Denmark Sejahtera lewat Pertanian dan Perikanan
Berguru Daya Saing Ekonomi dari Negara-Negara Eropa (1)
KALAU ada negara yang jumlah sepedanya lebih besar daripada jumlah penduduknya, itulah Denmark. Di negeri kerajaan yang dipimpin Ratu Margrethe II dan Perdana Menteri Helle
Arif Afandi,
Selama sepuluh hari, Wagub Jatim Saifullah Yusuf bersama tim ekonomi berkunjung ke sejumlah negara Eropa.
Mereka diminta belajar tentang cara negara-negara di kawasan tersebut bergulat dalam Masyarakat Ekonomi Eropa sebagai antisipasi era perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Berikut catatan Dirut Wira Jatim Group yang juga mantan
wartawan Jawa Pos. Thorning Schmidt itu, kini tercatat ada 7 juta sepeda. Padahal, jumlah penduduknya hanya 6 juta jiwa. ’’Di sini tak ada bedanya antara kaya dan miskin. Semua bersepeda,’’ kata Dubes RI di Copenhagen Bomer Pasaribu.
Padahal, negeri tersebut termasuk salah satu negara terkaya di dunia. Merujuk data IMF, produk domestik bruto (PDB) Denmark berada di urutan ke-19 dengan pendapatan per kapita USD 37 ribu atau lebih dari Rp 440 juta. Bandingkan dengan pendapatan per kapita Indonesia kini baru USD 4 ribu.
Apa yang membuat mereka kaya? Denmark tidak memiliki sumber daya alam yang berlipat seperti Indonesia. Selain industri jasa, mereka mengandalkan penghasilan dari pertanian dan perikanan. Sektor pertanian menggunakan 62 persen dari seluruh total lahan.
Untuk meningkatkan daya saing produk pertanian, mereka bergabung dalam Danish Agriculture & Food Council (DAFC). Organisasi itu berbentuk semacam induk koperasi. Ada 30 ribu anggota. Mereka terdiri atas petani pemilik lahan dan para pengusaha di bidang industri pertanian.
Rata-rata petani di Denmark mempunyai 66 hektare lahan. Total luas lahan pertanian di seluruh negeri mencapai 2,64 juta hektare. Seluruh petani tersebut menjadi anggota koperasi. Kope- rasi itu berperan untuk melindungi, memberikan konsultasi teknologi pertanian, serta menjual dan mengekspor hasil pertanian mereka ke luar negeri.
Direktur DAFC Jan O.F. Laustsen menjelaskan, para petani tersebut rutin mengadakan pertemuan tiga sampai empat kali dalam setahun. Dalam pertemuan itu, dibahas berbagai persoalan yang dihadapi. Pada pertemuan tersebut, disampaikan pula berbagai aspirasi petani untuk diperjuangkan dengan lobi-lobi bisnis dan politik. Para petani itu juga memperoleh akses terhadap jasa konsultasi soal pertanian secara luas.
Para petani di Denmark rata-rata mengerjakan lahan pertaniannya. Berbeda halnya dengan petani Indonesia yang lebih banyak menjadi buruh tani. Selain itu, sebagian besar petaninya berlatar belakang pendidikan yang baik. Yang paling penting, karena menjadi anggota koperasi yang kuat, mereka mempunyai akses konsultan pertanian yang juga kuat.
DAFC berperan semacam holding dari sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pertanian dan industri agro. Mereka mengendalikan sejumlah koperasi petani dan industri pertanian. Di antara koperasi yang ada, yang dalam kendali mereka adalah perusahaan terbesar di Denmark. ’’Kami juga membantu petani dan industri bidang pertanian untuk meningkatkan pengetahuan dan inovasi,’’ jelas Laustsen.
Melalui pengelolaan produk petani dan industri pertanian tersebut, Denmark telah mengekspor 25 persen dari total produksinya ke luar negeri. Mereka menjadi pemasok produk pertanian untuk negara-negara Eropa lainnya, termasuk Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat. Dari pertanian itulah, Denmark yang tidak mempunyai sumber daya alam seperti minyak menjadi makmur dan sejahtera. (*/c14/oki)