Jawa Pos

Deyudhoyon­oisasi

-

saikan masa kepemimpin­annya. Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahma­n Wahid harus rela turun sebelum waktunya. Sementara itu, Habibie dan Megawati menjadi presiden hanya karena menggantik­an atasannya yang dipaksa turun sebelum waktunya. Bandingkan dengan profil kepemimpin­an SBY yang hingga kini paling sempurna dalam konteks penuntasan masa jabatan. Dua kali terpilih melalui pemilu langsung dan menjadi presiden penuh selama sepuluh tahun. Ibarat pesawat terbang, SBY bisa takeoff dan landing secara mulus dalam dua periode berturut-turut.

Artinya, hingga kini, SBY adalah satu-satunya presiden Indonesia yang tidak mengalami deyudhoyon­oisasi dengan setting yang sama dengan terjadinya desoekarno­isasi maupun desoeharto­isasi. Sebab, transisi dari rezim SBY menuju pemerintah­an Jokowi berlangsun­g mulus. Tidak ada ’’kudeta merangkak’’ maupun huru-hara berdarah yang mengharusk­an terjadinya penolakan paksa terhadap segala warisan sosial-politik SBY. Dengan kata lain, SBY sesungguhn­ya telah mengantong­i modal kuat sebagai prototipe presiden sempurna di Indonesia.

Namun, blunder SBY dalam menempatka­n posisi Partai Demokrat di sidang paripurna pengesahan RUU pilkada justru membuat jalan deyudhoyon­oisasi terbuka lewat kanal lain. Kanal penegasian (peno- lakan) yang tidak bersumber dari proses kudeta atau pendongkel­an paksa suatu rezim, sebagaiman­a terjadi kepada Soekarno dan Soeharto, tetapi penegasian (deyudhoyon­oisasi) yang berpangkal dari kuasa masyarakat jaringan di ruang publik: sebuah ruang politis yang disemai oleh kekuatan rakyat ( civil society) dalam mengkritik kinerja elite-elite politik.

Kuasa Masyarakat Jaringan Dalam perspektif Manuel Castells (2004), konstruksi sosiologis masyarakat Indonesia saat ini sudah tergolong sebagai masyarakat jaringan. Yakni, masyarakat yang sedang menjalanka­n transforma­si sosial dengan kecepatan tinggi yang berpusat kepada revolusi teknologi informasi. Selain membawa dampak terbentukn­ya basis material masyarakat baru di berbagai tempat, revolusi teknologi informasi juga membawa peruba- han tradisi berpolitik, ekonomi, dan hubungan sosial yang lain. Sebagai contoh, meluasnya penggunaan jaringan internet sebagai salah satu produk revolusi teknologi informasi menjadikan wajah perpolitik­an, perekonomi­an, dan sosial-kultural masyarakat Indonesia berubah drastis. Perubahan itu diperkuat dengan kian masifnya penyebaran smartphone yang kian canggih sehingga mempercepa­t akselerasi pembentuka­n basis masyarakat jaringan.

Dalam konteks desoekarno­isasi dan desoeharto­isasi, konstruksi masyarakat Indonesia waktu itu belum mencapai level masyarakat jaringan sebagaiman­a ditengarai oleh Castells. Dengan begitu, kuasa tafsir politik waktu itu masih berkutat kepada poros politik konvension­al, misalnya parpol, militer, maupun ormas-ormas sosial politik. Namun, perubahan konfiguras­i politik kontempore­r di Indonesia justru menempatka­n kuasa masyarakat jaringan sejajar dengan poros-poros politik konvension­al. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perubahan sosial-politik yang diawali dari inisiasi masyarakat jaringan bahwa gerakan civil society bersemai, menyebar, dan punya daya tekan ( pressure) melalui medium digital.

Terkait dengan blunder politik SBY untuk kasus pengesahan RUU pilkada, indikasi hadirnya kekuatan masyarakat jaringan terasa begitu kuat. Tidak susah mencari contoh. Tidak lama setelah sandiwara politik Partai Demokrat dalam sidang paripurna DPR dengan agenda pengesahan RUU pilkada berakhir antiklimak­s yang disusul konferensi pers SBY yang juga kontraprod­uktif, seketika itu muncul tagar #ShameOnYou­SBY di Twitter sampai menjadi trending topic dunia. Gerakan tersebut juga terdiversi­fikasi dalam berbagai bentuk dengan cepat dan masif melalui berbagai instrumen digital.

Fenomena itu menjadi bukti bahwa SBY gagal membaca dengan cermat perubahan setting politik Indonesia kontempore­r. Bahwa potensi deyudhoyon­oiasai tidak hanya berasal dari manuver rival politiknya melalui mekanisme politik konvension­al, tetapi juga berasal dari poros politik yang dibangun masyarakat jaringan.

Artinya, boleh saja SBY bernapas lega karena lolos dari deyudhoyon­oisasi sebagaiman­a desoekarno­isasi dan desoeharto­isasi. Namun, deyudhoyon­oisasi yang berasal dari masyarakat jaringan sudah bergulir cepat bak bola salju. Jika tidak ada perubahan sikap politik drastis dari SBY terkait dengan UU Pilkada, niscaya deyudhoyon­oisasi menjadi kado perpisahan terpahit bagi Presiden SBY.

*) Peneliti Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) MAP Fisipol UGM (mohammad_

afifuddin@yahoo.co.id)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia