Tiga Tahun Bertahan Perut Bolong
BANYUWANGI – Nasihul Asfiya, 22, warga Dusun Sukosari, RT 04, RW 03, Desa Paspan, Kecamatan Glagah, anak pasangan KH Masturi dan Alm Siti Maslahah, harus hidup dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sebab, luka di bagian perutnya tampak menganga pasca dioperasi karena vonis penyakit TBC usus yang diderita. Bahkan, isi dalam perutnya pun terlihat dengan jelas mengeluarkan cairan berwarna kekuning-kuningan.
Parahnya lagi, kondisi tersebut dijalani sejak 2011. Ceritanya, lelaki lulusan Madrasah Aliyah Blokagung, Kecamatan Tegalsari, tersebut semasa hidup di pondok sering tidur di lantai beralas tikar dan karpet seadanya. Apalagi ketika menuntut ilmu itu, dia juga sering menjalani ibadah puasa.
Ketika itu dia kerap mengeluhkan wasir. Mungkin karena sering telat makan dan tidur dilantai, saat hari ke-25 Ramadan, badannya lemas dan harus dirawat intensif di Rumah Sakit Fatimah. Makanan yang sudah ditelan selalu dimuntahkan. Karena kurangnya suplai makanan, lelaki yang kini tinggal bersama neneknya tersebut diinfus.
Melihat kondisinya yang kian memprihatinkan, pihak keluarga lantas menyetujui tindakan operasi. Setelah itu, dokter tidak melakukan tindakan apa pun karena kondisi usus Nasihul kerempeng. ’’Saat itu hanya diambil sampel usus untuk diuji lab dan perutnya yang sudah dibedah ditutup kembali,’’ ujar H. Abdul Azis, keluarga korban.
Dari sampel usus yang sudah diuji lab itu, hasilnya baru diketahu bahwa Nasihul dinyatakan mengidap penyakit TBC usus. Baru lima hari pulang dari rumah sakit, luka jahitan bekas operasi di perutnya tiba-tiba mengeluarkan cairan berwarna kekuning-kuningan. Keluarga lantas membawanya kembali ke RS Fatimah. Saat diperiksa, Nasihul kembali harus dirawat inap selama sebulan.
Lantaran tidak punya biaya untuk rawat inap di rumah sakit, keluarga kemudian membawa pulang Nasihul ke rumahnya setelah genap tiga puluh hari. ’’Saat kami bawa pulang, luka bekas jahitannya sudah dibuka, tidak ditutup lagi sampai saat ini,’’ ungkapnya.
Sejak 2011 itu, Nasihul dirawat di rumah neneknya, Hj Hotijah, dengan dibantu H Abdul Latif serta beberapa kerabat lainnya. ’’Saya sudah tidak punya biaya lagi untuk rawat inap di rumah sakit. Kami terpaksa merawatnya sendiri dengan semampu kami di rumah,’’ jelas Hotijah. (ddy/aif/JPNN/c15/bh)