerasi dalang wayang gedog” aku Sunardi.
Sekian banyak hasil karya perorangan dalam upaya merevitalisasi wayang gedog yang sempat identik sebagai wayang istana, kini coba di lanjutkan oleh lembaga-lembaga yang peduli terhadap nasib wayang gedog.
Sekitar tahun 1970-an, Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) yang sekarang telah menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta turut andil dalam merawat dan melestarikan wayang gedog. ASKI Surakarta membuat salinan beberapa wayang gedog dengan mereplikanya langsung dari Keraton Kasunanan Surakarta untuk dapat digunakan sebagai praktik mengajar di jenjang pendidikan tinggi.
ASKI Surakarta juga turut mencatutkan wayang gedog ke dalam kurikulum sebagai mata kuliah praktik pakeliran wayang gedog pada tahun 1974. Langkah yang dilakukan ASKI Surakarta juga kelak menjadi inspirasi Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Surakarta (Sekarang SMK Negeri 8 Surakarta) yang pada 1975 membuat kopian
wayang kulit gedog yang terdapat di Keraton Mangkunegaran.
Ki Soeratno Gunowiharjo menyadari tentang perlunya menanamkan kepedulian kepada wayang gedog sejak dibangku sekolah. Sejak saat itulah, wayang gedog telah mendapatkan tempat di luar tembok istana dan dinikmati oleh masyarakat secara luas.
Pada tahun 1986, seorang kreator sekaliber Bambang Suwarno dan Sukardi Samiharjo telah berhasil menuangkan kreativitasnya dan kepeduliannya terhadap wayang gedog dengan melakukan pembaruan terhadap pembuatan boneka wayang gedog dan melakukan berbagai modifikasi penyusunan naskah pertunjukan wayang gedog.
“Bambang Suwarno menciptakan beberapa tokoh baru yang tidak ditemukan sebelumnya, seperti Klana Jayengkusuma, Klana Jayengsekar, dan Singabarong, serta memodifikasi beberapa tokoh yang ada seperti tokoh Panji Asmarabangun, Dewi Sekartaji, Bancak, Dhoyok, Kayon, dan sebagainya” ungkap Sunardi.
Era 1980-an sampai pada akhir era 2000-an, masyarakat yang menyaksikan langsung pertunjukan wayang gedog semalam suntuk di era 1980-an, menikmati serunya dan lucunya pertunjukan di kala itu. “Hanya saja semuanya berubah ketika memasuki tahun 2000-an, saat semakin lama pertunjukan wayang gedog semakin ditinggalkan oleh masyarakat Solo dan sekitarnya (dulu Karesidenan Surakarta),” ujar Heri Dwi Hartanto.
“Ada tiga hal yang membuat wayang gedog tidak lagi dipentaskan, yaitu karena dalang, masyarakat penanggap, dan cerita yang disajikan” ungkap Soetarno dan Sudarko. Mungkin ini terjadi karena mulai bergesernya minat masyarakat terhadap kebudayaan modern sehingga mulai sedikit masyarakat yang mau menanggap wayang gedog.
Hingga kini, wayang gedog masih terus berjuang dalam benturan zaman seiring dengan upaya pelestarian dari berbagai pihak yang turut andil melestarikan cerita panji di dalamnya. “Saya berharap akan ada masanya penikmat wayang gedog tempo dulu dapat melihat lagi keseruan wayang gedog suatu hari nanti,” tutup Heri Dwi Hartanto.
Hingga kini, wayang gedog masih terus berjuang dalam benturan zaman seiring dengan upaya pelestarian dari berbagai pihak yang turut andil melestarikan cerita panji di dalamnya.
Wayang gedog tidak lagi difungsikan di dalam tembok istana sebagaimana mestinya. Kini pertunjukannya bisa dipentaskan di luar istana oleh para budayawan yang peduli dengan wayang gedog dan budaya panji.