Jawa Pos

Wajah yang Tidak Dapat Dilihat

CERITA SILAT BERSAMBUNG

-

SUDAH lima hari kami berkuda menempuh jalur cepat ini baik siang maupun malam. Kadang kami berjalan sepanjang hari dan beristirah­at setelah matahari terbenam, kadang kami teruskan berjalan sepanjang malam dan beristirah­at setelah matahari terbit. Sepanjang jalan tiada kami dengar sesuatu yang kiranya akan berhubunga­n dengan maharaja bayangan itu.

Kadang kami berpapasan dengan pengantar surat yang terus melaju tanpa mengatakan apa pun, segera menghilang dalam kelam ditelan kegelapan. Rahasia macam apakah kiranya yang dibawanya? Kadang kami juga berpapasan dengan pasukan tentara yang dikirim kembali dari medan perang, yang semuanya terluka, lemah lunglai tanpa daya, ada yang mati di jalan, tidak sedikit yang masih merintih-rintih dan mengerang-erang.

Semenjak dari perempatan tempat kami membaca berpisahny­a jejak-jejak tiga buronan kami itu, dan kami pilih jalur cepat yang di tengah, telah kami lewati tiga gardu persinggah­an dan empat sungai dengan cara penyeberan­gan yang sama, tetapi tanpa peristiwa tak terduga seperti sebelumnya.

Kami menuju Shan, tempat yang kami duga menjadi asal maharaja bayangan itu ditemukan. Setiap kali seorang maharaja baru dilantik, tentulah pencarian orang yang nantinya harus menjadi maharaja bayangan dilakukan ke segala penjuru, sampai ke pelosok terpencil seperti Shan. Kubayangka­n bagaimana beratus-ratus petugas rahasia dikirim ke mana-mana dengan membawa gambar maharaja utuh, bukan hanya wajahnya, yang bisa berlangsun­g cepat tetapi bisa juga sangat lama.

Dapatkah dibayangka­n bagaimana seseorang yang barangkali sedang mencangkul di ladang dibawa begitu jauhnya ke Istana Daming di Chang’an, yang sangat mungkin belum pernah dilihatnya. Bagaimana sejak saat itu hidupnya berubah, karena dipaksa menjadi orang lain tanpa bisa menolaknya, tanpa pernah bisa kembali ke kampung halamannya. Kehidupan seorang maharaja yang penuh dengan rahasia negara menjadi bagian hidupnya pula, tidak boleh ke luar istana, kecuali jika diumpankan sebagai maharaja yang akan menjadi sasaran pembunuhan.

Padma-Sambhava berkata:

tetapi jika dikau gagal menangkap makna yang diajarkan

kepadamu, jika dikau masih terus merasakan

ingin hadir sebagai pribadi,

maka dikau sekarang terkutuk

untuk memasuki kembali

roda penjelmaan

SENO GUMIRA AJIDARMA

Apakah buruan kami telah berhasil dilenyapka­n atau menghilang? Mungkinkah kedua orang yang mengambiln­ya dari orangorang Golongan Murni, dan kemudian tampak berpisah di perempatan itu, telah kembali dan membunuhny­a, sehingga kami memburu sungguh-sungguh memburu bayangan kosong? Sejauh bisa kami lacak, sampai pada bagian jalan yang mengeras dan jejak kuda menghilang, tidak terdapat jejak- jejak yang menunjukka­n bahwa maharaja bayangan itu diikuti orang.

Kami coba mengingat apa saja yang kami temukan pada tiga gardu persinggah­an yang masingmasi­ng telah berkembang menjadi kota kecil, maupun empat kedai yang ada pada setiap sungai yang harus kami seberangi. Memang seperti terdapat petunjuk-petunjuk kecil, tetapi yang tidak juga memberi kepastian apa-apa, karena belum tentu petunjuk-petunjuk itu adalah tentang maharaja bayangan tersebut. Apabila di Chang’an pun tidak dijamin pendudukny­a yang banyak itu mengenali wajah maharaja, yang hanya akan terlihat dari jauh dalam pawai dan berbagai upacara, apalagi di pelosok seperti sekarang.

Namun memang ada cerita tentang seorang lelaki berkuda sendirian saja, yang memasuki kedai dengan sedih tanpa kejelasan apa pun jua selain memesan dan meminum arak sampai ambruk dan mendengkur tak bangun lagi, tetapi sesekali ngelindur…

’’Maharaja, oh Maharaja, hidup yang suntuk oh Maharaja, lebih enak menjadi hamba sahaya…”

Hanya dia saja yang mabuk dan bernyanyi seperti itu, sehingga orang banyak mempertany­akannya. ’’Siapa dia?’’ ’’Orang gila?’’ ’’Sudah jelas gila!’’ ’’Hanya gila!” ’’ Tiada lain selain gila!” Padahal tidak ada orang gila di sana, selain dia yang mabuk berat dan tiada menyadari keberadaan­nya, dalam dunia yang dalam keadaaan terwaras sekalipun tetap menampung gagasangag­asan gila.

’’Waktu saya masuk lagi ke kedai setelah pergi ke sungai, ternyata dia sudah tidak ada lagi,” kata tukang kedai, ’’Saya tidak terlalu ingat karena selalu saja ada orang keluar masuk kedai, sampai ada dua orang yang menanyakan­nya.” ’’Dua orang?” ’’ Ya, dua orang, kuda mereka bagus tetapi busananya lusuh sekali. Mereka mengenakan kerudung di bawah capingnya, dan wajahnya sama sekali tidak terlihat.”

Aku terkesiap, karena biasanya itulah salah satu ciri pembunuh dari sebuah perkumpula­n rahasia! ( bersambung)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia