Belajar Memaafkan
Refleksi Peristiwa 30 September 1965
but, jujur, yang muncul ke permukaan adalah kebencian serta dendam dari masing-masing kubu. Di satu sisi, ada kubu yang anti terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) serta siapa pun yang dianggap proPKI. Konyolnya, masing-masing kubu justru terus berusaha mewariskan narasi kebencian kepada anak cucu dan generasi mendatang.
Akibatnya, peristiwa 30 September 1965 terus menyandera bangsa kita. Simak saja, di tengah beragam isu dan peristiwa yang lewat, persoalan dendam dan kebencian karena peristiwa tersebut masih menjadi persoalan yang sangat sensitif. Saking sensitifnya, kita tidak mau melihat peristiwa 1965 dengan jujur dan objektif. Masingmasing kubu merasa berada di pihak yang benar dan gemar meniadakan setiap kebaikan kubu yang lain.
Dahlan Iskan, menteri BUMN, pernah menulis tentang Soemarsono yang dicap PKI di Jawa Pos (14–16 Agustus 2009). Soemarsono ditulis sebagai tokoh utama pertempuran Surabaya (1945). Soemarsono juga tokoh utama Peristiwa Madiun 1948. Tulisan itu membuat berang kalangan antikomunis. Mereka mendesak Dahlan meminta maaf kepada bangsa Indonesia.
Anehnya, di berbagai daerah, hingga 30 September 2014 ini, kasus seperti itu terus berulang. Sebuah diskusi di Padepokan Santi Dharma, Jogjakarta, pernah dibubarkan paksa oleh ratusan anggota Front Anti-Komunis Indonesia (FAKI), Minggu, 27 Oktober 2013.
Ketika film garapan Joshua Oppenheimer, The Act of Killing, dinominasikan mendapat Oscar 2013, film yang mengungkapkan sepak terjang jagal Anwar di Medan (1965–1966) tersebut justru dicaci maki di negeri ini. Film itu dianggap mendukung PKI. Saat kampanye pilpres lalu, misalnya, ada pula kampanye hitam yang memojokkan partai tertentu dengan sebutan PKI. Tiap kali lawan politik bisa ’’dibunuh’’ dengan isu PKI. Entah sampai kapan hal itu akan terus dilakukan?
Di negara-negara bekas komunis di Eropa Timur seperti Polandia dan Hungaria, sudah bisa dilakukan rekonsiliasi nasional sehingga kubu yang pro dan kontra komunis bisa berangkulan kembali membangun negeri. Namun, anehnya, di negeri yang berdasar Pancasila ini, dendam kesumat terkait dengan komunis justru seolah tidak pernah mati. Tiap kali isu PKI bisa diletupkan dan membelah bangsa ini.
Dengan demikian, secara psikologis, bangsa ini sesunguhnya masih menjadi tawanan masa lalu. Kita masih terus diliputi perang batin sebagaimana dialami jagal Anwar dalam film The Act of Killing. Anwar selalu diliputi perasaan menyesal telah menyembelih banyak orang sekaligus perasaan yang membenarkan tindakannya yang semula diyakininya sebagai tindakan membela negara.
Pertentangan batin itu juga terjadi dalam hati banyak orang untuk memaafkan atau mendendam. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dr Azyumardi Azra yang menekankan perlunya mengenang sejarah tertentu dengan rasa malu menekankan betapa diperlukan semangat rekonsiliasi (islah dan pemaafan), bukan terusmenerus mengorbankan rasa benci dan dendam.
Kita menyambut gembira pada akhir-akhir ini banyak pihak –yang orang tuanya terlibat dalam peristiwa Madiun 1948 atau 1965– terlibat aktif dalam upaya rekonsiliasi. Misalnya, yang ditunjukkan Amelia Yani, putri ketiga pahlawan revolusi Letnan Jenderal Ahmad Yani, yang bersama Ilham Aidit dkk telah mendirikan Forum Silaturahmi Anak Bangsa.
Kita juga bisa belajar memaafkan dari Dahlan Iskan yang pernah berkisah keluarganya (kakek) juga dibunuh PKI dalam peristiwa Madiun 1948. Namun, Dahlan berani mendatangkan Soemarsono ke Takeran, Magetan, sehingga Soemarsono pun akhirnya meminta maaf dan terjadi rekonsiliasi.
Apalagi, dari berbagai faktor, komunisme tidak mungkin bangkit lagi, lalu melakukan kudeta seperti pada 1948 dan 1965. Korupsilah yang menjadi bahaya laten saat ini. Jadi, mengapa kita dengan mudah bisa memaafkan koruptor, tapi terkait dengan peristiwa 1948 atau 1965 susah memaafkan?
*Penulis dan peminat sejarah (endang.suryadinata@gmail.com)