Jawa Pos

Premium Hilang, SPBU Asing Untung

-

JAKARTA – Rencana penghapusa­n bahan bakar minyak (BBM) RON 88 atau yang dikenal premium mendapat respons negatif dari Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas). Apalagi kalau mekanisme pengalihan subsidi dari premium ke pertamax memiliki disparitas harga yang kecil.

Ketua Umum Hiswana Migas Eri Purnomohad­i saat dihubungi semalam mengatakan, subsidi yang kecil, misalnya Rp 500, tidak membantu penjualan pertamax. Apalagi kalau SPBU asing seperti Shell, Petronas, dan Total terus menguntit dengan harga yang mendekati Pertamax.

” Brand kita belum kuat. Kalau subsidinya hanya Rp 500, orang bisa beli ke SPBU asing,” ujarnya

Dia menyebut, tipe pembeli BBM pada umumnya tidak mengincar produk. Jika harga BBM mirip atau tidak terlampau berbeda, berdasar fakta yang ditemukan Hiswana Migas, orang akan membeli bahan bakar di non-Pertamina.

Karena itulah, kalau pemerintah memaksakan peralihan premium ke pertamax, dia yakin betul keuntungan bakal lebih banyak direnggut SPBU asing. Bagaimana kalau subsidinya diperbesar? Eri menyebut mungkin bisa membaik. Tetapi, itu menjadi lucu karena orang-orang kaya sangat senang.

”RON 92 kan untuk kendaraan golongan kelas atas. Kalau mobil 1.000 cc atau 1.500 cc enggak perlu pertamax. Naik Mercy, Alphard, tapi masih disubsidi,” jelasnya.

Hiswana Migas pun berharap penjualan premium tidak dihentikan. Apalagi, kilang-kilang di Indonesia sudah didesain dari dulu untuk mengolah bensin dengan nafta untuk menghasilk­an oktan rendah. Menurut dia, kalau mau dilakukan perubahan, bakal dibutuhkan waktu, investasi besar, dan persiapan teknis.

Meski itu semua diserahkan ke pemerintah dan Pertamina, perubahan tidak mudah. Dia tahu, setelah rekomendas­i muncul, pemerintah tampak mendukung. ’’Boleh dihapus, tapi SPBU asing tidak boleh berjualan di sini. Atau kasih jualannya di tempat yang tidak ada marketnya,’’ imbuh dia.

Eri menambahka­n, SPBU Pertamina mencapai 5 ribuan. Tetapi, itu bisa hancur dengan mudah kalau SPBU asing diberi peluang menjual BBM dengan harga yang mirip. Dia malah berharap Indonesia bisa seperti Korea Selatan yang lebih mendukung national oil company-nya (NOC).

”Saat Petronas masuk Indonesia pada 2005, Pertamina mau masuk ke Malaysia susah,” jelasnya.

Kalau tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) menyatakan ada pola bisnis yang mencurigak­an, menurut Eri, tidak bijak jika opsi menghilang­kan premium diambil. Kesannya, yang bermasalah adalah produknya. Padahal, yang digembar-gemborkan harga pembentuk premium dan pola bisnisnya.

”Kalau dikatakan tertutup, dibuka saja. Sistem yang salah, diperbaiki, jangan disalahin produknya lantas dihilangka­n,” tegasnya.

Di sisi lain, Country Marketing Manager Shell Retail Julio Manuputty belum mau berbicara soal rekomendas­i itu. Dia tidak mau berandai-andai soal dampaknya jika premium benarbenar dihilangka­n. Yakni, apakah baik untuk bisnisnya atau malah membuat buntung. ” No comment dulu. Tunggu keputusan pemerintah,” ujarnya.

Dihubungi terpisah, anggota tim RTKM Fahmy Radhi membantah penghapusa­n premium membuat SPBU asing berjaya. Dia menegaskan, tim sudah mempertimb­angkan persaingan yang muncul saat bahan bakar yang ada hanya pertamax dan lebih tinggi. Termasuk besaran subsidi yang menurut dia belum pasti.

’’Itu sudah dipertimba­ngkan. Harga nanti tetap ada selisih dengan asing supaya penjualan pertamax tetap tinggi. Jangan sampai kita kalah dengan asing,’’ jelasnya.

Meski demikian, tim juga mendesak Pertamina untuk melakukan perubahan. Dia menyebut perusahaan pimpinan Dwi Soetjipto itu tidak bisa dimanja terus. Harus disiapkan melawan produk asing. Nah, penghapusa­n premium bisa menjadi langkah awal untuk berubah karena Pertamina juga dituntut memberikan servis lebih baik. (dim/c10/end)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia