Jokowi Berani Hadapi Risiko Politik
Luhut tak menampik bahwa kebijakan itu memang sangat berisiko. Sebagai presiden yang baru menjabat, Jokowi bakal menerapkan kebijakan nonpopuler yang sering memicu gejolak sosial. Namun, dia mengaku punya alasan kuat untuk menerapkan kebijakan tersebut. Salah satunya, menyelamatkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang sangat rentan.
”Saat masuk kantor hari pertama, Presiden Jokowi bakal langsung berhadapan pada defisit anggaran sebesar Rp 27 triliun. Belum lagi carryover BBM subsidi Rp 46 triliun. Total kas negara yang kosong bakal mencapai USD 7,2 miliar,” ungkap Luhut.
Luhut menerangkan, kenaikan harga BBM bersubsidi bisa menghemat anggaran ratusan triliun rupiah. Jika benar dilaksanakan, pemerintah bakal menghemat USD 13 miliar–USD 14 miliar atau sekitar Rp 150 triliun pada 2015. ” Tahun depannya lagi bisa hemat USD 20 miliar. Dan pada 2016 bisa hemat USD 26 miliar,” tambahnya.
Dana hasil penghematan tersebut, lanjut dia, bisa digunakan untuk program pendorong ekonomi. Salah satunya pembangunan infrastruktur yang diperlukan Indonesia. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa diprediksi setidaknya mencapai 7,5 persen tahun depan.
”Kalau dilihat anggaran subsidi BBM dalam lima tahun terakhir ini, naik rata-rata 30 persen. Sampai sekarang sudah mencapai sekitar 25 persen dari total APBN. Sementara itu, anggaran infrastruktur flat dalam lima tahun terakhir,” jelasnya.
Terkait dengan risiko politik yang bakal dihadapi, Luhut menyatakan bahwa Jokowi sudah siap menerima kemungkinan tersebut. Menurut dia, Jokowi menilai penyelamatan anggaran negara lebih penting daripada menjaga citra politik. ”Pak Jokowi sudah siap akan risiko yang dihadapi. Beliau siap untuk tidak populer,” terangnya.
Namun, lanjut Luhut, tidak berarti Jokowi bakal membiarkan kebijakan tersebut melukai masyarakat. Dia juga mengaku sedang membuat kebijakan kompensasi kepada masyarakat kurang mampu yang bakal terkena dampak kenaikan harga BBM bersubsidi itu. Salah satunya program bantuan langsung tunai (BLT).
”Pasti akan ada. Saat ini kami sedang mengatur bagaimana bentuknya. Kan sudah ada basis data orang yang bakal menerima BLT. Yang mendapatkan nanti sekitar 27 juta jiwa. Sedang didiskusikan supaya nanti bisa sosialisasi dengan baik. Jadi, begitu harga BBM subsidi naik, dana bisa langsung cair,” terangnya.
Pengamat energi Ibrahim Hasyim turut mendukung rencana tersebut. Menurut dia, selisih harga Rp 2 ribu per liter antara BBM bersubsidi dan BBM nonsubsidi bisa menjaga kuota BBM dari kemungkinan jebol. Setidaknya hal tersebut bakal membuat penyelundup BBM bersubsidi berpikir dua kali. Untuk mencapai selisih Rp 2 ribu per liter, kenaikan sebesar Rp 3 ribu dinilai cukup.
”Saat ini memang saat yang tepat karena pasar minyak mentah dunia sudah stabil. Negara Timur Tengah yang dulu bisa memainkan harga sekarang sudah mendapat penyeimbang dari Amerika Serikat (AS),” ungkap pria yang menjabat anggo- ta Komite Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas itu.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, yang dibutuhkan pelaku usaha adalah kepastian. Karena itu, jika rencana kenaikan harga BBM bersubsidi cepat diputuskan, pelaku usaha bisa memulai kalkulasi bisnis untuk mengantisipasi dampaknya. ”Kalau mau naik Rp 3 ribu (per liter), kami pengusaha oke saja,” ujarnya.
Menurut Sofjan, dengan kenaikan harga Rp 3.000 per liter, diperkirakan ada kenaikan harga barang dan jasa atau inflasi 3–4 persen. Hal itu, lanjut dia, masih bisa diterima para pelaku usaha. ”Kalau transportation cost ( biaya transportasi) naik, kami nanti bisa tambah gaji pegawai untuk menutup kenaikan itu,” katanya.
Bagi pelaku usaha, papar Sofjan, lebih baik harga BBM dinaikkan, lalu anggaran subsidinya dialihkan untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, irigasi, pelabuhan, maupun pembangkit listrik. ”Itu lebih bermanfaat bagi rakyat dan pelaku usaha,” ucapnya. (bil/owi/c11/sof)