Era Kedaulatan Sentralistis Partai
Rakyat dan Otonomi Daerah setelah Peristiwa Paripurna Dini Hari
PDIP dan koalisinya sebenarnya ikut menang
setelah UU Pilkada oleh DPRD gol. Bahkan, Presiden Jokowi juga punya kekuasaan lebih kuat ke daerah jika dibandingkan
dengan SBY dalam UU Pemda yang baru. Yang kalah adalah rakyat dan spirit otoda. Rohman Budijanto
dari JPIP mengulasnya. KUBU Koalisi Merah Putih (KMP) mengklaim menang 4-0 atas kubu partai pro-Joko Widodo (Jokowi). Benarkah? Tiga kemenangan; yakni mayoritas di parlemen; mengegolkan tata tertib parlemen pro-KMP; serta mengegolkan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3); mungkin benar. Di atas kertas KMP akan menguasai pimpinan parlemen. Tetapi, golnya UU Pilkada oleh DPRD pada dini hari 26 September sebenarnya tak terlalu merugikan PDIP, partai Jokowi.
Pemenang dari UU Pilkada oleh DPRD adalah semua partai. Termasuk PDIP, PKB, Nasdem, dan Hanura, para lawan KMP. Semua partai berhak menjagokan calon kepala daerah yang tak perlu diuji penerimaannya oleh rakyat. Partai yang bisa memecat anggota DPRD yang tak loyal, tinggal memerintah mereka mengamankan calon partai. Belum tentu KMP akan merajai pilkada di wilayah yang kubu partai pro-Jokowi-nya kuat.
Perbedaannya ada di opini publik. KMP (Golkar, Gerindra, PKS, PAN, dan PPP) serta Demokrat berada di pihak yang dikecam karena merebut hak rakyat memilih kepala daerah. Sedangkan PDIP dan teman-teman koalisinya mendapat citra baik karena memperjuangkan hak rakyat memilih dalam pilkada, meski kalah. Tapi, baik partai yang menang, walk out, maupun kalah di voting DPR sama-sama akan berebut jabatan kepala daerah lewat DPRD.
Sebagai contoh, dalam 100 anggota DPRD Jatim ada PKB dengan 20 kursi, PDIP 19, Gerindra 13, Demokrat 13, Golkar 11, PAN 7, PKS 6, PPP 5, Nasdem 4, dan Hanura 2. Total kekuatan koalisi pro-PDIP 45, sementara KMP 42. Faktor penentunya adalah 13 kursi Demokrat sebagai ”penyeimbang”.
Untuk 50 kursi DPRD Surabaya, ada PDIP dengan 15 kursi dan Demokrat 6 kursi. Selain mereka, PKB, Gerindra, dan PKS memiliki 5 kursi masing-masing. Disusul Golkar dan PAN yang masingmasing memiliki 4 kursi, Hanura 3, Nasdem 2, serta PPP 1. Kekuatan pro-PDIP 25. Sementara KMP hanya 19. Suara Demokrat lagi-lagi menjadi penentu.
Bisa dipahami, sebenarnya yang ”berdaulat” bukanlah wakil rakyat di DPRD, melainkan partai, terutama pimpinan pusat partai, atau lebih mengerucut lagi, yakni ketua partai. Tanpa restu mereka, mustahil seseorang akan lolos menjadi kepala daerah (gubernur maupun bupati/wali kota).
Partai nasional memang menjadi lembaga paling sentralistis, kadang juga terkesan feodal. Tokoh-tokoh sepuh seperti Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto, juga Susilo Bambang Yudhoyono, kini terus memimpin partai masingmasing (juga Amien Rais tampak kembali menjadi real leader PAN).
Sebagai lembaga yang diberi hak oleh konstitusi dan undang-undang untuk rekrutmen pemimpin politik, partai juga belum jadi teladan dalam hal akuntabilitas. Tiga ribuan anggota dewan yang kena kasus di era reformasi juga menunjukkan ka- derisasi serampangan.
Yang kalah dalam drama sidang paripurna di hari-hari akhir DPR 2009–2014 adalah rakyat. Maklum bila pemilih pemilu mengaku kecele. Sebab, saat kampanye tak disuarakan ide mengembalikan pilkada ke DPRD. Suara partai ternyata tak selalu suara rakyat. Bahkan, suara wakil rakyat tak selalu suara rakyat.
Produk ”kerja” partai politik yang sentralistis itu jelas akan mengorbankan spirit desentralisasi sejak 2001. Ironis, ketika rakyat Indonesia memilih presiden yang merupakan sosok best practice otonomi daerah, Joko Widodo, ternyata dilingkupi oleh undang-undang yang tidak pro-otonomi. Mengiringi diketoknya UU Pilkada, di hari yang sama, 26 September, disahkan UU Pemerintahan Daerah (Pemda) yang menyengat bau sentralistisnya.
UU Pemda juga menuruti hasrat partai politik untuk ”berdaulat”. Dalam draf UU Pemda ada pasal yang melarang kepala daerah merangkap ketua partai politik dengan maksud agar berfokus melayani rakyat. Tapi, di sidang paripurna Fraksi PDIP dan PKB menolak. Partai lain juga setuju dengan penolakan itu, termasuk Partai Demokrat tentu. Kepala daerah makin tercitra sebagai ”petugas partai”.
Kepala daerah akan makin berorientasi ke pusat karena setiap tahun harus membuat laporan kinerja ke pemerintah pusat (presiden atau menteri dalam negeri). UU Pemda juga mengharuskan kepala daerah setiap tahun mem- buat laporan pertanggungjawaban kepada DPRD. Di UU Pemda memang ada pasal partisipasi rakyat. Tapi, sifatnya hanya pemanis. Atau uji publik para calon kepala daerah sebelum dipilih DPRD, juga kuat terkesan sebagai pemanis. Sebab, publik tak berhak membatalkan calon yang buruk.
Calon independen juga diakomodasi di UU Pilkada. Tapi, bisa diperkirakan orang tak terlalu bersemangat maju dari calon independen karena suara di DPRD sudah diplot partai. Padahal, dia sudah susah-susah mencari ribuan KTP dukungan.
Otonomi daerah kini berada dalam tikungan berbahaya. Rakyat daerah tak lagi bersifat otonom dalam menentukan ”nasib daerahnya”. Tinggal menerima saja hasil kese- pakatan bos-bos partai lewat kepanjangan tangannya di DPRD.
Kita akan sulit melihat lahirnya tokoh populer dan kompeten seperti Tri Rismaharini (wali kota Surabaya), Ridwan Kamil (wali kota Bandung), Prof Nurdin Abdullah (bupati Bantaeng), Abdullah Azwar Anas (bupati Banyuwangi), Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (mantan bupati Belitung/Wagub DKI), Suyoto (bupati Bojonegoro), Bima Arya (wali kota Bogor), Mathius Awoitauw (bupati Jayapura), Illiza Sa’aduddin Jamal (wali kota Aceh), bahkan Joko Widodo.
Sebenarnya bukanlah rekor yang jelek pilkada langsung sejak 2005 (sembilan tahun lalu) telah melahirkan seorang presiden dari kepala daerah otonom, yakni Jokowi. Atau justru karena inilah rakyat ”dihukum”? (www.jpip.or.id/c11)