Jawa Pos

Janji Seorang Pendekar

CERITA SILAT BERSAMBUNG

-

RIBUAN jarum beracun menyerbu dari segala penjuru. Panah Wangi yang sejak tadi mengikuti dan menjaga kami dari belakang dengan masih berbusana pengemis, membuka capingnya dan mengebutka­nnya dengan daya lwe-kang sehingga jarum-jarum beracun itu pun rontok sebelum mencapai tujuan. Saat itu jalan sedang sepi. Jarumjarum bertebaran di jalanan.

Kami bersiap untuk serbuan berikutnya, tetapi tidak ada serangan apa pun. Dari setiap mulut jalan, seperti berjanji, muncul orang-orang yang tentunya biasa melewati jalan ini.

’’Banyak sekali jarum di sini,” kata seorang perempuan yang membawa anak kecil, ’’Awas jangan sampai menginjak jarumjarum itu.”

Aku pun khawatir dengan racun pada jarum-jarum itu, yang sedikit goresannya sudah menerbangk­an nyawa orang. Namun perempuan itu bahkan memungutny­a sambil terus berjalan.

’’ Tapi jarum ini tidak bisa digunakan untuk menjahit karena tidak ada lubang jarumnya,” katanya, ’’Apakah dibuang karena tidak bisa dijual? Tapi mengapa dibuang ke jalanan?”

Betapa berjarakny­a dunia persilatan dengan kehidupan sehari-hari. Perempuan itu tidak mengetahui keberadaan jarumjarum sebagai senjata rahasia. Kuharap jarum itu akan segera dibuangnya ketika jari-jarinya terasa gatal karena racunnya, dan kuharap pula setelah itu ia tidak makan sesuatu menggunaka­n tangan …

Semakin banyak lagi orang yang melalui jalan ini meski be lum menjadikan­nya terlalu ramai. Seorang Ta ch’in yang ting gi besar berambut merah tampak menaiki unta yang juga disediakan Usaha Jasa Keledai Cepat, dengan seorang penuntun membawa tali kekangnya di de pan. Di mana pelempar jarum itu? Mengingat jarumnya datang dari segala arah secara serentak, berarti gerakannya sangat amat cepat, begitu cepat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih cepat.

’’Ini tidak bagus,” kata Panah Wangi, ’’lebih baik siapa pun keluar dan menyerbu daripada diam-diam bersembuny­i tetapi mengikuti dan mengetahui ke mana kita pergi.”

Kuil Muhu di bagian utara masih setengah perjalanan lagi tempatnya. Tidak ada orang lain yang mengetahui rencana penculikan ini selain padri Kaum Muhu itu. Jadi serangan ini mungkin saja tidak ada hubunganny­a sama sekali.

’’Kita mesti memancingn­ya,” kataku, ’’ Yang diserang bukan dirimu, dan jika berurusan dengan masalah ini, lebih baik dia tidak menyerang tetapi membuntuti. Bawalah Anggrek Putih ke kuil itu dan aku tetap di sini, nanti aku menyusul.”

Dalam samaran busana pengemisny­a yang meyakinkan, Panah Wangi tampak dekil dan bau, tetapi di balik bayang-bayang capingnya kulihat sepasang mata cemerlang yang tampak sangat mengkhawat­irkan diriku.

’’Pendekar Tanpa Nama, berjanjila­h akan menyusul segera,” katanya.

Aku mengangguk saja, karena dalam dunia persilatan suatu janji sangatlah mahal harganya. Bagaimanak­ah kiranya jika diriku berjanji akan menyusul segera, tetapi sesaat kemudian aku tewas oleh serangan gelap dari belakang?

Dalam sekelebat aku teringat begitu banyak kisah mengharuka­n tentang janji ini dalam dunia persilatan, seperti tentang dua pendekar yang selalu bertemu untuk bertarung setiap tahun di puncak bukit pada malam purnama, karena sejak pertarunga­n pertama tidak pernah ada yang kalah atau menang. Mereka selalu bertarung setiap tahun setelah menambah ilmu masingmasi­ng, tetapi tetap saja hasilnya selalu seimbang dan setiap kali berjanji untuk bertarung lagi tahun depan, sehingga dunia persilatan tidak tahu lagi apakah hubungan keduanya adalah lawan atau kawan.

Demikianla­h dikisahkan suatu ketika salah seorang tidak datang dan yang lain tetap menunggu demi janji yang telah diucapkan. Pendekar yang menunggu itu sungguh-sungguh menunggu sampai bertahun-tahun lamanya, sampai membuat gubuk di puncak bukit itu, bahkan setelah meninggal dunia pun berkubur di situ. Malam setelah penguburan, lawannya datang dengan rambut putih, janggut putih, dan tangan buntung.

Darah segar mengalir dari tangan buntungnya itu. Ternyata dalam perjalanan­nya ke puncak bukit itu dahulu kala, ia telah dicegat lawan demi lawan yang terus ada meski selalu bisa dikalahkan­nya. Setiap kali terluka parah ia harus menyembuhk­annya dahulu sebelum mampu meneruskan perjalanan, sehingga baru tiba setelah lawan bebuyutann­ya itu meninggal. Lawan terakhir memang bisa ditewaskan­nya, tetapi tangannya terbabat buntung dan mengeluark­an banyak darah.

’’Aku datang untuk memenuhi janji,” katanya, sebelum ia jatuh berlutut, dan mati tertunduk dalam keadaan bersimpuh di depan kuburan lawannya.

Itulah yang membuatku tidak berani terlalu gegabah berjanji, juga kepada Panah Wangi, meski sekali berjanji harus kupenuhi sampai mati.

’’ Terima kasih telah menungguku, Pendekar Tanpa Nama.”

Kudengar suara yang mantap dan berat di belakangku, yang sekaligus juga menandakan kedalaman ilmu.

Aku tidak menoleh, karena menoleh sama dengan kematian! ( bersambung)

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia