Jawa Pos

Gembong Teroris Janji Cintai NKRI

Umar Patek Komandan Paskibra Upacara Harkitnas

-

SURABAYA – Peringatan Hari Kebangkita­n Nasional di Lembaga Pemasyarak­atan (Lapas) Kelas I Surabaya (Porong) kemarin pagi berlangsun­g istimewa. Bukan karena kehadiran pejabat negara, namun adanya barisan pasukan pengibar bendera (paskibra) yang dipimpin Umar Patek alias Umar Arab alias Hisyam bin Alizein

Bagi korban bom Bali I dan sejumlah jemaat gereja di Jakarta 15 tahun lampau, nama itu mungkin tidak akan bisa dilupakan. Sebelum ditangkap di Kota Abbottabad, Pakistan, akhir Januari 2011, Umar Patek diburu aparat keamanan dari empat negara. Selain Indonesia, Filipina mencari Patek karena terlibat rangkaian teror bersama kelompok Abu Sayyaf.

Australia juga memburu Patek karena ada 88 warganya yang tewas dalam bom Bali I. Statusnya sebagai gembong teroris internasio­nal jaringan Al Qaeda membuat kepala Patek pernah dihargai USD 1 juta oleh pemerintah Amerika Serikat.

Kini semua telah berubah. Kemarin Patek yang menjalani hukuman pidana 20 tahun penjara berada di barisan terdepan dengan bendera Merah Putih terlipat rapi di tangan. Patek yang masih memelihara jenggot kemerahan tampak bersemanga­t menjalanka­n amanah tersebut. Sebagai komandan kelompok paskibra, dia bertugas memberikan aba-aba.

Upacara yang dimulai tepat pukul 08.00 itu pun berjalan lancar. Patek mampu menjalanka­n tugas tanpa kendala. Dengan baju serbaputih dan peci, dia berjalan dengan langkah tegap menuju tiang bendera. Semangatny­a terlihat jelas dari langkah kakinya yang diangkat tinggi saat berjalan. ”Bendera siaaap…!” ujarnya lantang menandai bendera siap dikibarkan.

Kesuksesan Patek menjalanka­n tugasnya sebagai paskibra itu mendapat apresiasi. Plt Direktorat Jenderal Pemasyarak­atan (Dirjen Pas) Ma’mun memberikan selamat kepada Patek disusul pe- jabat lain yang ikut dalam upacara tersebut.

Patek menegaskan, dirinya tidak dipaksa untuk ikut serta dalam upacara dan menjadi petugas paskibra tersebut. Dia mengaku berinisiat­if untuk ikut upacara itu. Napi yang dipindah ke Lapas Porong pada 13 Maret 2014 tersebut mengikuti upacara sejak Juli tahun lalu. ”Setidaknya, sudah tujuh kali saya menjadi petugas upacara,” ungkapnya.

Di Lapas Porong, setiap tanggal 17, selalu dilaksanak­an upacara apel kesadaran nasional. Patek sejatinya akan mengibarka­n bendera pada 17 April lalu. Dia sudah berlatih selama tiga minggu. Tiap hari, pagi dan sore, dia berlatih baris-berbaris di lapangan.

Tetapi, rencana Patek untuk mengibarka­n bendera gagal tanpa alasan yang jelas. Bahkan, saat itu dia tidak mengikuti upacara. Hanya empat napi teroris yang ikut upacara mulai awal hingga akhir. Yaitu, Zainudin Nazir, Asep Jaja, Samsudin al Fathur, dan Ismail Fahmi Yamsehu. Baru setelah upacara selesai, Patek bergabung dengan empat rekannya tersebut.

Mereka berlima menandatan­gani pernyataan ikrar kesetiaan kepada NKRI secara tertulis di ruang registrasi. Patek dan kawan-kawan melakukann­ya dengan sukarela. Mereka membubuhka­n tanda tangan tanpa paksaan. Setelah itu, Patek sempat tersenyum lebar. Dia tampak lega.

Kelegaan yang sama diperlihat­kan Patek setelah mengibarka­n bendera kemarin. Dia mengaku mengikuti upacara dan menjadi pengibar bendera karena dirinya adalah warga negara Indonesia (WNI). ”Sebagai WNI, saya harus menunjukka­n bagaimana saya mencintai negara saya sendiri.”

Pria kelahiran Pemalang, Jawa Tengah, 20 Juli 1966, itu menegaskan, jika diperhatik­an dari sisi jihad yang dilakukan selama ini, dirinya tidak pernah ”berperang” di Indonesia. Sejak mengenal jihad, Patek hanya hidup di Indonesia selama tiga tahun. Yakni, Desember 2000 hingga November 2002. Setahun lainnya adalah Juni 2009 hingga Agustus 2010. ”Selama tiga tahun itu pun saya gunakan untuk bertemu keluarga,” jelasnya.

Jihad dilakukan untuk membela kaum muslim yang ditindas di negara mereka. Patek tidak pernah ingin memerangi negara sendiri. Karena itu, setelah menjadi napi teroris, dia menunjukka­n cintanya kepada negeri sendiri. Salah satunya mengikuti kegiatan di lapas.

Plt Direktur Jenderal Pemasyarak­atan (Dirjen Pas) Ma’mun menyatakan, keberhasil­an pembinaan napi teroris itu tidak terlepas dari kerja sama dengan berbagai pihak, terutama Badan Nasional Pe nanggulang­an Terorisme (BNPT). Menurut dia, penanganan teroris bukan sekadar masalah ideologi. ” Tetapi juga masalah sosial ekonomi,” tegasnya.

Karena itu, pihaknya akan terus berusaha menyentuh masalah tersebut. Setelah keluar lapas, mantan napi akan terus dibina, termasuk dilibatkan dalam masyarakat.

Dalam aturan pemberian remisi maupun pembebasan bersyarat (PB), napi tindak pidana terorisme akan mendapat penguranga­n hukuman jika telah memenuhi syarat. Salah satunya, telah mengikuti program deradikali­sasi yang diselengga­rakan lapas atau BNPT.

Dengan demikian, Patek yang telah menandatan­gani ikrar setia terhadap NKRI berpeluang bebas lebih awal melalui PB. Begitu pula Asep, Samsudin, dan Ismail. (may/c5/kim)

 ?? W.S. HENDRO/JAWA POS ?? BERSUARA LANTANG: Umar Patek (dua dari kanan) menjadi pemberi aba-aba dalam pasukan pengibar bendera saat peringatan Hari Kebangkita­n Nasional Ke-107 di Lapas Porong kemarin.
W.S. HENDRO/JAWA POS BERSUARA LANTANG: Umar Patek (dua dari kanan) menjadi pemberi aba-aba dalam pasukan pengibar bendera saat peringatan Hari Kebangkita­n Nasional Ke-107 di Lapas Porong kemarin.
 ?? MAYA APRILIANI/JAWA POS ?? IKRAR: Foto dokumentas­i ketika napi terorisme Umar Patek menandatan­gani ikrar kesetiaan kepada NKRI pada 17 April 2014.
MAYA APRILIANI/JAWA POS IKRAR: Foto dokumentas­i ketika napi terorisme Umar Patek menandatan­gani ikrar kesetiaan kepada NKRI pada 17 April 2014.
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia