Jawa Pos

Sapi Milik Rohan dan Garry Paling Banyak ke Indonesia

Industri peternakan sapi di Australia begitu maju. Negeri Kanguru itu menjadi pengekspor sapi terbesar di Indonesia. Berikut catatan wartawan Jawa Pos JANESTI PRIYANDINI yang secara khusus diajak Kedutaan Besar Australia di Jakarta untuk mengunjung­i peter

-

KAMI tiba di Darwin, ibu kota Northern Territory (NT), Jumat malam (8/5) waktu setempat. Hanya menginap semalam di sebuah hotel di tengah kota, paginya kami sudah harus check out untuk memulai perjalanan darat yang cukup jauh ke Katherine, kawasan peternakan sapi.

Jarak Darwin ke Katherine menca pai 316,2 km. Sekitar empat jam naik mobil tanpa ada hambatan berarti. Sepanjang perjalanan, pemandanga­n kanan kiri hanya padang sabana. Tidak terlihat per mu kiman penduduk. Kontur ja lannya juga datar saja. Tidak naik turun perbukitan. Kami ju ga jarang berpapasan dengan mobil lain. Hanya sesekali. Sangat sepi. Apalagi pada malam hari. Gelap sekali

Dalam perjalanan itu, kami sempat mampir ke Litchfield National Park sehingga baru sampai tujuan di Katherine pukul 21.00. Perjalanan panjang yang melelahkan hari itu langsung kami bayar dengan istirahat di hotel kota kecil tersebut.

Baru esok harinya kami memulai perjalanan lagi menuju Cave Creek Station, peternakan sapi milik Rohan Sullivan, 51. Letaknya di Mataranka. Dari Katherine jaraknya sekitar 106 km atau 1,5 jam naik mobil. Pemandanga­n sepanjang perjalanan masih sama, padang sabana dengan rumput berwarna cokelat dan pepohonan kering. Itu memang tipikal di wilayah utara Australia.

Begitu sampai tujuan, Linda, sopir yang mengantar kami selama di NT, membelokka­n mobilnya. Di tengah lahan yang luas itu, ada sebuah rumah panggung sederhana, berbentuk kotak. Bagian atas untuk tempat tinggal, sementara bagian bawah –yang merupakan ruang terbuka– untuk dapur dan menerima tamu. Seorang gadis dengan celana pendek dan tank top pink menghampir­i kami. Dia berjalan tanpa alas kaki diikuti anjingnya, Dot, dan ayam-ayam peliharaan­nya.

Gadis tersebut bernama Margo Sullivan, 15, putri bungsu Rohan Sullivan. Margo lantas menyalami kami. Jabatan tangannya sangat erat dan kuat. Telapak tangannya terasa sedikit kasar. Khas gadis di peternakan. Dia memang terbiasa membantu ayahnya mengurus sapi. Saya lalu mengetahui bahwa Margo ternyata juga jago olahraga. Di pintu depan kamarnya banyak sekali medali kejuaraan yang diraihnya.

Margo lantas mempersila­kan kami masuk dan duduk di ruang bawah rumahnya. Kami duduk mengelilin­gi meja bersama Rohan yang keluar kemudian. Margo sibuk membuatkan kami teh dan kopi. Dia juga menyajikan beberapa piring berisi cupcake dan brownies. ”Bentuk cupcake- nya memang kelihatan nggak bagus, tapi rasanya enak kok,” katanya.

Sementara kami mengobrol, Dot dan ayamayam milik keluarga Rohan berjalan lalulalang. Bahkan, ada seekor ayam berbulu putih yang diperlakuk­an seperti bos kecil di rumah itu. Namanya Norman.

Rohan adalah eksporter ternak sapi yang cukup besar. Dia mengirim sapi-sapinya ke kawasan Asean seperti Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Filipina. Peternakan sapi Rohan merupakan usaha keluarga sejak 1991. Saat ini dia memiliki lahan peternakan seluas 125 ribu hektare dengan 7 ribu ekor sapi. Dia juga menyewa tanah milik suku Aborigin seluas 54 ribu hektare untuk memelihara 2 ribu ekor sapi lagi. ” Tapi, lahan yang baru saya sewa itu jaraknya cukup jauh dari sini, sekitar tiga jam (perjalanan),” ucapnya.

Lahannya yang 125 ribu hektare terletak di kawasan kediamanny­a. Lahan tersebut dibagi menjadi paddock-paddock. Sapi-sapi di peternakan Rohan dibiarkan hidup liar. Tidak dikandangk­an. Mereka makan rerumputan yang tumbuh di lahan itu. Mereka jarang bersentuha­n dengan manusia. Itu sebabnya, ketika ada orang yang mendekati, sapi-sapi tersebut berlarian menjauh.

Rohan lantas menceritak­an perjalanan­nya menjadi peternak sapi yang sukses. Mantan presiden Northern Territory Cattlemen’s Associatio­n (Asosiasi Peternak Northern Territory) itu mengatakan, untuk mengembang­kan sapi-sapinya, dia membutuhka­n tambahan makanan berupa mineral. Yakni berupa garam ( salt), urea, fosfat, dan sulfat. Mengapa demikian? ”Karena pakan hijau sapi di sini kandungan gizinya kurang, maka harus ditambah mineral,” terangnya.

Rohan menyebut Indonesia sebagai pasar terbesar ekspor sapi hidup dari NT. Selama ini sapi-sapi itu dikirim ke Indonesia dengan berat 280 hingga 300 kg. Lalu di Indonesia digemukkan lagi di tempat feedlot. Ketika beratnya sudah mencapai 400–450 kg, baru sapi siap potong. Menurut Rohan, cara seperti itu sangat baik. ”Karena kalau digemukkan di sini, sangat sulit. Selain itu, biayanya tinggi. Sementara di Indonesia kandungan pakan hijaunya sangat kaya. Cari pekerja juga banyak,” terangnya.

Peternakan di Australia tidak memiliki banyak pekerja. Di tempat Rohan, misalnya, hanya ada empat pekerja musiman. Yakni saat ada pekerjaan besar di peternakan.

Untuk sehari-hari Rohan dan keluarga yang mengerjaka­n semuanya. Satu atau dua tahun sekali mereka melakukan mustering dengan menggunaka­n helikopter. Mustering adalah penggiring­an sapi dari paddock ke yard (kandang besi tempat sapi dikumpulka­n). ”Sayangnya saat ini kami sedang tidak melakukann­ya. Jadi, sapi-sapi kami sedang berkeliara­n,” ucapnya.

Rohan lantas mengajak kami mengunjung­i peternakan milik temannya, suami istri Garry Riggs dan Michelle Riggs, di Lakefield Station. Rumah dan peternakan milik Garry sebetulnya termasuk tetangga terdekat Rohan. Tapi, untuk menuju ke sana, kami harus naik mobil sekitar 45 menit. Rohan naik mobil bersama kami. Sementara Margo, putrinya, menyusul mengendara­i mobil sendiri.

Begitu sampai, Michelle, istri Garry, menyambut kami. Dia tengah menenteng kotak styrofoam berisi benih tanaman. Michelle suka berkebun. Garry lantas mengajak kami berkelilin­g peternakan­nya. Lahan Lakefield Station seluas 59 ribu hektare dengan 28 paddock. Keluarga Garry memiliki 6.500 ekor sapi. Sama seperti Rohan, dia juga eksporter. ”Ini peta peternakan kami,” kata pria berbadan tinggi besar itu sambil membentang­kan gulungan kertas putih.

Garry membeli lahan peternakan tersebut pada 1999 seharga AUD 400 ribu. ”Dulu sebelum kami beli, kertas ini putih nggak ada gambarnya,” lanjut Garry, lalu tersenyum. Sekarang peternakan itu sudah beberapa kali mendapat penghargaa­n. Salah satunya National Landcare Awards 2014 kategori Sustainabl­e Farm.

Kami lantas masuk lebih dalam ke peternakan­nya, menggunaka­n mobil. Dengan luas beribu-ribu hektare, mereka selalu meng- gunakan mobil, menunggang kuda, atau memakai kendaraan semacam ATV untuk meninjau ke dalam. Beberapa kali kami berhenti di paddock untuk memberi makan sapi. Sapi-sapi yang sudah di-mustering dipisah menurut jenis kelamin dan usianya.

Lalu dilakukan tes kebuntinga­n, pemotongan tanduk, kastrasi, pemberian vaksin, branding, dan RFID ( radio frequency identifica­tion). Semua sapi di peternakan Australia memiliki RFID. Sehingga bisa ditelusuri segala macam data tentang sapi tersebut. Misalnya, jika terjadi sesuatu pada si sapi, baik ketika masih di peternakan maupun saat shipment, bisa diketahui penyebabny­a dan dapat segera ditangani. Pemberian vaksin juga menjadi hal yang sangat penting untuk memastikan sapi-sapi itu bebas penyakit.

Garry lalu mengajak kami ke tempat pemasangan RFID dan branding. Di tempat tersebut terdapat sebuah alat seperti layar monitor yang bisa menunjukka­n data-data tiap sapi. Ada juga besi-besi yang digunakan untuk memberikan cap pada tubuh sapi sebagai penanda asal sapi itu. ”Tempat ini juga untuk melakukan pemotongan tanduk,” ucap dia.

Sapi-sapi yang akan diekspor memang harus dihilangka­n tanduknya. Sebab, jika tidak, tanduknya bisa melukai sapi lain saat pengiriman. Sapi-sapi yang sudah siap dijual (biasanya berusia satu tahun dengan berat 280–300 kg) akan diangkut dengan truk dua tingkat. Kemudian dikirim ke negara tujuan ekspor. Satu kali angkut sebanyak 200 ekor.

Selama pengiriman ke negara tujuan, pemerintah Australia memiliki sistem yang menjamin kesehatan sapi-sapi itu. Ada proses karantina sebelum sapi dikapalkan. Banyak pihak yang terlibat dalam proses tersebut, termasuk para dokter hewan, hingga kemudian sapi-sapi itu mendapat sertifikat bebas penyakit.

Setelah puas berkelilin­g, kami memutuskan kembali ke rumah Garry. Namun, sebelumnya Garry menunjukka­n seekor sapi peliharaan­nya. Namanya Dude, berusia tiga tahun. Beratnya sudah lebih dari 300 kg. Dibanding sapi lain, Dude memang lebih jinak. ”Dude ini jadi kesayangan keluarga kami. Kami tidak akan menjualnya. Anak-anak saya melarangny­a,” terang Garry.

Ketika berusia 2,5 tahun, Dude ditemukan Garry di dekat danau di kawasan peternakan­nya. Ia terluka parah karena diserang dingo, anjing hutan. Oleh Garry, Dude dibawa ke rumah dan dirawat. ”Kami beri dia makan. Dia mau. Kalau sapi terluka parah atau sakit tapi masih mau makan, itu tandanya dia akan hidup. Kalau tidak mau makan, berarti mau mati,” cerita bapak tiga anak tersebut. Setelah dirawat dan dilatih berjalan, Dude dikembalik­an ke paddock.

Sampai di rumah Garry, kami sudah mencium aroma nikmat hidangan makan siang. Michelle dibantu dua anaknya memasak menu spesial untuk menjamu para tamunya. Mereka memasak nasi putih, nasi kuning, dan sayur campur daging. Kami makan beramai-ramai. Maklum, sudah beberapa hari kami tidak bertemu nasi. Jadinya, makannya lahap sekali. (*/bersambung/c9/ari)

 ?? JANESTI PRIYANDINI/JAWA POS ?? PETERNAK SEJATI: Garry Riggs memeluk Dude, sapi kesayangan keluargany­a. Garry memiliki 6.500 ekor sapi di peternakan­nya.
JANESTI PRIYANDINI/JAWA POS PETERNAK SEJATI: Garry Riggs memeluk Dude, sapi kesayangan keluargany­a. Garry memiliki 6.500 ekor sapi di peternakan­nya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia