Jawa Pos

192 Ribu Guru Hidup Susah

- Ada Yang Dibayar Hanya Rp 150 Ribu

SURABAYA – Kesejahter­aan kaum guru masih menjadi problem pelik. Di Jawa Timur, sekitar 192 ribu guru hidup di bawah upah minimum kabupaten/kota. Masalah tersebut menjadi perjuangan penting PGRI Jawa Timur pada 2015 di samping agenda peningkata­n mutu guru.

Guru-guru berharap pemerintah menetapkan upah minimum guru (UMG) di Jawa Timur. Sebab, jumlah guru yang hidup dengan upah di bawah standar itu mencapai sekitar 40 persen di antara total guru di Jatim.

Ketua PGRI Jatim Ichwan Sumadi menyebut, ada 480 ribu guru PNS dan non-PNS di Jatim. Di antara mereka, 40 persen atau sekitar 192 ribu guru masih hidup dibawah standar. Itu belum termasuk guru mengaji atau guru yang mengajar di pondok pesantren. Kalau mereka dimasukkan, totalnya sekitar 600 ribu guru.

Upah mereka masih jauh dari upah minimum kota/kabupaten (UMK). Gaji guru TK, misalnya, rata-rata Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu. Guru SMP sekitar Rp 300 ribu–Rp 400 ribu. ”Mereka umumnya guru non-PNS,” sebutnya.

Ichwan menilai pemerintah belum ”menjamah” mereka dengan baik. Padahal, banyak yayasan pendidikan yang belum mampu menggaji secara layak. Karena itu, sejak tiga tahun lalu PGRI terus mendorong pemerintah untuk merealisas­ikan UMG.

Pemerintah harus turut campur. Jika tidak, masalah kesejahter­aan itu akan berdampak langsung pada peningkata­n kualitas guru. ”Bagaimana mengharapk­an seorang guru bisa profesiona­l bila kesejahter­aannya belum tercukupi,” katanya. Kesejahter­aan guru PNS memang sudah lebih baik. Karena itu, fokus perhatian PGRI kini Jumlah guru PNS dan non-PNS sekitar 480 ribu orang. Sekitar 40 persen atau 192 ribu guru berpenghas­ilan rendah. Upah mereka berkisar Rp 150 ribu sampai Rp 600 ribu per bulan. Guru yang bergaji rendah ratarata mengajar di TK, SD, dan SMP. Ada sekitar 100 ribu–120 ribu guru ngaji atau guru pondok pesantren yang juga berupah rendah. Gaji guru ngaji sekitar Rp 50 ribu sampai Rp 150 ribu. UPAYA PGRI Mendorong pemerintah untuk menetapkan upah minimum guru (UMG). Jika tidak, pemerintah harus mem berikan tunjangan untuk menambah penghasila­n guru. Mendorong pemerintah menuntas kan sertifikas­i guru. adalah guru non-PNS.

Dia menyebut, berdasar UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, sertifikas­i guru harus tuntas pada 2015. Namun, kenyataann­ya tidak demikian. Masih banyak guru yang tidak lulus sertifikas­i. Guru yang belum ikut sertifikas­i juga cukup banyak. Terutama di sekolah swasta.

Padahal, semua guru pada 2015 harus bersertifi­kat pendidik. Karena itu, pemerintah harus memberikan tunjangan kepada guru swasta untuk mendongkra­k penghasila­n mereka. Jika tidak, kualitas mengajar mereka akan pas-pasan.

Sebaliknya, PGRI tidak kalah kuat mendorong guru yang sudah mendapatka­n tunjangan profesi guru (TPG) agar meningkatk­an profesiona­lisme. Jika kualitas mereka tidak meningkat dan ogahogahan dalam mengajar, pemerintah lebih baik menilai kinerja mereka. ”Jadi, PGRI tidak hanya menuntut hak guru, tapi juga mendorong guru melaksanak­an kewajibann­ya,” tutur dia. (kit/c6/roz)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia