Publik Wajib Kian Ceriwis
Anggaran yang kian besar belum menjamin keadilan manfaat buat rakyat. Wawan Sobari, dosen FISIP Universitas Brawijaya dan peneliti JPIP, mencari solusi dari penyakit elite memangsa anggaran.
NAFSU memangsa anggaran di kalangan elite politik masih menggejala. Upaya partisipatif dalam penyusunan anggaran seperti rangkaian musrenbang dan pengawasan berlapis belum sepenuhnya bisa meredam nafsu egois itu.
Konflik seputar APBD DKI Jakarta 2015, yang disingkap Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dan aparat hukum, menguak fakta perilaku predatory budgeting. Ternyata, praktik memangsa APBD juga banyak dilakukan di daerah-daerah lain dan bahkan di pemerintahan pusat.
Dikenal konsep predatory government untuk menggambarkan kondisi institusi-institusi politik yang ditandai korupsi, inefisiensi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Lansford (2011) menyebutkan, biasanya itu muncul di negara yang diperintah secara otoriter, kurang transparan atau kurangnya pengawasan berimbang, kapasitas birokrasi lemah atau bahkan tidak terkontrol, serta membatasi kebebasan ekonomi dan personal warganya.
Bagi Indonesia, itu kontradiktif. Sejak 1998, kita mendorong praktik pemerintahan demokratis yang secara konstitusional membuka ruang pengawasan pemer intahan, transparansi, serta mendorong kebebasan ekonomi dan politik warga. Namun, predatory government masih bercokol kuat.
Transformasi ekonomi Indonesia saat Orde Baru memang tidak dibarengi revolusi politik. Karena itu, sebagaimana disebut Robison dan Hadiz (2004), tatkala terjadi perubahan politik besar pada 1998, kekuatan-kekuatan politik (sekaligus ekonomi) lama (Orde Baru) berhasil membajak institusi- institusi baru hasil reformasi. Tidak mengherankan, reformasi politik yang sudah 17 tahun baru menghasilkan perubahan-perubahan tata kelola pemerintahan inkremental (kecil), bukan radikal, termasuk di daerah.
Praktik predatory budgeting merupakan turunan situasi predatory government. Yakni, proses penganggaran yang diwarnai praktik-praktik korupsi, inefisiensi, dan penyalahgunaan wewenang saat penyusunan maupun implementasi kebijakan anggaran. Dalam kisruh APBD DKI 2015, dugaan munculnya dana siluman Rp 12,1 triliun yang disangka disusupkan oknum DPRD, bekerja sama dengan oknum pejabat dan staf eksekutif, merupakan contoh riil praktik itu. Kasus tersebut memasuki ranah hukum dan sudah memunculkan tersangka dari elite pemerintahan yang diduga berkongkalikong ’’memangsa’’ anggaran.
Jauh sebelumnya, perilaku opor tunistis legislatif dalam penganggaran diungkap dalam Simposium Nasional Akuntansi Ke-9 di Padang. Studi Abdullah dan Asmara (2006) menemukan praktik diskresi kekuasaan DPRD kabupaten dan kota di Indonesia dalam penganggaran dengan memanfaatkan kelemahan UU No 22/1999 dan PP No 110/2000. DPRD berani memutuskan penggunaan kenaikan pendapatan asli daerah (PAD) sebagai sumber pembiayaan untuk usul kegiatan baru.
Faktanya, proposal kegiatan itu tidak didasarkan pada prioritas anggaran daerah atau cenderung untuk memenuhi kepentingan individu. Menurut kedua peneliti, otoritas DPRD yang besar dan relasi kekuasaan yang timpang dengan kepala daerah ( legislative heavy) dimanfaatkan untuk memenuhi kepentingan predatory dalam penganggaran.
Predatory budgeting juga terkait dengan desain kelembagaan yang janggal dalam UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD maupun UU No 27/2009 yang telah direvisi. Terdapat poin-poin paradoksal antara larangan anggota legislatif (DPRD dan DPR) melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta konstruksi hu bungan anggota legislatif, konstituen, dan partai politik.
Di satu sisi, anggota legislatif dituntut berperilaku bersih. Sebaliknya, mereka diminta mengakomodasi aspirasi sekaligus bertanggung jawab secara politis dan moral kepada konstituennya. Padahal, untuk memenuhi tuntutan materiil pemilih tidak mungkin dilakukan karena kekuasaan DPRD sebagai representasi rakyat dalam penganggaran terbatas pada pembahasan dan persetujuan anggaran, bukan alokasi dan eksekusi anggaran.
Sejatinya, akuntabilitas para legislator harus ditujukan kepada seluruh rakyat sebagai principal atau pemberi mandat. Yakni, tanggung jawab dalam menja lankan wewenang dan tugas legislasi, penganggaran, dan pe ngawasan. Terkhusus, pengawasan merupakan kekuasaan hakiki dan krusial para legislator sebagai wakil rakyat di peme rintahan. Supervisi sangat penting untuk memastikan eksekutif menjalankan kebijakan dan anggaran yang mengakomodasi tuntutan serta permintaan publik.
Karena krusialnya pengawasan kinerja eksekutif, kapasitas kontrol oleh legislatif merupakan kompetensi mutlak. Studi Coryanata (2007) di DPRD Kota Bengkulu menemukan kontribusi signifikan partisipasi masyarakat, akuntabilitas, dan transparansi terhadap pengetahuan DPRD tentang anggaran dan kapasitas DPRD dalam pengawasan APBD.
Alhasil, upaya-upaya mendorong partisipasi masyarakat, kampanye dan praktik akuntabilitas penyelenggaraan negara, dan transparansi pembuatan anggaran tetap menjadi solusi paling masuk akal untuk menangkal perilaku predatory budgeting, khususnya legislatif.
Publik diberi ruang untuk berpartisipasi menyuarakan kepentingannya terhadap DPRD dalam penganggaran. Intinya, publik harus kian cermat dan ceriwis. Alokasi anggaran wajib berdasar prioritas yang paling memberikan manfaat, apalagi ruang fiskal anggaran, terutama di kabupaten/kota, tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan belanja pegawai, misalnya. Juga, masih defisit ( lihat grafis). Pada saat yang sama, DPRD membuka peluang transparansi terhadap setiap usul warga dan eksekutif dalam penganggaran.
Hal penting lainnya, mengembalikan pemahaman para legislator dan pemilihnya tentang hakikat wewenang dan tugas mereka sebagai wakil rakyat dalam pemerintahan. Yakni, mengawal pemerintahan berjalan demi kepentingan publik, bukan semata kepentingan eksklusif konstituen dan parpol.
Sebab, kebijakan, anggaran, dan hasil-hasil pembangunan merupakan barang publik yang inklusif. Perbedaan visi dan ideologi pemerintahan diwujudkan dalam prioritas dan titik tekan dalam pembangunan. Misalnya, visi kerakyatan dijabarkan dalam pelaksanaan pembangunan. Tidak mendiskriminasi konstituen dan nonkonstituen, apalagi memuaskan elite sendiri. (www.jpip.or.id)