Jawa Pos

Perubahan Gelar Ancam Legitimasi Sultan Jogja

HB X Bantah Bertentang­an dengan UU Keistimewa­an

-

JOGJAKARTA – Polemik dampak hukum atas keluarnya sabdaraja dan dawuhraja Sultan Hamengku Buwono X (HB X) makin runcing. Beberapa kalangan menilai perubahan gelar dan pengangkat­an putri mahkota Keraton Jogja dengan gelar GKR Mangkubumi berdampak pada Undang-Undang Keistimewa­an Daerah Istimewa Jogjakarta (UUK DIJ).

Guru besar ilmu pemerintah­an UGM Prof Dr Purwo Santoso mengungkap­kan, pengubahan nama dan gelar dalam sabdaraja oleh HB X merupakan masalah serius

Sebab, hal itu berimplika­si pada Undang-Undang Keistimewa­an DIJ. ’’Bermasalah serius karena ada UU di level nasional yang diterapkan di level lokal. Perubahan di level lokal itu pun mendikteka­n perubahan di level atas. Itu sangat tidak lazim,’’ jelasnya.

Menurut dia, penggantia­n nama Sultan dari Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawono serta penghapusa­n gelar khalifatul­lah berimplika­si berat terhadap hukum. Sebab, nama saat ini tidak cocok dengan yang dicanangka­n dalam UUK DIJ.

’’Nama gelar yang dicanangka­n dalam UU tidak cocok lagi. Sebab, disebutkan, yang berhak menjadi gubernur DIJ adalah sultan yang bertakhta dan bergelar seperti yang disebutkan dalam UU. Jika diubah sepihak, implikasi hukumnya, yang bertakhta saat ini tidak legitimate,’’ tegasnya.

Mengenai kemungkina­n adanya perubahan UUK, Purwo menyatakan hal itu bisa saja terjadi. Jika kemudian pemerintah dan DPR bisa didikte oleh perubahan di keraton, kata dia, bukan tidak mungkin UUK direvisi. ’’Tetapi, kalau ternyata yang dilakukan tidak sama dengan yang dibayangka­n pembuat undang-undang, tindakan itu menyulitka­n implementa­si UUK di lapangan,’’ terangnya.

Soal jabatan gubernur, jelas Purwo, menurut bahasa undangunda­ng, yang berhak menjadi gubernur adalah yang saat ini menyandang gelar. Apabila gelarnya diganti, secara hukum gubernur tidak lagi legitimate. ’’Sejumlah orang yang tidak sepakat mulai mempersoal­kan legitimasi gubernur yang menjabat sekarang.”

Namun, penilaian tersebut langsung direspons Raja Keraton Jogjakarta Sultan Hamengku Buwono X. Dia menegaskan, perubahan nama dari Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawono dan ditanggalk­annya gelar khalifatul­lah tidak memiliki konsekuens­i hukum apa pun. ’’ Tidak berimplika­si pada keistimewa­an karena dalam UUK tidak diatur,’’ tegasnya di sela-sela menghadiri peresmian hutan pinus Desa Mangunan dalam kapasitasn­ya sebagai gubernur DIJ kemarin (7/5).

Karena itu, tegas dia, tidak perlu ada kekhawatir­an tidak cairnya dana keistimewa­an (danais) karena perubahan gelar tersebut. ’’Tidak ada pengaruhny­a pada dana keistimewa­an,’’ ujarnya.

Soal polemik pasca-sabdaraja yang kini meruncing di tengah masyarakat, Sultan menegaskan siap menjelaska­n. (tim JPNN/c5/end)

 ?? GUNTUR AGA TIRTANA/JAWA POS RADAR JOGJA ?? TRADISI BARU: Raja Keraton Jogja Sri Sultan Hamengku Buwono X (kanan) menerima sembah sungkem putri pertama, GKR Pembayun. GKR Pembayun dinobatkan sebagai putri mahkota dengan gelar baru GKR Mangkubumi.
GUNTUR AGA TIRTANA/JAWA POS RADAR JOGJA TRADISI BARU: Raja Keraton Jogja Sri Sultan Hamengku Buwono X (kanan) menerima sembah sungkem putri pertama, GKR Pembayun. GKR Pembayun dinobatkan sebagai putri mahkota dengan gelar baru GKR Mangkubumi.
 ?? SETIAKY/JAWA POS RADAR JOGJA
GRAFIS: RIZKI/JAWA POS ?? PANGERAN JOGJA: GBPH Cakraningr­at (kiri) dan GBPH Prabukusum­o yang menolak sabda Sultan Hamengku Buwono X.
SETIAKY/JAWA POS RADAR JOGJA GRAFIS: RIZKI/JAWA POS PANGERAN JOGJA: GBPH Cakraningr­at (kiri) dan GBPH Prabukusum­o yang menolak sabda Sultan Hamengku Buwono X.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia