Pasien Main Gitar Ketika Operasi
Tubuh sering bergerak-gerak sendiri tentu mengganggu. Kelainan saraf itu bisa diatasi dengan bantuan teknologi modern. Dan, Surabaya telah memiliki ahlinya.
BERBEDA dengan pasien pada umumnya yang cenderung takut menghadapi operasi, Mr L, begitu pasien dystonia itu disebut, justru tidak sabar menunggu momen tersebut. Pria paro baya asal Lampung itu sudah mengidam-idamkan pulih dari kelainan yang dialaminya sejak setahun lalu.
Mr L bercerita, awalnya dirinya merasa nyeri di bagian bahu. Lama-kelamaan nyeri tersebut berubah menjadi gerakan leher dan kepala yang tidak terkendali. Setelah memeriksakan diri ke salah seorang dokter di Lampung, dia didiagnosis terkena dystonia, salah satu jenis movement disorder.
Dia mengatakan, berbagai cara sudah ditempuh untuk menyembuhkan dystonia tersebut. Misalnya, suntik botox untuk melemaskan otot leher. ”Saya lihat-lihat di internet, ada informasi bahwa di Surabaya ada teknik brain lesion,” ujarnya menjelang pelaksanaan stereotactic neurosurgery di National Hospital Senin (25/5).
Kehadiran ilmu dan teknologi stereotactic neurosurgery, menurut dr Achmad Fahmi Ba’abud SpBS, membuka peluang penderita movement disorder untuk kembali bergerak normal. Ada dua prosedur yang bisa menumbuhkan harapan itu. Yakni,
stereotactic neurosurgery. Di Indonesia, baru Surabaya yang memiliki alat canggih tersebut.
Spesialis bedah saraf itu menyatakan, ada banyak jenis movement disorder. Di antaranya, Parkinson’s disorder, dystonia, hemibalismus, spasticity, dan chorea.
Fahmi menjelaskan, stereotactic brain lesion merupakan suatu teknik bedah saraf dengan alat Alat tersebut berbentuk busur dengan bor berdiameter 1 mm. Jadi, luka irisan dari operasi hanya sepanjang 3–4 sentimeter. Sementara itu, lubang pada kepala hanya berdiameter 1 sentimeter.
Anggota Surabaya Neuroscience Institude (SneI) tersebut mengungkapkan, dilihat dari tingkat akurasinya, teknik stereotactic terbilang unggul.
Alumnus FK Unair itu menambahkan, sebelum tindakan, ada beberapa prosedur yang harus dilalui pasien. Saat operasi berlangsung, kondisi pasien terjaga sejak awal karena operasi itu tergolong
Pasien cukup dibius lokal. Hal itu juga dilakukan pada Mr L. Sesaat setelah dibius, tubuhnya seketika diam. Namun, dia sadar. Ketika tindakan berlangsung, Fahmi meminta Mr L mengucapkan kata ’’Surabaya’’. ”Coba katakan ’r’ yang jelas,” pinta Fahmi kepada Mr L. Pria berkulit putih itu pun mengucapkan Surabaya dengan jelas.
Selama operasi, Mr L diminta menunjukkan gerakan tangan layaknya memompa. Selain itu, dia menunjukkan keahliannya bermain gitar. ”Gitarnya fals,” ucapnya yang membuat seisi ruang operasi tertawa.
Fahmi mengatakan, tujuan tindakan stereotactic adalah mengurangi aktivitas struktur otak hiperaktif yang mengakibatkan gangguan gerakan.
Untuk pasien tremor, probabilitas kesembuhan mencapai 80–90 persen. Sedangkan bagi penderita parkinson, keberhasilannya 70–80 persen. ”Pasien bisa bebas obat. Sekali bikin lesi hasilnya seumur hidup. Ini adalah Dari Surabaya untuk Indonesia,” tegas Fahmi.
Bahkan, National Hospital masuk Museum Rekor Indonesia (Muri) 13 April. Yakni, pada kategori rumah sakit pertama di Indonesia yang melakukan operasi parkinson dan kelainan gerak. (rst/c7/nda)