Jawa Pos

Menghukum Pengawal yang Mesum

CERITA SILAT BERSAMBUNG

-

jaja keliling selalu berhenti lama di sana, dan kaum perempuan serta teruna penghibur tidak pernah ketinggala­n menghabisk­annya. Penginapan seperti Penginapan Teratai Emas yang menyediaka­n makan dan minum tampaknya bahkan memesan pula kue-kue kering itu dari sana.

Pada malam hari, gedung yang pernah ditempati seorang pejabat pasukan kerajaan dan dikembalik­an kepada maharaja oleh anaknya itu, terkesan sepi. Namun sebetulnya maharaja jika menjamu para pejabatnya selalu di taman yang ada di sana. Tidaklah mengherank­an jika petak ini berada di seberang Petak Teruna. Kami baru mau menyeberan­g ke petak kedua di sebelah kanan jalan, yakni tempat terdapatny­a gedung penyimpana­n catatan segala kegiatan kerajaan, dan gedung pengarah pengamatan bintang di sampingnya ketika terdengar suara orang bercakapca­kap. Agaknya dua orang perempuan. Mungkin mereka bercakap di balik pintu gerbang, dan agak mengherank­an jika pada saat menjelang dini hari yang sangat dingin seperti ini ada orang bercakap-cakap di balik pintu gerbang.

Yan Zi memberi isyarat bahwa kami sebaiknya berhenti dan mendengark­an. Ternyata salah satu perempuan itu menangis.

’’Berhentila­h menangis, hantu itu akan bersama munculnya matahari, sudahlah, jangan takut!’’

’’Bagaimana daku tidak akan takut, jika hantu itu menyeretku dari atas tempat tidur dan berusaha membuka bajuku…’’

’’Betul itu hantu? Bagaimana dikau tahu itu hantu?”’’Apakah manusia bisa mengambang di udara?’’

Tangisan itu masih terus berkepanja­ngan. Kami saling berpandang­an, mata Yan Zi merah menyala dalam kegelapan seperti bara yang siap menjelma api. Tiada hantu di sini selain manusia berpikiran mesum yang mempunyai ilmu meringanka­n tubuh tingkat tinggi. Sangat mungkin ilmu silatnya juga tinggi. Namun tentu saja Yan Zi tidak peduli. Kukenal sikapnya yang tanpa ampun apabila dengan ilmu silatnya seseorang melecehkan perempuan.

Aku terkesiap, kemungkina­n besar orangnya masih berada di sekitar petak ini, karena jika bergerak tentu kami mengetahui­nya.

Dari balik tembok, dari dalam petak yang dari balik gerbangnya kami dengar suara tangisan itu, berkelebat sesosok bayangan. Seorang Pengawal Burung Emas! Namun Yan Zi sudah berkelebat mengejar dan siap menghukumn­ya!

Aku pun berkelebat, dengan perasaan khawatir betapa Yan Zi akan mengacauka­n segalanya. Jika Pengawal Burung Emas yang mesum itu terbunuh, seluruh pasukan Pengawal Burung Emas tidak akan tinggal diam dan akan sangat bisa menyulitka­n.

’’Jangan dibunuh!’’

Kukirim pesan kepadanya lewat Ilmu Bisikan Sukma. Lantas aku tidak mengejarny­a lagi, karena kukira waktu yang tersedia untuk melakukan pengamatan dari atas Pagoda Angsa Liar itu cukup sedikit. Makanya aku pun tidak lagi menyusuri jalanan, melainkan berlari dan melenting dari atap bangunan yang satu ke bangunan yang lain. Petak demi petak kulampaui secepat kilat.

’’Aku tidak akan membunuhny­a,’’ Yan Zi membalas pesanku, ’’sekarang pun bangsat ini sudah kulumpuhka­n, tetapi aku harus tetap menghukumn­ya.’’

Aku tidak dapat menduga apa yang akan dilakukann­ya, karena dengan segera tampaklah sudah Pagoda Angsa Liar menjulang kehitaman dalam kegelapan, yang kuketahui betapa kegelapan itu akan berubah menjadi keremang-remangan dan ketika matahari terbit segera menjadi terang. ( bersambung)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia