Saatnya Operasi Pasar untuk Beras
OPERASI pasar merupakan salah satu instrumen ekonomi yang sering digunakan pemerintah untuk stabilisasi harga kebutuhan pokok yang sedang bergejolak. Operasi pasar (sering disingkat OP) merupakan tindakan pemerintah untuk menangani lonjakan harga komoditas di daerah tertentu selama jangka waktu tertentu.
Saat ini dilaporkan oleh banyak media telah terjadi lonjakan harga beras yang cukup signifikan dan merata di seluruh daerah di Indonesia. Harga beras di sejumlah daerah bahkan dilaporkan telah menyentuh batas psikologis masyarakat Rp 10.000/kg. Di Kabupaten Tegal, misalnya, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani mencapai Rp 4.900/kg dan gabah kering giling (GKG) Rp 5.800/ kg di tingkat penggilingan. Selain itu, untuk beras kualitas medium II, harga di pasaran telah melonjak menjadi Rp 9.500/kg dari harga normal Rp 7.300/kg.
Ada beberapa penyebab yang memicu lonjakan harga beras akhirakhir ini. Pertama, musim paceklik yang merupakan siklus tahunan. Musim paceklik ditandai oleh defisit pasokan komoditas beras ke pasar gara-gara minimnya hasil panen petani. Siklus tahunan tersebut biasanya terjadi pada Oktober, November, Desember, Januari, dan Februari. Rata-rata defisit pasokan beras ke pasar pada Desember mencapai 6,97 persen (Syafaat, 2002).
Pemicu kedua adalah kebijakan yang diambil pemerintah. Misalnya kebijakan pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang membawa konsekuensi naiknya harga solar serta premium, tarif dasar listrik (TDL), harga elpiji, dan lain sebagainya. Ketiga, meningkatnya permintaan beras dari masyarakat menjelang peringatan Maulid Nabi Muhammad, Natal, dan Tahun Baru 2015.
Keempat, tidak adanya alokasi beras bersubsidi (raskin) pada dua bulan terakhir 2014. Seperti diketahui, distribusi raskin untuk November dan Desember 2014 telah dimajukan untuk mencegah lonjakan harga menjelang Lebaran lalu. Sementara itu, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2014, pemerintah tidak menganggarkan raskin ke-13 dan ke-14 seperti tahun-tahun sebelumnya. Padahal, November dan Desember merupakan bulan-bulan yang sangat krusial akan lonjakan harga pangan. Memicu Inflasi
Lonjakan harga beras di berbagai daerah akan memicu angka inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, inflasi Oktober dan November 2014 berturut-turut sebesar 0,47 persen dan 1,5 persen. Pemicu tingginya angka inflasi pada dua bulan tersebut antara lain berasal dari komponen harga bergejolak, utamanya kelompok bahan pangan ( volatile food) seperti cabai merah, cabai rawit, dan beras.
Dengan cenderung melonjaknya harga bahan pangan, termasuk beras, sudah dapat dipastikan angka inflasi pada Desember 2014 akan terkerek cukup tinggi. Kondisi seperti itu perlu diwaspadai oleh pemerintah. Henri Josserand dari Global Information and Early Warning System FAO telah mengingatkan bahwa inflasi yang dipicu kenaikan harga pangan merupakan pukulan paling berat bagi warga miskin. Sebab, pengeluaran keluarga miskin untuk belanja pangan tidak kurang dari 60 persen dari total pengeluaran.
Studi Bank Pembangunan Asia pada April 2011 sampai pada kesimpulan bahwa kenaikan harga pangan 10 persen di negara berkembang Asia akan menambah penduduk miskin baru sebanyak 64 juta orang. Studi itu menggunakan asumsi dan dasar perhitungan garis kemiskinan sebesar USD 1,25 per hari.
Lalu, siapakah yang diuntungkan oleh situasi kenaikan harga beras itu? Pemikiran orang awam mungkin mengatakan bahwa petanilah yang paling menikmati tingginya harga beras saat ini. Pemikiran seperti itu tidak benar karena gabah/beras hasil panen petani saat ini sudah berada di tangan pedagang. Jadi, para pedaganglah yang paling menikmati tingginya harga beras saat ini.
Berdasar data sensus pertanian 2013, sebagian besar petani Indonesia merupakan petani gurem (menggarap sawah kurang dari 0,5 hektare). Mereka berusaha tani secara subsistem. Saat musim paceklik seperti sekarang, kegiatan mereka hampir 100 persen bersifat konsumtif. Mereka telah menjadi net consumer beras, hasil panen telah habis dikonsumsi. Untuk keperluan makan sehari-hari, mereka harus membeli beras layaknya konsumen lain. Moral Hazard
Melihat tingginya harga beras serta dampaknya terhadap daya beli masyarakat, mau tidak mau, suka tidak suka, pemerintah harus segera melakukan OP beras. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2012 telah mengatur penggunaan cadangan beras pemerintah (CBP) untuk stabilisasi harga. Kebijakan OP harus dilakukan karena lonjakan harga beras telah melebihi 10 persen dari harga normal dan sudah berlangsung lebih dari satu minggu seperti disyaratkan permendag tersebut.
Perlu penulis tekankan, agar berjalan efektif, OP beras kali ini bersifat khusus (OPK) sebagaimana penyaluran raskin. Setidaknya ada tiga pertimbangan mengapa OPK beras harus dilakukan. Pertama, area jangkau ( covering area) rumah tangga sasaran (RTS) sangat luas, secara nasional mencapai 15,5 juta RTS.
Kedua, volume beras OPK sangat besar, dapat mencapai 230.000 ton sehingga setiap RTS dapat menerima 15 kilogram. Ketiga, harga tebus jauh lebih murah, yaitu Rp 1.600/kg, jika dibandingkan dengan OP murni (OPM) dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp 7.400/kg (Jawa) dan Rp 7.500/kg (luar Jawa).
Sebaliknya, OPM beras tidak efektif untuk menstabilkan harga di pasaran karena beberapa keterbatasan. Di antaranya, OPM hanya dilakukan di beberapa titik pasar, volume beras untuk OP sangat sedikit, serta kecilnya selisih harga beras OP dan harga riil di pasar menyebabkan kelompok sasaran tidak mampu membeli. Pengalaman empiris menunjukkan, OPM beras justru menyemai tindakan moral hazard di masyarakat. Karena beras OP tidak laku, akhirnya beras tersebut diborong oleh oknum-oknum pedagang yang sengaja memburu rente dari beras yang telah disubsidi pemerintah itu. (*) *) Alumnus IPB dan Magister
Manajemen Unsoed (totosby@yahoo.co.id)