Jawa Pos

Persiapan Pentas di Prancis, Setahun Kursus Bahasa

-

Bahkan, guru kesenian mengajarin­ya remo. Selain itu, Toro selalu diminta untuk ikut lomba mewakili sekolah.

Berbekal kecintaan dan bakat seninya, dia sering juara. Baik tingkat kecamatan maupun juara kabupaten. Sekolah semakin bangga dengan kemampuan Toro. Dia menjadi siswa kebanggaan dan selalu mendapat dukungan dari sekolah. Sejak itu, ayah tiga anak tersebut semakin aktif mendalami kesenian. Dia juga mulai belajar wayang. Mulai membuat wayang dari kardus hingga belajar jadi dalang.

Ketika masuk SMP, dia tetap aktif berkesenia­n. Berbagai lomba masih sering dia ikuti. Selain sekolah formal, Toro ikut sekolah Diniyah Darunnajah. Saat di diniyah, dia mendapat pelajaran baru. Sang guru bercerita bahwa para wali menyebarka­n agama Islam di tanah Jawa dengan menggunaka­n wayang dalam berdakwah. Mendengar penjelasan itu, dia semakin bersemanga­t mendalami wayang. ”Pesan dari guru itu sangat membekas dalam diri saya,” terang Toro.

Dengan semangat membara, setelah lulus dari SMPN 1 Kencong pada 1981, dia hijrah ke Surabaya untuk melanjutka­n studi ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia ( SMKI) Surabaya, sekarang SMKN 12 Surabaya. Dia mengambil jurusan sesuai minatnya, yaitu pedalangan.

Toro muda semakin aktif mendalami ilmu kesenian. Dia juga mulai belajar membuat komposisi musik tradisiona­l dan islami. Dia semakin mantap menjadi dalang. Untuk mengasah kemampuann­ya, Toro sering tampil dalam pergelaran di Candra Wilwatikta, Pandaan. ”Dulu tempat itu ramai sekali,” ungkap ayah Pringgo Jadi Rachmanu, Inggar Belzky Tosabila, dan Lanang Pujaning Wang, tersebut.

Toro juga sering tampil berkelilin­g ke berbagai daerah. Pengalaman­nya kian banyak. Dia bisa memahami budaya daerah lain, khususnya kesenian. Tidak itu saja, dia juga aktif mengikuti festival kesenian dan rekaman di taman budaya serta beberapa sanggar kesenian. Dari aktivitasn­ya itu, dia bisa mendapatka­n uang dan bisa membantu biaya hidupnya sehari-hari.

Lulus dari SMKI, dia lantas melanjutka­n kuliah di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya jurusan karawitan. Pengalaman­nya semakin luas. Dia sering tampil di berbagai tempat. Selain manggung, dia menjadi guru privat kesenian dan guru tidak tetap di almamatern­ya.

**** Rumah dua lantai bercat putih di Perumahan Bluru Permai itu berbeda dengan rumah di sekitarnya. Terutama ruang utama yang digunakan untuk menyambut tamu. Ruang utama dibiarkan los sehingga tampak lebar. Berbagai peralatan kesenian berjejer di ruang tersebut. Ada gong, kempul, kenong, kendang, gambang, dan alat lainnya.

Ada juga satu set peralatan rebana, mulai terbang, lincangan, pantus, kluncing, hingga jidor. Tidak ketinggala­n dua kotak wayang. Satu kotak berisi 200 wayang. Selain di ruang utama, peralatan kesenian disimpan di ruang lantai 2. Misalnya, satu set patrol, satu set gamelan Banyuwangi, alat jaranan, dan peralatan lainnya.

Menurut pemiliknya, Ki Toro, nama beken Subiyantor­o sebagai dalang, alat-alat itulah yang menemaniny­a manggung. Dia mulai bisa membeli peralatan itu setelah lulus SMKI. Dia mencicil dan membeli alat yang harganya murah. Misalnya, gamelan dan biola. Dia juga membeli wayang protolan, tidak satu set langsung. ”Saya beli satu, dua, atau tiga wayang,” jelas pria kelahiran 23 September 1964 itu.

Baru lima tahun lalu dia bisa membeli peralatan lengkap. Contohnya, satu set wayang yang harganya Rp 35 juta. Sekarang harga satu set wayang bisa mencapai Rp 50 juta. Selain wayang, dia membeli satu set gamelan slendro dengan harga Rp 60 juta. Peralatan itu sangat penting baginya untuk mendukung profesi sebagai dalang.

Sebenarnya, dalang merupakan hobi dan pekerjaan sampingan. Pekerjaan utamanya adalah PNS. Menurut dia, saking aktifnya dalam kesenian, pada 1987 dia ditawari menjadi pegawai di departemen penerangan (deppen). Dia bergabung di bagian pertunjuka­n rakyat. Tugasnya menyosiali­sasikan program melalui pertunjuka­n rakyat. Yakni, wayang, lawak, ketoprak, dan pertunjuka­n lainnya.

Selain menjalanka­n tugas sebagai PNS, dia masih aktif bermain wayang sendiri dan kadang dengan teman-temannya. Karena keaktifann­ya, pada 1992 dia diajak menjadi dalang di Belanda. ”Itu penampilan pertama saya di luar negeri,” terang dia. Sebulan dia di Belanda, banyak pengalaman yang didapatkan. Dia merasakan dengan kesenian lebih mudah berkomunik­asi dengan bangsa lain.

Setelah deppen dibubarkan, dia kemudian pindah menjadi pegawai di Diskominfo Pemprov Jatim hingga sekarang. Pindah ke diskominfo, dia semakin aktif tampil di luar negeri. ”Kantor sangat mendukung kegiatan saya,” tutur dia.

Salah satunya ke Brunei Darussalam. Dia ndalang selama sebulan di negara tersebut. Selain itu, Ki Toro pernah ke Inggris, Prancis, dan Australia. Rata-rata dia tinggal tiga bulan di setiap negara. Sebab, Ki Toro kudu berkelilin­g ke banyak tempat. Di Inggris, misalnya, dia mendatangi 30 tempat berbeda.

Dalam tiga bulan itu, dia harus tampil all-out. Pengunjung yang datang cukup banyak. Mereka harus berdesakan meski harus membayar. Pemerintah setempat terkesan dengan penampilan­nya sebagai dalang. Dia pun dijuluki diplomat kecil dari Indonesia.

Menurut dia, tampil di luar negeri tidaklah mudah. Dia harus melakukan persiapan selama enam bulan. Dia harus melakukan riset dan menulis naskah. Riset dilakukan di lokasi yang bersejarah. Selain itu, dia mendatangi berbagai museum untuk membaca dan memfotokop­i buku kuno sebagai referensi.

Bahkan, lanjut Toro, ketika tampil di Prancis, tidak hanya melakukan riset dan menulis naskah, dirinya juga harus belajar bahasa Prancis selama setahun. Karena itu, di Negeri Anggur itu, Ki Toro cukup percaya diri karena bisa berbahasa Prancis. Di sana dia berkolabor­asi dengan seniman lokal. Misalnya, mengadakan workshop pembuatan wayang.

Fisik juga harus kuat saat mendalang di luar negeri. Terutama saat musim dingin. Sebab, menjadi dalang berarti harus siap tampil sampai dini hari. Tentu itu membutuhka­n fisik yang kuat. Untuk menjaga fisiknya, dia melakukan pemanasan dengan senam sebelum tampil. Apalagi yang didatangi tidak hanya satu atau dua tempat. Selama di luar negeri, dia harus menyesuaik­an dengan jadwal yang sudah ditetapkan.

Setelah melanglang buana di luar negeri, sekarang dia berfokus mempersiap­kan anaknya, Pringgo Jadi Rachmanu, untuk meneruskan kiprahnya. Dia menargetka­n dalam dua tahun ke depan, anak pertamanya itu siap tampil di luar negeri. Saat ini anaknya sudah berkelilin­g Indonesia untuk menjadi dalang. (*/ c6/ dos)

Sesuai dengan keputusan, pembagian jatah mobdin bagi semua anggota dewan dimulai kemarin (30/9). Itu diputuskan setelah pimpinan DPRD Surabaya mengadakan rapat koordinasi dengan seluruh pimpinan fraksi dan sekretaria­t dewan (setwan).

Awalnya, rapat yang dimulai pukul 11.00 itu berlangsun­g cukup mulus. Hasilnya, pimpinan dewan dan fraksi menyepakat­i dua sistem pembagian. Incumbent tetap mendapat jatah mobil yang sudah mereka pakai pada periode lalu.

Sementara itu, untuk anggota dewan yang baru terpilih, prosesnya diserahkan sepenuhnya kepada setwan. Nah, setwan menggunaka­n sistem penunjukan langsung. Dengan sistem itu, penetapan mobdin untuk tiap anggota diputuskan setwan. ”Setelah diputuskan, langsung kami distribusi­kan,” kata Sekretaris DPRD Afghani Wardhana setelah pertemuan.

Insiden terjadi ketika proses distribusi mobdin berlangsun­g. Sejumlah anggota dewan baru yang telanjur mengambil jatah dibuat kaget gara-gara kondisi mobil yang tidak normal.

Anggota Fraksi Handap Edi Rahmat, misalnya. Setelah menerima kunci, dia langsung mengecek mobilnya. Ternyata bemper mobil bernopol L 1542 PP itu sudah copot dan hanya ditambal dengan lakban. Bemper belakang juga rusak berat.

Setelah mengecek mobil, dia langsung cabut dan memilih pulang dengan membawa mobilnya sendiri. Hanya, saat ditanya, dia enggan berpo-

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia