Banyak Celah Pertahanan di Langit RI
JAKARTA – Kedaulatan Indonesia di langit masih memiliki celah. Sebab, radio detection ranging atau radar yang dimiliki TNI Angkatan Udara (AU) masih kurang 12 titik. Hal tersebut bisa jadi dimanfaatkan pihak asing untuk melanggar pertahanan kedaulatan Merah Putih.
Sesuai dengan data TNI-AU, ada 20 radar yang dimiliki dengan jenis Thomson dan Master T yang tersebar di seluruh tanah air. Thomson merupakan radar tiga dimensi yang menunjukkan jarak, ketinggian, serta bentuk. Master T juga memiliki teknologi tiga dimensi tersebut. Keduanya memiliki radius sekitar 500 km.
Namun, dengan luas wilayah Indonesia yang mencapai 1.990.250 km persegi, kebutuhan radar mencapai 32 titik dengan teknologi yang sama. Dengan begitu, radar yang dimiliki masih kurang 12 titik.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara (Kadispenau) Marsekal Pertama (Marsma) TNI Hadi Tjahyanto menyatakan, kekurangan jumlah radar tersebut telah diperhitungkan TNI. Rencananya, 12 radar dibeli secara bertahap dan dipenuhi pada 2024. ”Ini masuk pada rencana jangka panjang. Soal 12 titik tanpa radar itu, tentu tidak bisa disebutkan,” ujarnya.
Untuk tahap awal, pada 2015 ada empat radar tambahan jenis Master T yang akan ditempatkan di Jayapura, Papua; Tambolaka, Nusa Tenggara Timur; Singkawang, Kalimantan Barat; serta Jombang, Jawa Timur. Saat ini, di empat daerah itu memang belum terdapat radar, namun dipastikan segera diisi. ”Artinya, tahun depan hanya kurang delapan radar,” tegasnya kemarin (29/11).
Untuk mengatasi masih adanya celah pertahanan, TNI-AU bekerja sama dengan perusahaan penerbangan sipil untuk mengisi kekosongan tersebut. Radar penerbangan sipil diintegrasikan dengan radar militer. ”Dengan program itu, dapat diketahui apakah ada pesawat yang masuk atau tidak.”
Namun, tetap saja radar sipil memiliki kelemahan. Yakni, tidak bisa mendeteksi pesawat yang sengaja mematikan transponder atau pemancar radio yang berhubungan dengan radar. ”Selama ini memang belum terjadi. Tapi, kami berusaha mengantisipasi dengan kerja sama antara TNI, Kementerian Perhubungan, serta Kementerian Luar Negeri. Kerja sama itu lewat program Flight Clearance Information System (FCIS). Kalau tidak ada dalam FCIS, itu penerbangan gelap,” tegasnya.
Tentang kemungkinan percepatan pengadaan radar, dia menyatakan bahwa hal tersebut bergantung pada pemerintah. ”Kami tetap menjaga kedaulatan Indonesia dengan maksimal,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu mengakui bahwa perlu penambahan dan peremajaan radar milik Indonesia. Pengadaan radar sudah masuk dalam rencana starategis TNI hingga 2024. ”Perlu perbaikan, tapi sudah dirancang akan dipenuhi secara bertahap,” tuturnya.
Memang, pesawat milik Indonesia kian canggih. Namun, radar sebagai instrumen pendeteksi pesawat tanpa izin juga penting dalam menjaga kedaulatan Indonesia. ”Secara umum, pertahanan kita sudah seimbang dengan negara tetangga,” terangnya.
Pengamat militer dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Rizal Darma Putra mengungkapkan, dampak kedaulatan udara yang masih memiliki celah tersebut sebenarnya bisa cukup mengerikan. Yakni, bisa terjadi tabrakan di udara antara pesawat komersial dan pesawat gelap yang mematikan transponder. ”Karena itu, mau tidak mau, sebaiknya pemerintah menambah jumlah radar tersebut. Walau, memang kendalanya ada pada besarnya anggaran. Pembelian itu tentu juga harus dengan perawatannya,” tuturnya. (idr/c5/sof)