Ekonomi Indonesia Makin Membaik
Meski Tetap Rentan Risiko Global
JAKARTA– Kondisi makroekonomi Indonesia membaik seusai taper tantrums 2013. Ekonom DBS Gundy Cahyadi mengungkapkan bahwa banyak kemajuan signifikan yang terjadi sejak episode
adalah respons reaktif investor dan pelaku pasar di pasar negara berkembang ketika The Fed secara mendadak melansir pernyataan penghentian quantitative easing (QE).
”Ketidakseimbangan eksternal telah berkurang, sedangkan cadangan devisa meningkat. Hal ini seharusnya mengurangi risiko rentan atas serangan sentimen lemah,” kata Gundy dalam acara DBS Jakarta, kemarin (27/5).
Dia menjelaskan, membaiknya makro ekonomi Indonesia bisa terlihat dari defisit transaksi berjalan yang menurun menjadi tiga persen dari produk domestik bruto (PDB) pada akhir 2014. Sebelumnya, pada semester pertama 2013, defisit transaksi berjalan mencapai 3,5 persen dari PDB.
Selain itu, perbaikan makroekonomi tampak dari kenaikan cadangan devisa menjadi USD 105 miliar. Cadangan devisa tersebut dapat membiayai delapan bulan impor. Padahal, awal 2013, cadangan devisa hanya USD 85 miliar. ”Utang luar negeri jangka pendek juga tetap stabil, sekitar USD 45 miliar sejak 2013. Artinya, cadangan itu dapat membiayai lebih dari 200 persen kewajiban utang eksternal jangka pendek,” tutur dia.
Namun, kata Gundy, Indonesia pun masih rentan dengan berbagai risiko global. Salah satu bukti rentannya perekonomian Indonesia adalah anjloknya nilai tukar rupiah pada kuartal pertama tahun ini. ”Tantangan masih ada. Defisit transaksi berjalan tetap menjadi isu untuk Indonesia, lalu juga terkait dengan nilai tukar rupiah,” ujarnya.
Defisit Indonesia masih lebih tinggi daripada negara-negara berperingkat utang serupa. Mayoritas pemicu kenaikan defisit adalah perlambatan drastis impor (-15 persen yoy pada kuartal pertama 2015). (dee/c14/agm)