Jawa Pos

Perlu Tempat Perlindung­an

- Tekan Kekerasan Seksual pada Anak

SURABAYA – Upaya mencegah dan sikap waspada makin strategis dalam menghadapi kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak. Dari tahun ke tahun, peristiwa pahit itu makin menghantui. Kota besar, seperti Surabaya, tetap menyumbang kejadian terbanyak.

Ketua Telepon Sahabat Anak (TeSa) 129 Jatim Isa Ansori menyebut, ada 47 pengaduan kasus kekerasan seksual yang masuk melalui telepon pada 2014. Sebelumnya, 2013, ada 30 kasus. Usia korbannya berkisar 14 hingga 18 tahun.

Menurut dia, kasus kekerasan bisa berupa sentuhan hingga pencabulan. Kasus tersebut sering terjadi di sekolah. ”Pelakunya orang-orang terdekat. Bisa guru, bisa teman di lingkungan sekolah,” tutur Isa saat ditemui di Lembaga Perlindung­an Anak Jatim kemarin (26/12).

Dia mencontohk­an kasus di SDN 1.1. SurabayaSu­rabaya 153 kasus153 kasus 2.2. MojokertoM­ojokerto 36 36kasuskas­us 3.3. GresikGres­ik 31 kasus 31 kasus 4.4. JombangJom­bang 22 kasus 22 kasus 5.5. LamonganLa­mongan 21 kasus21kas­us 6.6. TubanTuban 18 kasus18kas­us 7.7. MalangMala­ng 16 kasus16 kasus 8.8. SidoarjoSi­doarjo 15 kasuskasus­15 9.9. NganjukNga­njuk 12 kasuskasus­12 10.10. PasuruanPa­suruan 11 kasus11 kasus 11.11. kota/kota/kabkab lainlain didi bawahbawah 10 kasuskasus Gubeng Surabaya November lalu. Para siswi dicabuli guru seni dan guru olahraga. Akibatnya, beberapa korban mengalami trauma psikis.

Selain lewat telepon, kasus-kasus kekerasan yang terekam di media massa meningkat. Pada 2014 terdapat 189 kasus, sedangkan pada 2013 ada 176. Seperti tahun-tahun sebelumnya, peristiwa kekerasan seksual itu memang banyak terjadi di Surabaya.

Mengapa? Sebab, Surabaya memang kota metropolis yang mudah diakses. Media massa maupun masyarakat luas pun mudah mengetahui­nya. Karena itu, anak-anak di Surabaya perlu perlindung­an lebih dari para pelaku kekerasan.

Lalu, bagaimana cara mere_ habilitasi anak korban kekerasan seksual? Isa memperkira­kan, pemulihan butuh waktu 3–6 bulan. Namun, setiap anak perlu waktu berbeda-beda.

Isa dan rekan-rekannya menggunaka­n metode menggali dan mengumpulk­an data berbagai orang yang terlibat kasus tersebut. Kemudian ada terapi dengan cara menulis. ”Menulis itu mengingat kembali. Setelah itu, bagaimana otak diisi dengan hal-hal baru,” tuturnya.

Dia mengingatk­an pemerintah agar membuat tempat khusus untuk pendamping­an dan pengamanan korban kekerasan seksual. Dengan begitu, anak akan merasa aman dan tidak lagi menjadi korban bullying. (der/c7/roz)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia