BPJS, BUMN, dan Realitas di Lapangan
SESUAI dengan Peraturan Presiden (PP) No 12 Tahun 2013 dan PP No 111 Tahun 2013, pemberi kerja pada BUMN, usaha besar, usaha menengah, dan usaha kecil wajib mendaftarkan peserta jaminan kesehatan paling lambat 1 Januari 2015. Selanjutnya disebutkan, pemberi kerja pada usaha mikro paling lambat terdaftar pada 1 Januari 2016 serta pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja (seluruh warga negara Indonesia) wajib terdaftar di BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan paling lambat 1 Januari 2019.
Dengan demikian, tahun baru 2015 ini akan diwarnai banjirnya kepesertaan BPJS dari BUMN sebagai konsekuensi logis kewajiban tersebut. Selain itu, beruntun pada 2016, BPJS akan kebanjiran peserta eks jamkesda yang kepesertaannya akan berlangsung secara otomatis ( Jawa Pos, 24/12/2014).
Pada hari yang sama disebutkan, di antara 2.687 badan usaha yang wajib mendaftarkan karyawannya, yang baru teregister dan sudah bisa aktif per 1 Januari 2015 hanya 621 badan usaha. Itu hanya untuk wilayah Surabaya. Karena itu, perlu dielaborasi lebih lanjut bagaimana aspek normatifnya, realitas yang berkembang di masyarakat,
serta tantangan ke depan. Aspek Normatif Etik
Secara normatif dan etik, penyelenggaraan jaminan kesehatan melalui BPJS merupakan bagian dari tanggung jawab negara atas kesejahteraan warga negaranya. Dengan kata lain, negara menjamin terselenggaranya layanan kesehatan yang gratis bagi masyarakat tidak mampu –dengan subsidi iuran BPJS– dan menjamin layanan kesehatan murah bagi karyawan melalui kepesertaan di BPJS dengan premi yang relatif kecil. Artinya, negara berperan aktif untuk menyejahterakan rakyatnya.
Bagi badan usaha, hal itu sekaligus menjadi manifestasi tanggung jawab sosial yang tampak dari skema pembayaran premi 4,5 persen dari gaji atau upah karyawan, dengan komposisi 4 persen dibayarkan pemberi kerja dan 0,5 persen dibayarkan karyawan. Setelah 1 Juli 2015, besaran premi atau iuran BPJS tersebut 5 persen dari upah atau gaji per bulan dengan komposisi 4 persen dibayarkan pemberi kerja dan 1 persen dibayarkan peserta. Bagi peserta yang membayar mandiri, kisaran premi atau iuran pun sangat murah dengan besaran Rp 25.500 untuk manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III, Rp 42.500 untuk kelas II, dan Rp 59.500 untuk kelas I.
Singkat kata, sepanjang peserta telah teregister di BPJS, prinsip cashless (layanan gratis tanpa bayar sepeser pun) akan dinikmati saat peserta mendapatkan layanan kesehatan sesuai dengan kelasnya. Tentu, hal itu sangat membantu dan menggembirakan. Realitas di Lapangan
Sekarang, mari sejenak kita lihat realitas di lapangan, khususnya dari perspektif BUMN tertentu yang sudah terbiasa dengan layanan kesehatan kelas premium. Layanan BPJS ’’hanya’’ berhenti di kelas I. Lantas, bagaimana bila akan naik ke VIP, VVIP, atau bahkan super VIP? Konsep semula telah dijembatani dengan mekanisme COB ( coordination of benefit). Karyawan dapat naik kelas layanan dan selisih pembayaran dicover provider asuransi kesehatan, dalam hal ini perusahaan asuransi non pemerintah (swasta). Namun, sampai saat ini, sosialisasi COB tersebut belum segencar kampanye kewajiban untuk segera mendaftar sebelum 1 Januari 2015 ini.
Pada saat yang sama, pembayaran iuran BPJS harus dilaksanakan secara langsung oleh badan usaha tanpa melalui perusahaan asuransi. Artinya, bila sebuah badan usaha bermaksud melaksanakan COB bagi karyawannya, badan usaha tersebut akan melakukan dobel pembayaran, yakni premi asuransi penyedia COB dan premi atau iuran BPJS.
Di sisi lain, COB ternyata hanya bisa dilaksanakan pada skema rawat inap, bukan rawat jalan. COB yang hanya untuk rawat inap itu menimbulkan kekhawatiran karyawan down grade (turun kelas level of service- nya) dalam layanan kesehatan mereka.
Dari sisi biaya kesehatan, dobel bayar tersebut juga menimbulkan kekhawatiran dinilai melanggar asas efisiensi dan risiko biaya hangus. Artinya, bisa jadi meskipun terdaf- tar di BPJS (dan membayar iuran), karena kekhawatiran down grade, akhirnya fasilitas tersebut tidak digunakan dan justru tetap menggunakan jasa asuransi swasta dengan jaminan quality- nya.
Dari dinamika tersebut, penulis menyarankan agar setelah 1 Januari 2015, pemerintah lebih sigap untuk monitoring di lapangan. Sekaligus bereaksi dan proaktif secara cepat terhadap komplain-komplain layanan di lapangan. Jangan sampai kepesertaan mandatory (wajib) per 1 Januari 2015 justru menjadi boomerang terhadap risiko layanan turun kualitas ( down grade) sebagaimana yang dikhawatirkan sebagian peserta (dan calon peserta).
Lebih lanjut, dinamika lapangan masih perlu banyak didalami dan dielaborasi terkait adanya KIS (kartu Indonesia sehat) yang sebagian besar masyarakat juga masih rancu dengan BPJS Kesehatan ini. Sosialisasi dan evaluasi berkesinambungan tanpa henti adalah kunci untuk program tersebut.
*) Kandidat doktor psikologi Unair, komisaris PT Rumah Sakit
PHC Surabaya (nugrohodp@gmail.com). Opini
ini adalah pendapat pribadi.