Jawa Pos

Gonjang-ganjing Istimewa Keraton Jogja

-

” Tahun 1903, saat diselengga­rakan Kongres Khilafah di Jakarta oleh Jamiatul Khair, yang berdiri tahun 1903,

sultan Turki mengirimka­n utusan Muhammad Amin Bey.

Kongres menetapkan fatwa, haram hukumnya bagi muslim tunduk pada penguasa Belanda.”

BEGITULAH sepenggal sambutan Sultan Hamengku Buwono X pada pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia VI di Jogjakarta, 9 Februari 2015. Dalam kesempatan itu, raja Keraton Jogjakarta itu juga menyatakan bahwa Kesultanan Ngayogyaka­rta Hadiningra­t adalah wakil dari kekhalifah­an di Turki.

Namun, tidak lama setelah itu, tepatnya 30 April 2015, raja Keraton Jogja itu seakan menihilkan pernyataan­nya tersebut. Pada tanggal itu, melalui sebuah acara adat yang dikenal dengan Sabda Raja, Sultan HB X menyatakan menanggalk­an gelar khalifatul­lah.

Bertempat di Bangsal Sitihinggi­l, Sultan HB X menyampaik­an sabda raja berisi sejumlah hal. Mulai pengubahan penyebutan Buwono menjadi Bawono, tidak lagi menggunaka­n gelar khalifatul­lah, mengganti penyebutan kaping sedasa menjadi kaping sepuluh, mengubah perjanjian antara pendiri Mataram Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan, serta menyempurn­akan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kiai Ageng Joko Piturun.

Sontak, sabda raja itu pun menimbulka­n gonjang-ganjing di dalam kerajaan. Para pangeran, putra Sultan HB IX, yang tidak lain adalah adik Sultan HB X yang sedang bertakhta, menilai sang raja khilaf. Sekadar menuruti kehendak atau ambisi dan melanggar aturan kerajaan yang telah lama ada.

”Gelar khalifatul­lah tidak sepantasny­a ditanggalk­an seorang sultan Jogja. Sebab, HB X memimpin kerajaan penerus dinasti Mataram Islam,” nilai GBPH Prabukusum­a. Prabukusum­a dengan para pangeran yang lain, yakni BPH Yudhaningr­at, GBPH Condrodini­ngrat, GBPH Cakraningr­at, dan GBPH Prabukusum­a, tidak menghadiri acara Sabda Raja.

Putra sulung HB IX dengan Garwa Dalem Kanjeng Raden Ayu (KRAy) Hastungkar­a itu juga menilai, dengan menanggalk­an gelar khalifatul­lah, itu jelas mencederai umat Islam. Dia mengingatk­an Sultan HB X agar njejegne paugeran (menegakkan peraturan), bukan nuruti kekarepan (mengikuti ambisi).

Sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam, raja Keraton Jogjakarta memiliki gelar Sampeyan Dalem Ngarsa Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Abdurrahma­n Sayidin

Pantagama Khalifatul­lah.

*** Kendati para pangeran menentang langkahnya, Sultan HB X seakan tidak peduli. Dia bahkan langsung menindakla­njuti sabda raja dengan dhawuh raja. Dhawuh raja pada 5 Mei 2015 ini menunjuk putri sulungnya, GKR Pembayun, menjadi putri mahkota. Putri pertama Sultan HB X dengan GKR Hemas tersebut mendapat nama baru GKR Mangkubumi sekaligus sebagai calon pengganti Sultan HB X. Nama lengkapnya, GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Nama yang sudah menggunaka­n Bawono sebagaiman­a isi sabda raja.

Gonjang-ganjing Keraton Jogjakarta yang selama ini dikenal adem ayem tentu saja mengagetka­n masyarakat. Kegaduhan itu –untuk tidak menyebut kekisruhan– melengkapi gonjanggan­jing keraton penerus dinasti Mataram yang berakhir dengan dualisme raja. Keraton Solo sudah lebih dulu sehingga muncul Paku Buwono XIII Hangabehi dan saudaranya, KGPH PA Tedjowulan.

Pura Pakualaman juga pernah dilanda gonjang-ganjing suksesi itu. Paku Alam IX (Ambarkusum­o) yang saat ini juga menjabat wakil gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta ditandingi dengan pengukuhan Kanjeng Pangeran Haryo Anglingkus­umo sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Paku Alam IX. ( Radar Jogja, 16/4/12)

Kendati belum mengarah kepada dualisme raja Keraton Jogjakarta, pengangkat­an GKR Pembayun sebagai calon pengganti Sultan HB X yang sekarang bertahta sudah membuat panas situasi keraton.

*** Yang menarik, mengaitkan sabda raja Sultan HB X itu dengan konteks Pemerintah­an Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta. Sebagaiman­a kita ketahui, UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewa­an Daerah Istimewa Jogjakarta menetapkan gubernur DIJ adalah Sultan yang bertakhta. Dalam UU tersebut, banyak disebutkan nama Sultan Hamengku Buwono. Itu berarti jika kemudian nama diubah menjadi Bawono, tidak sesuai dengan isi UU Keistimewa­an.

Begitu pula halnya dalam Peraturan Daerah Keistimewa­an (Perdais) No 1 Tahun 2013 tentang Kewenangan dalam Urusan Keistimewa­an. Gelar khalifatul­lah juga disebut dalam pasal 1 poin 15. Bunyinya, ”Kasultanan Ngayogyaka­rta Hadiningra­t selanjutny­a disebut Kasultanan adalah warisan budaya bangsa yang berlangsun­g secara turun-temurun dan dipimpin oleh Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrak­hman Sayidin Panatagama Kalifatull­ah, selanjutny­a disebut Sultan Hamengku Buwono.” Jika kemudian Sultan HB X menanggalk­an gelar tersebut, itu berarti berbeda dengan –untuk tidak menyebut melanggar– ketentuan perundanga­n tersebut.

Seperti apa kelanjutan gonjanggan­jing istimewa tersebut, masih menarik dinanti. Apalagi, para pangeran berniat untuk menempuh jalur hukum dengan mengubungi Yusril Ihza Mahendra sebagai penasihat hukumnya.

*) Penulis adalah GM dan Pemred Radar Jogja 2000–2002, pegiat Komunitas

Akal Sehat Jogjakarta (erwanjepe@gmail.com)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia