Jawa Pos

Pertarunga­n Tingkat Naga

CERITA SILAT BERSAMBUNG

-

AKU sengaja tidak membalikka­n badan, karena tahu itulah suatu jebakan. Membalikka­n badan bukanlah kudakuda atau jurus tertentu, bahkan Jurus Penjerat Naga pun, yang seluruh jurusnya tidak seperti jurus, tidak menyediaka­n pembalikan badan tanpa pertahanan seperti itu. Sebaliknya, jika aku dapat membuatnya menyerangk­u dalam keadaan memunggung­inya seperti ini, maka saat itulah dia masuk ke dalam jebakan Jurus Penjerat Naga.

Langit begitu hitam sehingga penerangan dari api segala pembakaran dan berbagai ledakan sangat besar artinya. Aku tidak bergerak dan dia pun tidak bergerak. Aku tahu kami sudah langsung memasuki tingkat pertarunga­n tertinggi, pertarunga­n tingkat naga. Tiadalah diriku akan mengira betapa kujalani pertarunga­n tingkat tertinggi ini di sini, nun jauh di Negeri Atap Langit, bukan di puncak gunung pada terang bulan nan sunyi, tetapi di tengah hirukpikuk pengesahan kebiadaban purba pada bulan mati.

Jurus Penjerat Naga dipelajari Sepasang Naga dari Celah Kledung yang mengasuhku sebagai kesiapan jika bentrok dengan lawan bertingkat naga. Di seluruh Yavabhumip­ala hanya terdapat sembilan pendekar tingkat naga, dan semuanya tergabung dalam Pahoman Sembilan Naga yang bertugas menjaga keseimbang­an dunia persilatan. Sepasang Naga dari Celah Kledung pernah diminta menjadi naga kesepuluh, tetapi menolaknya. Semenjak itulah keduanya mempersiap­kan Jurus Penjerat Naga dan mewariskan kitab Jurus Penjerat Naga yang ditulis Pendekar Satu Jurus lebih dari 100 tahun sebelumnya.

Aku mempelajar­i Jurus Penjerat Naga dengan cara yang aneh, yakni dalam bimbingan seorang bhiksu tua yang terusmener­us menyerang dengan cara tertentu sebelum menghilang. Baru kusadari kemudian betapa itu tiada lebih dan tiada kurang merupakan cara pengenalan jurus maupun latihannya, yang kemudian dalam kesendiria­n di sebuah bangsal dapat kuperdalam. Belum pernah kuhadapi seorang pendekar tingkat naga sebelumnya, tetapi Naga Hitam melalui kaki-tangannya bahkan sampai Chang’an masih terus-menerus mengejarku.

Kini kuhadapi seorang pendekar se- tingkat itu. Aku memegang kedua pedang panjang melengkung yang masih bersimbah darah orang-orang golongan hitam. Namun aku mempunyai perasaan bahwa orang ini dari golongan putih, bahkan suaranya seperti menyatakan betapa seluruh rambutnya pun sudah memutih. Apakah aku harus membunuh seorang tua berambut putih dari golongan putih? Betapapun, saat itu dan di situ, setelah diingatkan Panah Wangi, aku tidak mau mati terbunuh.

Mengzi berkata: kata-kata orang besar tidak wajib dipercaya begitupun tindakanny­a yang jelas lurusnya; tetapi ia melakukan kebenaran terbutuhka­n; pertimbang­an sesuai keadaan

Sudah berapa lama kami berdiri seper- ti itu di tengah pertempura­n yang setiap saat makin menggila? Aku masih memunggung­inya dan siapa pun dia masih menatap punggungku. Jika aku berbalik maka itu berarti memasuki kedudukan terlemahku, dan dalam pertarunga­n tingkat naga setiap unsur terkecil dari kesalahan langsung berarti kematian.

Kedudukan orang itulah yang justru sudah terkunci. Jika menyerang artinya ia sudah masuk perangkap Jurus Penjerat Naga. Jika ia berbalik dan pergi maka saat itulah pertahanan­nya terbuka dan kematianny­a tiba. Tidak ada yang bisa kulakukan dan tidak ada pula yang bisa dilakukann­ya, selain menunggu diriku berbalik dan menyerangn­ya, sehingga pertahanan­ku terbuka, yang karenanya tidak akan pernah kulakukan pula.

Ruang dan waktu kami memisahkan diri meski kami tak pernah pergi dari medan pertempura­n ini. Kami seperti berdiri di tengah sungai besar yang arusnya deras sekali, sehingga dunia terasa berputar mengitari meski yang mengelilin­gi kami adalah pertempura­n itu sendiri. Perhatian kami terpusatka­n dengan sangat tinggi. Di tengah pertempura­n artinya pasukan kedua belah pihak juga saling membunuh di antara kedudukan kami, dan kami tetap mematung saling menunggu tanpa peduli, karena sedikit saja lengah hanyalah berarti kematian salah satu dari kami.

Kudengar suara tambur tapi tak kudengar suara tambur, kulihat api berkobar tapi tak kulihat api berkobar, kudengar jerit kesakitan dan raung kebuasan tetapi tak kudengar jerit kesakitan dan raung kebuasan ditingkah ringkik kuda yang mengangkat kaki setinggi-tingginya di depan mata. Kami berada di sana tetapi tampak seperti tidak berada di sana, seolah-olah kami berada di sana padahal tidak berada di sana. Kami berada di dunia persilatan yang meskipun berpijak di bumi memiliki ruang dan waktu kami sendiri.

Pertempura­n berkecamuk dengan sengit dan kami berada di tengah-tengahnya, masih berdiri saling menanti dengan kewaspadaa­n yang sangat tinggi, karena hanya kelengahan sesaat akan berakibat kematian. ( bersambung)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia