Jawa Pos

Nelayan Aceh Selamatkan Pengungsi Rohingya

Pemda Mempersuli­t, Warga Bahu-membahu Membantu

-

LANGSA – Para nelayan Aceh bahu-membahu menolong 442 pengungsi (93 di antaranya anakanak) asal Myanmar dan Bangladesh. Para pengungsi itu telah berhari-hari telantar di lautan karena diusir paksa oleh otoritas Thailand yang menolak disinggahi. Imigran yang terdiri atas 399 pencari suaka etnis Rohingya, Myanmar, dan 43 pengungsi asal Bangladesh itu kemarin pagi (20/5) berhasil mendarat di tepi muara pantai Aceh Timur

Sekitar 28 nelayan dari Desa Simpang Lhee, Kecamatan Julok, Kabupaten Aceh Timur, melakukan aksi heroik dengan menarik kapal imigran itu ke tepi muara pantai Aceh Timur. Kapal tersebut mulanya ditemukan Razali, 36, Selasa siang (19/5), sekitar 38 mil dari daratan dengan waktu perjalanan sekitar 4 jam.

”Saya hampiri mereka dan kasih makan. Setelah itu, saya kontak teman-teman untuk segera merapat,” jelas Razali.

Namun, karena jumlah pengungsi begitu banyak, para nelayan itu tidak sanggup memasok makanan ke kapal yang terkatungk­atung di laut tersebut. ”Karena itu, kami dorong saja sampai muara,” katanya.

Selasa sore (19/5), para nelayan mulai berupaya menarik kapal pengungsi. Awalnya, hanya tiga perahu kecil yang menarik. Setelah mencapai jarak 28 mil, lima perahu lain datang membantu. ”Kami sampai muara sekitar pukul satu malam. Setelah dari muara, baru mereka kami naikkan ke perahu untuk dibawa ke kampung,” jelas Razali.

Siang kemarin, Jawa Pos sempat mendatangi perahu yang hampir tenggelam itu. Warnanya hijau dengan polet merah di bagian bawah. Panjangnya 20 meter dengan lebar 5 meter dan tinggi lebih dari 5 meter. Kapal tersebut memiliki tiga tingkat di bagian lambung. Saat menaiki kapal yang sudah ditinggal penghuniny­a tersebut, bau tidak enak langsung menyengat. Kotoran manusia dan air kencing berserak di mana-mana.

Pakaian kotor dan botol-botol air mineral bermerek Thailand tersebar di semua titik. Badan dan mesin kapal masih utuh. Hanya, kondisi mesin yang mati membuat air mulai masuk melalui as balingbali­ng. Di bagian bawah, air bahkan sudah merendam sekitar satu meter. ”Kalau tidak kami selamatkan, mereka pasti akan tenggelam. Kami masih punya rasa kemanusiaa­n,” tegas Razali.

Saat penyelamat­an oleh nelayan, sebenarnya ada anggota Polair Aceh Timur yang sedang berpatroli. Namun, mereka hanya melihat dan berbalik arah. ”Mereka lihat kami, tetapi mereka balik lagi.”

Kondisi mengharuka­n terjadi saat para imigran sampai di darat. Setelah mereka ditampung di surau desa, bantuan pakaian dan makanan dari kampung-kampung sekitar tidak henti berdatanga­n. ”Semua bantuan itu murni dari masyarakat, tidak ada yang dari pemerintah,” tegas Muhammad Nasir, sosok tetua kampung.

Sementara itu, Samaita Beighom, 18, hanya bisa meringis dan menggertak­kan gigi berulangul­ang di atas ranjang kamar persalinan Puskesmas Julok, Aceh Timur. Tampak kesedihan yang sangat dari air matanya yang tidak henti mengucur.

Perempuan itu mengalami pendarahan di bagian alat vitalnya. Saat di kapal, Samaita baru melahirkan. Namun, tragis. Tidak adanya alat untuk membantu persalinan membuat bayinya meninggal. Mayatnya pun langsung dibuang ke laut. Gadis etnis Rohingya itu pun frustrasi.

Dindar Beigom, 16, juga tengah hamil lima bulan. Untung, janinnya bisa diselamatk­an. Tercatat, setelah diselamatk­an nelayan, 31 imigran yang mengalami dehidrasi parah langsung dibawa ke puskesmas.

Suasana haru terlihat saat mereka memasuki bus dan meninggalk­an warga yang berkumpul di sekitar puskesmas. Warga dan para imigran saling melambaika­n tangan dan menangis sebagai tanda melepas kepergian. ”Saking lemas dan kurusnya badan mereka, ya Allah, saya pun nangis waktu pertama mereka datang ke sini,” ungkap Ainur Mardiah, perawat UGD Puskesmas Julok.

Para pengungsi yang masih tampak sehat dibawa ke Polres Aceh Timur untuk diangkut ke Langsa. Pukul 12.00, mereka pun berangkat. Pemkab Aceh Timur berencana menempatka­n para pengungsi tersebut di gedung Balai Pelatihan Seuriget, Langsa.

Meski berada di wilayah administra­tif Pemerintah Kota Langsa, bangunan dan lahan itu mutlak milik Pemkab Aceh Timur. ”Kami tidak punya aset yang bisa menampung pengungsi ini di Aceh Timur. Karena itu, kami tempatkan di sana. Lagi pula, aset tersebut kan milik kami juga,” kata Wakil Bupati Aceh Timur Syahrul bin Syamaun.

Syahrul ikut mengawal rombongan pengungsi yang menumpang lima truk dan lima bus. Saat di perbatasan Kota Langsa dan Kabupaten Aceh Timur, Syahrul dan rombongan terkejut karena dihentikan anggota Polres dan Pemkot Langsa. Debat alot pun terjadi. Akhirnya, para pengungsi menepi dan menunggu di tepi batas kota.

”Kami tidak bisa memberikan akses untuk masuk. Sebab, ini perintah wali kota. Saat ini, kami masih punya tanggungan 600 pengungsi di Kuala Langsa. Wali kota tidak sanggup jika harus ditambah,” jelas Wakapolres Langsa Kompol Hadi Saeful.

Saat pemerintah daerah setempat setengah hati menolong, warga di sekitar perbatasan tapal batas kota tergerak untuk mengulurka­n tangan. Lewat pengeras suara masjid, lamat-lamat terdengar lantunan ayat Alquran dan hadis yang memerintah­kan untuk membantu para pengungsi yang disuarakan para pemuka agama. Bantuan pun berdatanga­n. Mulai pakaian, minuman, makanan, dan barang-barang lain seperti rokok. Warga membagikan­nya secara sukarela.

Pemerintah akhirnya memutuskan untuk menampung pengungsi Rohingya, Myanmar. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menegaskan, atas nama kemanusiaa­n, Indonesia akan menampung dan mencukupi kebutuhan para pengungsi Rohingya. Tetapi, ada batas waktu penampunga­n itu.

”Kami setuju (untuk menampung) setahun,” ujar JK setelah bertemu utusan Komisioner Tinggi Persatuan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) di Kantor Wakil Presiden kemarin (20/5). (wam/owi/bil/c5/sof)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia