Dispendik Harus Dampingi Masa Transisi
SMK yang menjadi pelaksana K-13 secara mandiri, namun tidak dapat izin lanjut adalah SMKN 2, SMKN 7, SMK YPPI 1, SMK PGRI 3, SMK PGRI 1, SMK Lukman Al Hakim, SMK Ipiems, dan SMK 17 Agustus. Seperti SMA, kepastian itu didapatkan dispendik ketika mengakses data pokok pendidikan menengah (dapodikmen).
Hingga sekarang, dispendik masih sekadar mengumpulkan data sekolah yang dapat dan tidak dapat izin untuk meneruskan K-13. Sebab, pada tahun pertama pelaksanaan K-13, banyak sekolah bukan sasaran yang ikut melaksanakan K-13. Meski begitu, dispendik tetap memfasilitasi sekolah mandiri dalam pem- berian latihan seputar K-13.
Salah satu SMKN mandiri adalah SMKN 2. Sekolah di Jalan Tentara Geni Pelajar tersebut merupakan SMK tertua di Indonesia bagian timur. Sekolah itu mempunyai sepuluh jurusan yang berbasis teknik.
Kepala SMKN 2 Djoko Pramodjo mengungkapkan, dirinya dan para guru merasa kecewa dengan keputusan Kemendikbud. Sebab, guru dan siswa sudah menerapkan K-13 dengan efektif. ’’Tapi, mau bagaimana lagi, ini kebijakan pusat yang harus kami jalankan,’’ ucapnya.
Dia baru mengetahui kepastian itu sekitar dua minggu lalu. Sekarang dia dan tim sedang mempersiapkan pergantian untuk kembali ke K-06. Masalahnya, ujian sekolah (US) sudah di depan mata. Siswa kelas XII akan melewati US pada 2–10 Maret. Jadi, dia dan para guru sepakat melakukan pergantian kurikulum setelah US.
Kondisi tidak jauh berbeda juga tampak di SMKN 7 yang tidak mendapatkan izin untuk meneruskan K-13. Kepala SMKN 7 Agus Subekti juga menunda pergantian kurikulum di sekolahnya hingga US selesai. Harapannya, siswa tidak bingung dalam masa transisi. ’’Sebenarnya harus secepatnya kembali ke K-06, tapi siswa kelas XII akan US,’’ tegasnya. Agus merasa tidak keberatan dengan keputusan Kemendikbud. Menurut dia, hal tersebut adalah proses yang harus dijalani.
Sementara itu, Ketua Dewan Pendidikan Surabaya Martadi menuturkan, proses perubahan kurikulum sejatinya menimbulkan kerugian pada banyak pihak. Dari pihak siswa, mereka harus beradaptasi lagi dengan proses pembelajaran. Dari sisi sekolah, mereka harus memulai lagi dari awal. Contohnya, pada K-13, mata pelajaran teknologi informasi komputer (TIK) ditiadakan.
Banyak sekolah yang sudah mengurangi guru TIK- nya. Namun, kini mereka harus kembali ke K-06. Artinya, sekolah harus mencari lagi guru TIK. ’’Seharusnya, kalau pemerintah membuat kebijakan, perlu melihat timing. Misalnya, melakukan perubahan pada pergantian tahun pelajaran baru saja,’’ jelas dosen Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tersebut.
Namun, dia tidak menyalahkan dispendik. Sebab, kebijakan itu dibuat pemerintah pusat. Dia hanya berharap dispendik bisa mendampingi sekolah-sekolah yang kembali ke K-06. Sebab, selama masa transisi tersebut, sekolah kadang perlu dibimbing dalam manajemen. Selain itu, dispendik bisa mulai memikirkan yang harus dipersiapkan sekolah untuk kembali ke K-06. Sebab, pada akhirnya, K-13 pasti digunakan semua sekolah. Hanya waktu pastinya yang tidak diketahui. ’’Nanti ketika pemerintah pusat memperbolehkan K-13 lagi, semua sekolah di Surabaya sudah siap,’’ katanya.
Lebih baik lagi bila sekolah tetap menerapkan pendekatan K-13. Jadi, meski kontennya adalah K-06, sifat yang diusung tetap K-13. Di sisi lain, Martadi juga berharap agar semua sekolah yang kembali ke K-13 mengundang orang tua siswa untuk sosialisasi. ’’Orang tua juga pasti resah dengan kurikulum yang digunakan sekolah anaknya,’’ ungkapnya. (ina/c20/oni)