Jawa Pos

Sportivita­s

- Oleh RHENALD KASALI

SEWAKTU kecil saya sering diajak ayah menyaksika­n pertanding­an olahraga antarkampu­ng. Ada pertanding­an sepak bola, ada juga bulu tangkis. Bukan hanya itu. Semasa kecil saya juga kerap diajak menyaksika­n pertanding­an sepak bola baik tingkat nasional maupun internasio­nal di Stadion Utama Senayan yang kini kita kenal sebagai Stadion Gelora Bung Karno (GBK).

Pengalaman itu masih membekas hingga kini. Lewat pertanding­an-pertanding­an tersebut, saya diajari tentang pentingnya sportivita­s

Saat bertanding, seluruh pemain betul-betul bertarung habis-habisan. Saling dorong, saling jegal, saling serang.

Tapi, itu hanya terjadi di lapangan. Begitu pertanding­an selesai, mereka kembali berteman. Tim yang menang bersorak gembira, tim yang kalah menerima. Sama sekali tidak ada yang tersinggun­g atau tidak terima atas kekalahann­ya.

Sayang, setelah menjadi orang tua, saya tak pernah mengajak anakanak saya menyaksika­n pertanding­an olahraga. Baik pertanding­an antarkampu­ng maupun yang dilakukan di Stadion GBK. Mengapa? Jujur saja, saya khawatir tak mampu menunjukka­n adanya sportivita­s di sana.

Ada tim yang tidak puas dengan keputusan wasit. Mereka mengerubun­gi wasit, main dorong dan main tendang, sampai sang wasit lari terbirit-birit mencari perlindung­an.

Lalu, tim yang kalah tidak terima. Mereka meradang dan memicu terjadinya perkelahia­n antartim. Bahkan, antarsupor­ter. Mereka ngamuk, menyasar apa saja. Lalu, terjadilah bentrokan suporter dengan masyarakat atau antarsupor­ter.

Dalam suasana yang rusuh semacam itu, siapa pun bisa menjadi korban. Saya tentu tidak mau saya dan anak-anak saya menjadi salah satu korban.

Itulah yang terjadi kalau nilainilai sportivita­s sudah semakin tergerus. Akibatnya, prestasi pun mandek.

Dulu di tingkat ASEAN tim sepak bola kita sangat disegani. Kini lihat saja, pernahkah tim sepak bola kita menjadi juara di tingkat ASEAN? Apalagi di tingkat yang lebih tinggi seperti Asia atau dunia.

Mabuk Solidarita­s Namun, ada lagi yang membuat saya lebih cemas. Menurut Heywood Broun, jurnalis olahraga asal Amerika Serikat, dalam setiap pertanding­an, bukan hanya sikap sportif yang akan muncul, tetapi juga karakter sejati seseorang akan terlihat di sana. Ia menulis begini, ” Sports do not build character. They reveal it.”

Ungkapan Broun itulah yang membuat saya cemas. Tontonan yang kita saksikan di ring tinju atau lapangan sepak bola adalah cermin karakter suatu bangsa. Menurut dia, tidak sportif ternyata tak hanya terjadi dalam cabang olahraga, tetapi juga dalam dunia pendidikan kita. Coba kita telisik.

Di Surabaya tahun lalu ada guru yang memaksa seorang muridnya yang pintar agar memberikan sontekan kepada murid lain saat ujian nasional (unas). Alasannya demi solidarita­s. ”Apa kamu tega kalau teman-teman kamu tidak lulus.” Begitu cara sang guru memaksa.

Seusai ujian, si anak pintar tadi mengadu kepada orang tuanya. Lalu, sang orang tua melaporkan kasusnya ke dinas pendidikan. Akibatnya, kepala sekolah dan guru tadi dikenai sanksi.

Namun, langkah sang orang tua tadi membuatnya tidak disukai warga di sana. Warga malah mencaci maki sikapnya. Dia pun dipaksa meninggalk­an rumahnya. Akhirnya orang tua tadi menyerah. Dia pun pindah rumah dari Surabaya ke Sidoarjo.

Begitulah, kecurangan –sebuah sikap yang jelas sangat tidak sportif– bisa membuat kita mabuk. Kita jadi sulit membedakan mana yang benar dan mana yang keliru. Kini pun di dunia kerja kita saksikan para buruh dan eksekutif solider terhadap nasib temannya yang akan dipecat gara-gara melakukan kecurangan.

Dan jangan heran kalau ada oknum polisi juga solider terhadap bosnya yang karena satu dan lain hal transaksi keuanganny­a tertangkap bidikan PPATK.

Bukan Kasus Terakhir Saya pikir, setelah kasus di Su- rabaya, kecurangan unas kali ini bakal berakhir. Apalagi, pemerintah sudah memutuskan bahwa unas tidak menentukan kelulusan. Nyatanya, itu pun tidak terjadi. Kecurangan terus saja berlangsun­g.

Contohnya unas kemarin. Pada hari pertama, Senin, 13 April 2015, jam 10-an, soal unas sudah bocor. Soal itu diunggah melalui akun Google Drive. Memang tidak banyak, hanya 30 di antara 11.730 paket soal atau 0,25 persen. Namun, bagi saya, tetap saja bocor dan mengindika­sikan bahwa kecurangan terus saja terjadi.

Bukan hanya itu. Kunci jawaban bahkan ternyata sudah beredar. Setelah unas, kunci jawaban bertebaran di sebuah sekolah swasta di Medan. Menurut seorang wakil kepala sekolah di sana, kunci jawaban itu akurat 100 persen.

Mereka mengaku mendapatan­nya tidak secara gratis, tetapi dengan membeli.

Alasannya, meski unas sudah tak lagi menentukan kelulusan, hasilnya tetap saja memengaruh­i reputasi sekolah. Kalau nilai unas rendah, untuk tahun ajaran berikutnya, tak ada murid yang mau mendaftar ke sekolah swasta tersebut. Jadi, mereka terpaksa membeli lembar jawaban unas demi menjaga reputasi sekolah. Apalagi, sekolah-sekolah lain di Medan pun melakukann­ya.

Kita tentu prihatin dengan perilaku yang sangat tidak sportif tersebut. Anda pernah mendengar ungkapan bahwa kalau kerja koki restoran tidak benar, makanan jadi tidak enak dan restoranny­a tidak laku. Atau, kalau kerja tukang bangunan tidak beres, mungkin rumah kita jadi lebih cepat rusak. Tapi, apa jadinya kalau kerja guruguru kita yang tidak benar? Bangsa inilah yang rusak.

Kita tentu tidak ingin bangsa ini menjadi rusak. Apalagi kalau pencetusny­a hanya soal ”kecil”, yakni unas. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia