Tokoh Agama Papua Jaga Kerukunan
Tolikara Tenang, Kios dan Musala Dibangun Lagi 1 Korban Tewas, 10 Luka-Luka
JAYAPURA – Momen hari kemenangan Idul Fitri 1436 Hijriah pada Jumat (17/7) ternoda. Pada saat umat muslim sedang bermaaf-maafan, kabar yang menguji kesabaran dan semangat toleransi datang dari bumi Papua.
Cenderawasih Pos ( Jawa Pos Group) melaporkan, sekelompok orang menghalang-halangi kaum muslim yang hendak menjalankan salat Idul Fitri di Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua, Jumat sekitar pukul 08.00 Waktu Indonesia Timur (WIT).
Aksi tegas pihak keamanan untuk menjaga hak beribadah umat muslim berujung bentrokan. Massa membakar rumah dan kios milik warga. Akibat kerusuhan tersebut, 1 rumah ibadah, 6 rumah, dan 11 kios dibakar massa. Selain itu, jatuh korban 1 tewas dan 10 orang mengalami luka-luka
Kemarin (18/7) kepolisian dan pemerintah daerah (pemda) setempat langsung melakukan upayaupaya agar peristiwa pembakaran rumah ibadah yang pertama di Papua itu tidak berbuntut panjang. Selang sehari setelah kerusuhan, dilakukan pertemuan antara Kapolda Papua, Pangdam XVII Cenderawasih, Gereja Injili di Indonesia (GIDI), tokoh agama, serta Musyawarah Pimpinan Daerah Papua di Tolikara Sabtu pagi.
Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Mabes Polri Kombespol Suharsono mengungkapkan, ada empat kesepakatan yang dicapai. Pertama, GIDI dan tokoh agama se-Tolikara saling menjaga kerukunan. Kedua, pemkab akan membangun lagi kios dan rumah ibadah yang dibakar.
Kesepakatan ketiga adalah Kapolda Papua Irjen Pol Yotje Mende dan Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen Fransen Siahaan berjanji memberikan bantuan tunai kepada para korban. Sedangkan poin terakhir adalah pelaku pembakaran tetap akan diusut sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Suharsono menjelaskan, semua poin itu disepakati GIDI, tokoh agama, Pemkab Tolikara, Polda Papua, dan Pangdam Cenderawasih. ”Jadi, dipastikan telah ada antisipasi kemungkinan adanya peristiwa balasan. Dengan perjanjian ini, semua itu bisa ditekan,” ucapnya.
Selain pertemuan yang digagas Polda Papua, Kantor Kementerian Agama Provinsi Papua Janus mengundang sejumlah tokoh dan pimpinan agama kemarin. Rapat singkat di Kanwil Agama Provinsi Papua tersebut akhirnya menghasilkan enam butir kesepakatan.
Pertemuan tertutup itu dihadiri tokoh-tokoh agama, baik dari muslim maupun berbagai denominasi gereja di Papua. Umat muslim diwakili KH Saiful Islam Al Payage selaku ketua MUI Provinsi Papua. Hadir juga, Ketua Persatuan Gereja-Gereja di Tanah Papua (PGGP) Uskup Mgr Leo Laba Ladjar, serta beberapa tokoh dan pimpinan agama lain.
Sepanjang pertemuan yang berlangsung hampir dua jam tersebut, banyak tanggapan dari para tokoh di Papua atas insiden di Tolikara. Beberapa masukan itu dihimpun dan disepakati sebagai pernyataan sikap bersama para pimpinan agama di Papua yang diharapkan juga diikuti seluruh umat beragama di Tanah Papua.
Ada enam kesepakatan yang dicapai Tokoh Agama di Papua. Yakni, permohonan maaf atas ter- jadinya pembakaran musala dan penyerangan terhadap umat muslim, menyesalkan kejadian tersebut, mendesak pihak berwenang mengusut tuntas dan profesional, mengimbau seluruh masyarakat tetap tenang, menyerukan tidak ada salah satu golongan agama yang melarang umat beragama lain beribadah, dan terakhir meminta aparat keamanan untuk segera meredakan suasana.
Dipicu Surat Edaran Terkait apa penyebab kerusuhan di Tolikara, Kapolda Papua Yotje Mende menjelaskan bahwa yang pertama dibakar adalah kios milik warga yang merembet melewati enam kios lainnya. Kobaran api akhirnya merembet dan menghanguskan musala yang terbuat dari kayu. ”Jadi, apabila ada yang mengatakan bahwa musala dibakar secara sengaja, itu tidak benar,” tegasnya di Mapolda Papua kemarin.
Kapolda mengaku sudah mengunjungi Kabupaten Tolikara dan melakukan rapat bersama Pangdam Cenderawasih, bupati Tolikara, Kapolres Tolikara, pimpinan GIDI, serta pimpinan tokoh agama untuk memaparkan situasi tersebut. Dari rapat koordinasi itu, Presiden GIDI Pendeta (Pdt) Dorman Wanimbo mengungkapkan bahwa masalah tersebut diawali adanya surat edaran yang ditandatangani Pdt Nayus Wenda dan Pdt Marthen Jingga yang melarang salat Idul Fitri dengan alasan adanya peraturan bupati.
Namun, saat dikonfirmasi, bupati Tolikara dan presiden GIDI membantahnya dan menegaskan tidak pernah ada seruan dan merekomendasikan seruan seperti itu. ”Jadi, peredaran surat itu atas inisiatif yang bersangkutan sendiri. Pemerintah tidak pernah melarang umat agama lain melakukan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya. Ini yang sedang kami selidiki,” ungkapnya.
Yotje menyayangkan seruan ilegal itu justru beredar dalam kongres dan kebaktian kebangunan rohani (KKR) GIDI internasional yang kebetulan sedang berlangsung di Tolikara sejak 16 Juni 2015. Akibatnya, peserta kongres yang sebagian besar kaum pemuda salah tafsir terhadap masalah tersebut.
Ujungnya, pada saat pelaksanaan salat Id, tepatnya pada takbir ketujuh, ada pelemparan dari kelompok yang sedang melaksanakan seminar yang berjarak sekitar 100 meter dari tempat salat Id di depan markas koramil. ”Saat mendengar suara takbir dari speaker, secara spontan mereka melakukan pelemparan,” sebut Yotje.
Kebetulan, Kapolres Tolikara yang sedang bertugas langsung menenangkan massa yang semakin banyak karena pelaksanaan KKR yang pesertanya dari seluruh Indonesia. ”Dari pelemparan tidak ada korban karena kaum muslim berlari menyelamatkan diri ke belakang koramil dan masa berhadapan dengan aparat keamanan yang pada saat itu mengeluarkan tembakan peringatan,” tambahnya.
Dari tembakan peringatan itu, ternyata ada korban, yakni 11 orang terkena tembakan yang mengakibatkan 1 tewas dan 10 orang lainnya mengalami luka-luka. Dengan jatuhnya korban, massa semakin beringas sehingga membakar satu unit kios dan merembet ke puluhan bangunan lain, termasuk sebuah musala.
Yotje menegaskan bahwa massa tidak berniat membakar musala. ”Jadi, pembakaran terjadi karena ada penembakan. Namun, ini akan kami selidiki lagi apakah yang dikatakan itu benar atau tidak,” jelasnya. Dengan kronologi tersebut, Yotje menandaskan, tidak ada unsur kesengajaan. Semua terjadi secara spontan.
Saat ini situasi di Kabupaten Tolikara, Papua, sudah kondusif. Anggota kepolisian dan TNI telah melakukan pengamanan agar insiden itu tidak terulang. Beberapa warga yang terluka telah dibawa ke RSUD Tolikara dan sebagian lain dilarikan ke RSUD Jayapura. ”Situasi sudah mulai kondusif. Warga yang terkena panah sudah mendapat perto- longan medis. Hingga saat ini, belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkan masyarakat melakukan penyerangan. Diduga, ada yang memprovokasi,” ujar Kabidhumas Polda Papua Kombespol Patrige kemarin.
Selain itu, dari kasus tersebut, kepolisian, dalam hal ini Polres Karubaga, Tolikara, akan memeriksa beberapa orang yang ditahan dan meminta keterangan dari para saksi. Apabila benar ada yang memprovokasi warga, yang bersangkutan akan ditindak tegas. ”Kami masih menyelidiki kasus itu. Penyerangan yang terjadi baru pertama kali dilakukan sehingga patut untuk kami curigai. Selama ini, tidak pernah ada seperti ini sehingga kami menduga ada yang melakukan provokasi,” tutur dia.
Respons Presiden Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sedang mudik ke Solo langsung menanggapi konflik yang terjadi di Tolikara. Di sela-sela acara bagi-bagi sembako di Pasar Notoharjo kemarin, Presiden Jokowi menyatakan bahwa situasi di Tolikara sudah terkendali. ”Semua sudah diatasi Polri, jadi sudah dalam keadaan yang baik,” ujarnya saat dicegat awak media.
Dalam kesempatan itu, Jokowi mengingatkan untuk selalu menjaga kerukunan antarmasyarakat. Tidak hanya di Papua, tapi juga di seluruh Indonesia. Sebab, negara Indonesia merupakan negara yang majemuk dan multikultur. ”Ada banyak suku; ada banyak adat istiadat; ada banyak agama; ada banyak budaya. Itulah negara kita yang menunjukkan kebinekaan. Maka dari itu, kita harus menjaga toleransi, kebersamaan, dan persatuan,” tegasnya.
Penjelasan lebih detail soal sikap presiden disampaikan Staf Khusus Presiden RI Lenis Kogoya. Lenis menyatakan, presiden meminta maaf kepada para warga yang menjadi korban dalam insiden tersebut. ”Saya menyesalkan atas nama presiden Indonesia, memohon maaf kepada warga yang terkena musibah di Tolikara. Saya sedikit kaget dan menyesalkan kejadian yang terjadi pada hari istimewa kaum muslim,” jelas Lenis dalam konferensi pers di kantor Sekretariat Negara (Setneg) kemarin.
Lenis menuturkan, konflik antaragama itu baru kali pertama terjadi di daerah asalnya, yakni Papua. Menurut dia, selama ini kebersamaan dan toleransi antarumat beragama di sana cukup harmonis. Dia mengatakan, yang kerap terjadi justru perang antarsuku. Karena itu, dia berharap publik dan sejumlah pihak terkait tidak menyangkutpautkan insiden tersebut dengan politik.
Sementara itu, Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama (Kemenag) Oditha Hutabarat menjelaskan bahwa kemenag berencana meminta Komnas HAM bisa terjun ke Tolikara. ”Tentunya diperlukan semacam investigasi untuk mengetahui penyebabnya dan solusi masalah tersebut,” tuturnya. (bil/idr/byu/ ken/JPG/c9/c11/kim)