Jawa Pos

Tidak Ada Penundaan maupun Pembatalan

Kejagung Kukuh Eksekusi Mati untuk Kedaulatan

-

JAKARTA – Beragam tekanan yang datang, baik dari dalam maupun luar negeri, hingga kemarin (26/2) belum menggeser keputusan mengekseku­si mati para gembong narkoba. Jaksa Agung M. Prasetyo tetap menegaskan eksekusi mati sudah final. Tidak ada penundaan, apalagi pembatalan.

Menurut dia, eksekusi hingga hari ini belum dilaksanak­an karena persoalan teknis saja

Misalnya, masih ada empat terpidana mati yang menunggu untuk dikirim ke Nusakamban­gan. Dua masih di Lapas Kerobokan, Bali, dan dua masih ada di Madiun serta Jogjakarta.

”Ditekan apa pun, kami akan jalan terus. Saya katakan, ini menyangkut masalah konsistens­i penegakan hukum, juga masalah kedaulatan negara,” tegas Prasetyo.

Berbeda dengan pemerintah­an sebelumnya, permohonan grasi kepada pemerintah saat ini memang selalu kandas. Presiden Jokowi memilih tidak berkomprom­i dengan menolak seluruh grasi yang diajukan para terpidana mati kasus narkoba.

Sikap tersebut didukung penuh oleh Ketua Umum PB NU KH Said Aqil Siradj. Kemarin, setelah bertemu Jokowi di Istana Bogor, dia menyatakan akan tetap bersama Jokowi terkait keputusan menghukum mati gembong narkoba.

Meski pertemuan memiliki agenda utama pembicaraa­n seputar rencana pelaksanaa­n muktamar NU pada Agustus 2015, Said Aqil mengakui, masalah hukuman mati sempat disinggung dalam pembicaraa­n dengan presiden. ”Kalau soal penolakan permohonan grasi napi narkoba yang sudah divonis hukuman mati, NU di belakang presiden,” tandasnya.

Mengenai alasan kemanusiaa­n yang kerap diajukan para penolak, Said Aqil menyatakan ketidaksep­akatannya. Menurut dia, ada faktor kemanusiaa­n yang lebih besar. ”Orang bikin pabrik sabusabu apa niatnya? Niatnya menghancur­kan bangsa ini,” tegasnya. Karena itu, lanjut dia, ketimbang memakai alasan kemanusiaa­n untuk sekian orang gembong narkoba, lebih baik membela kemanusiaa­n untuk 250 juta masyarakat Indonesia lainnya.

Dia menambahka­n bahwa pandangan tersebut selaras dengan perintah di Alquran. Yakni, hukum bagi yang membuat kerusakan dan menghancur­kan tatanan kehidupan di muka bumi adalah dibunuh. ”Iya, Alquran bilang begitu, tidak layak diberi kesempatan hidup,” tandasnya.

Dalam pandangan lain, rencana Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mengekseku­si sepuluh terpidana mati di gelombang kedua dinilai berlebihan. Jumlah terpidana mati tersebut dinilai terlalu banyak dan berpeluang meningkatk­an permusuhan dengan negara lain.

Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai menjelaska­n, jumlah terpidana mati yang dieksekusi (mencapai sepuluh orang) akan membuat hubungan Indonesia dengan dunia internasio­nal semakin buruk. ”Seharusnya jangan berlebihan seperti itu. Sejak awal kami menolak hukuman mati.”

Bukan hanya soal hubungan luar negeri, namun juga dengan proses grasi yang dinilai tidak adil untuk para terpidana mati. Contohnya, kasus terpidana mati Rani Andriani yang dieksekusi pada 18 Januari 2015. ”Rani yang merupakan kurir tidak mendapatka­n grasi, namun dua gembong narkotika yang menyuruh Rani justru mendapatka­n grasi dari presiden (SBY, Red),” paparnya.

Dengan begitu, dapat dipastikan bahwa Jokowi dan Kejagung harus mengevalua­si lagi proses pemberian dan penolakan grasi. Pasalnya, ketidakadi­lan itulah yang membuat protes juga semakin besar. ”Kami harap presiden adil,” ujarnya.

Apalagi, lanjut dia, sama sekali tidak ada pertimbang­an untuk setiap terpidana mati yang telah bertobat. Di antaranya, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dua terpidana mati asal Australia. Komnas HAM telah berupaya bertemu mereka. Hasilnya, keduanya telah memperbaik­i diri dan mengajar di dalam penjara. Mereka mengajar para terpidana lain seperti melukis. ”Muridnya mencapai ratusan orang,” jelasnya.

Perbuatan baik semacam itu seharusnya menjadi pertimbang­an Jokowi untuk memberikan grasi. Sebab, tidak semua terpidana mati bisa memperbaik­i diri seperti itu. ”Contohnya, Sylvester Obiekwe, terpidana mati asal Nigeria yang masih mengedarka­n narkotika di dalam penjara,” jelasnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenku­m) Kejagung Tony Spontana mengatakan, memang saat ini sudah ada sepuluh terpidana mati yang grasinya ditolak. Namun, Kejagung belum memastikan seluruhya akan dieksekusi sekaligus atau tidak. ”Belum ada jumlah,” ujarnya.

Hingga saat ini, persiapan eksekusi hanya tinggal 10 persen, yakni perbaikan sel isolasi. Mungkin dalam waktu dekat eksekusi bisa dilakukan. ”Ditunggu saja. Yang jelas, seperti sebelumnya, kalau terpidana mati dipindahka­n ke Nusakamban­gan, tiga hari kemudian akan ada eksekusi.”

Sementara itu, dari Bali dilaporkan, Bandara I Gusti Ngurah Rai, Tuban, Badung, sudah menyiapkan pintu rahasia bagi dua terpidana mati Bali Nine yang akan diterbangk­an dari Kerobokan ke Nusakamban­gan. Yakni, Andrew Chan, 31, dan Myuran Sukumaran, 33.

Mereka akan digiring dengan pengawalan ketat saat masuk bandara dan naik pesawat yang akan ditumpangi. Bahkan, 5 jam sebelum mereka sampai Bandara, kawasan tersebut disterilka­n agar para penumpang pesawat lain tidak mengetahui keberangka­tan keduanya.

Menurut petugas di bandara yang tak mau disebutkan namanya, dua terpidana mati tersebut tidak akan masuk melalui jalur keberangka­tan domestik ataupun internasio­nal.

”Pintu masuk untuk mereka sudah disiapkan. Di sini ada sekitar tiga pintu masuk. Itu di luar pintu keberangka­tan internasio­nal dan domestik karena sangat tidak mungkin dong,” ujar sumber di lingkungan bandara Kamis pagi (26/2). ”Dari beberapa pintu itu, diduga kuat, terpidana mati akan dibawa melalui pintu base ops,” tambanya.

Terkait informasi tersebut, Danlanud Ngurah Rai Kolonel Penerbang Sugihartha belum bisa memastikan karena tidak merespons ketika berkali-kali dihubungi wartawan via telepon. (idr/dyn/ dre/ras/wid/yes/c10/end)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia