Anak Juga Membandingkan Diri
LINGKUNGAN dan budaya juga melahirkan kebiasaan membanding-bandingkan. Mungkin beberapa orang tua tidak suka membanding-bandingkan anaknya. Namun, bisa jadi si anaklah yang suka membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Itu bisa terjadi karena pengaruh lingkungan pergaulan maupun budaya tempat si anak belajar dan bermain.
Biasanya, anak akan membandingkan barang kepunyaannya dengan orang lain. Yang paling sering adalah mainan. Bila melihat temannya memiliki mainan yang tidak dimilikinya, dia akan merasa tersaingi. Si anak lalu akan memaksa orang tua untuk membelikan barang tersebut.
Kebiasaan si anak yang membandingkan kepunyaannya dengan orang lain tentu memiliki dampak buruk. Anak jadi tidak bisa mensyukuri apa yang dia miliki. Kalau sudah begini, orang tua harus ambil tindakan. Tanamkan pada anak bahwa barang yang dia inginkan belum tentu dia butuhkan atau bahwa kita tidak bisa memiliki semua yang kita mau. ’’Cukup katakan ke anak, ’Kamu bisa tetap hidup tanpa barang itu, kan?’,’’ jelas Nadia.
Selain barang kepunyaan, anak kerap membandingkan prestasi atau kekayaan dengan teman yang lebih pandai atau kaya. Hasilnya, anak menjadi kurang percaya diri. Karena itu, orang tua bisa mengajak anak untuk melihat film atau video motivasi. Media apa pun bisa menjadi sarana bagi orang tua untuk menghentikan kebiasaan anak yang suka membanding-bandingkan diri.
Yang pertama adalah film atau video yang menunjukkan orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik atau ekonomi. Dari situ, anak akan belajar untuk lebih bersyukur dan tidak membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. ’’Namun, orang tua juga harus mengajarkan mereka agar tidak sombong. Sebab, orang yang unggul dalam perbandingan sering kali merasa selalu nomor satu,’’ terang Nadia.
Yang selanjutnya adalah film atau video mengenai perjuangan. Misalnya, kisah seseorang yang memiliki keterbatasan fisik, namun mampu berjuang meraih prestasi. Dari situ, anak bisa belajar menjadi lebih baik tanpa harus membandingkan diri dengan orang lain. Anak juga bisa menjadi lebih percaya diri dan termotivasi untuk maju. (len/c23/dos) Misalnya anak yang aktif akan dibandingkan dengan anak yang mudah diatur. Karakter masing-masing anak berbeda-beda dan unik. Orang tua harus lebih paham bahwa ’’pandai’’ tidak selalu dalam hal akademis, tetapi juga keterampilan,
atau bakat-minat. Orang tua cenderung ingin anaknya lebih tinggi atau rupawan. Terimalah anak Anda apa adanya. Segala kondisi fisik merupakan keturunan dari gen Anda, bukan? Setiap anak tentu memiliki gaya belajar sesuai dengan kenyamanan mereka. Demikian juga kemampuan dalam belajar. Tugas Anda adalah memahami dan mengapresiasi segala hasil dalam proses belajar mereka.