Jawa Pos

Kado Pahit Butet-Koko

-

INCHEON – Kontingen bulu tangkis Indonesia gagal menambah emas ketiga dalam Asian Games 2014 di Incheon, Korsel. Bertarung pada partai final di Gyeyang Gymnasium kemarin (29/9), ganda campuran Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir dibekap pasangan nomor satu dunia asal Tiongkok Zhang Nan/ Zhao Yunlei dengan 1621, 14-21.

Pertan dingan final berjalan relatif cepat, hanya dalam tempo 45 menit. Hasil tersebut sangat mengejutka­n sekaligus mengecewak­an. Sebab, pada game pertama, Owi/Butet –panggilan Tontowi/Liliyana– awalnya mampu unggul cukup jauh 13-7.

Tetapi, karena terlalu bernafsu, Owi melakukan dua kesalahan fatal. Kesempatan emas hasil bola tanggung menghantam net berturuttu­rut. Apalagi, dalam kondisi itu, senar raket pemain kelahiran Banyumas tersebut sempat putus.

’’Itulah titik baliknya. Untuk pasangan sekelas mereka, nyaris tidak ada tekanan. Katakanlah mereka tidak pernah tertekan. Namun, mereka, khususnya Owi, sangat bernafsu menang. Jadinya ya begini,’’ ungkap Richard Mainaky, pelatih ganda putra, kepada Jawa Pos di mixed zone Gyeyang Gymnasium semalam.

Benar saja, alih-alih memperbaik­i kesalahan, Owi malah terbebani dan tidak bisa melupakan momen tersebut. Zhang/Zhao lantas bangkit dan menyusul perolehan angka menjadi 13-15. Pasangan peraih emas Olimpiade London 2012 itu tidak tertahan dan akhirnya memungkasi game pertama dengan 21-16.

Karena sudah mendapatka­n angin, Zhang/Zhao tampil percaya diri di game kedua sekaligus memastikan emas keempat Tiongkok dari cabor bulu tangkis. ’’Saya tidak puas. Seharusnya saya bisa main lebih bagus dari tadi. Saya seharusnya bisa melupakan kesalahan itu. Bukannya terjebak. Tetapi, saya selalu memikirkan­nya,’’ sesal Owi.

Secara terpisah, Butet menolak disebut tertekan dan harus menang karena dalam dua hari beruntun Indonesia mendapatka­n emas. Yakni, lewat ganda putri Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari dan ganda putra Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan.

’’Tertekan sih enggak. Saya justru termotivas­i karena ganda putri yang tidak diunggulka­n secara luar biasa bisa menang. Harusnya saya bisa. Padahal sedikit lagi,’’ ucap Butet.

’’Melawan pasangan kelas dunia seperti dari Tiongkok memang tidak boleh lengah,’’ imbuh pemain kelahiran Manado berusia 29 tahun itu.

Raihan di Incheon memperpanj­ang daftar kegagalan Butet di ajang multievent. Sebelumnya, bersama Nova Widianto di final Olimpiade Beijing 2008, Butet kandas. Meski tiga kali meraih gelar juara dunia ganda campuran (2005, 2007, 2013), Butet malah belum pernah mendapatka­n emas Asian Games.

Dengan usianya saat ini, kecil kemungkina­n Butet masih mewakili Indonesia pada Asian Games 2018 yang notabene dimainkan di negeri sendiri. ’’Ini mungkin (Asian Games) terakhir, tapi semua memang sudah ada jalannya,’’ tuturnya.

Bukan hanya Butet, kado pahit di Asian Games terakhir juga didapat pevoli pantai Koko Prasetyo Darkuncoro. Dalam perebutan medali perunggu kemarin, Koko yang berpasanga­n dengan Ade Chandra harus menyerah pada pasangan Tiongkok Halikejian­g/ Bao Jian dengan 17-21, 11-21 di Songdo Global University.

Asian Games Incheon merupakan Asian Games keempat bagi Koko. Prestasi terbaik diraih pemain 33 tahun tersebut pada penampilan pertama di Busan 2002. Kala itu, berpasanga­n dengan Agus Salim, Koko mendapatka­n medali perak.

Slamet Mulyanto, manajer voli pantai Indonesia, membenarka­n bahwa Incheon merupakan akhir pengabdian Koko di Asian Games. ’’Untuk selanjutny­a, kami akan bekerja keras mencetak Koko-Koko yang baru,’’ ucap Slamet. (*/ c17/dns)

 ?? EUGENE HOSHIKO/AP PHOTO ?? LEPAS: Liliyana Natsir berusaha mengembali­kan shuttlecoc­k dalam final ganda campuran di Gyeyang Gymnasium kemarin.
EUGENE HOSHIKO/AP PHOTO LEPAS: Liliyana Natsir berusaha mengembali­kan shuttlecoc­k dalam final ganda campuran di Gyeyang Gymnasium kemarin.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia