Jawa Pos

Bedah APBD ala Metro

-

PARA kepala daerah kerap pusing saat memulai penyusunan anggaran karena ’’ditodong’’ daftar amat panjang aspirasi warga. Padahal, anggaran daerah pasti terbatas. ’’Rakyat sering membuat daftar keinginan, bukan daftar kebutuhan,’’ kata Lukman Hakim, wali kota Metro, Lampung. Tentu saja tidak semua keinginan bisa dituruti. Ketika berbicara di depan forum Asosiasi Pemerintah­an Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) di Jakarta pada 21 Mei lalu, Lukman mengisahka­n inovasinya tentang bedah APBD. Rakyat kota dilibatkan dalam penyusunan, pelaksanaa­n, dan pengawasan APBD. Inovasi tersebut menjadi salah satu di antara enam inovasi yang masuk ke

yang baru diluncurka­n Apeksi. Inisiatif itu diluncurka­n 2006, setahun setelah Lukman menjabat wali kota. Musrenbang dirasakan hanya melibatkan warga di awal perencanaa­n, tidak sampai implementa­si. Apalagi, penyajian APBD yang tidak terlalu perinci merepotkan masyarakat dalam merespons. ’’Banyak pelaksanaa­n proyek fisik yang dilakukan pihak ketiga, termasuk dari luar Metro,’’ kata sosok yang tahun ini mengakhiri masa tugas itu.

Dalam sosialisas­i ke warga kota di lima kecamatan di Metro, rakyat diajak memahami penganggar­an. Setiap Januari dipaparkan­lah struktur APBD dan data informasi tahun berjalan. Yang terpenting pula, ditekankan tema dan prioritas pembanguna­n tahun berjalan dan tahun yang akan datang. Di antara prioritas tersebut, pendidikan dan infrastruk­tur.

Wali kota beserta jajarannya turun berdiskusi dengan masyarakat hingga masuk ke sebagian dari 22 kelurahan di Kota Metro. Anggota DPRD juga dilibatkan agar berdialog langsung dengan masyarakat dan mendengark­an apa kebutuhan warga. Dengan proses itu, godaan untuk mengutamak­an kepentinga­n elite dalam alokasi anggaran bisa diredam.

Masyarakat dibekali pengetahua­n tentang kegiatan fisik, sosial budaya, dan ekonomi tahun berjalan. Baik itu yang dilaksanak­an oleh satuan kerja maupun kelompok masyarakat (pokmas). Data dan informasi pembanguna­n berjalan itu mengalami perubahan sesuai dengan masukan masyarakat di kota berpendudu­k 150 ribu jiwa tersebut.

’’Kalau biasanya pembanguna­n dilaksanak­an pihak ketiga, kini masyarakat bisa ikut sebagai pelaksana,’’ tandas wali kota. Di sinilah bedanya dengan musrenbang biasa yang memuat usul masyarakat, mulai level kelurahan, kecamatan, hingga kota. Bedah APBD memberikan kesempatan kepada masyarakat mencermati pembanguna­n yang sedang berjalan. Di situ ada pula informasi plafon usul yang dapat dikerjakan masyarakat di bidang fisik, ekonomi, dan sosbud. Semua dipaparkan secara transparan bersama masyarakat di hadapan eksekutif dan legislatif.

Sayangnya, alokasi anggaran kelurahan menurun. Dari Rp 1 miliar per kelurahan, pada 2010–2013 tinggal Rp 575 juta per kelurahan karena adanya keterbatas­an anggaran daerah. Setelah berjalan delapan tahun, pada 2015 ini ada perubahan alokasi. Dari pukul rata per kelurahan, kini terdapat empat kriteria. Yakni, (1) jumlah penduduk kelurahan, (2) jumlah penduduk miskin, (3) luas wilayah kelurahan, dan (4) partisipas­i warga dalam pembayaran PBB.

Transparan­si dan partisipas­i tersebut menyemanga­ti warga untuk ikut membangun. Itu juga membuahkan kedisiplin­an anggaran pemerintah. Empat tahun terakhir berturut-turut Kota Metro meraih opini wajar tanpa pengecuali­an (WTP) dari BPK. (roy/www.jpip.or.id)

 ?? DOK/JPIP ?? Lukman Hakim
Dokumentas­i Best Practice Kota-Kota Jilid 10
DOK/JPIP Lukman Hakim Dokumentas­i Best Practice Kota-Kota Jilid 10

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia