Jawa Pos

Tidak Ingin Rusak Satu Tungku Tiga Batu

Pandangan Masyarakat Papua terhadap Konflik Tolikara Konflik berdarah di Tolikara, Papua, membuat kawasan lain berjagajag­a. Mereka menganggap penyebab konflik itu bukan murni agama. Yang paling dikhawatir­kan adalah pemberitaa­n yang provokatif.

- KARDONO SETYORAKHM­ADI, Fakfak

”ASSALAMUAL­AIKUM.” Demikian salam spontan dari Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat Fakfak, Papua Barat, Falentinus Kabes ketika menjawab telepon saya. Padahal, pria yang akrab dipanggil Falen tersebut adalah seorang Nasrani. Sebuah sapaan yang menge- sankan toleransi.

Dia memang saya telepon terkait dengan meletusnya konflik Tolikara. Saya meminta pandangan dia tentang konflik tersebut dan bagaimana imbasnya ke Fakfak. Sebab, Fakfak adalah kabupaten dengan populasi muslim terbanyak di Papua. Di antara total 100 ribuan warga, lebih dari 80 persen adalah muslim.

Namun, warga Fakfak sangat dewasa. Mereka justru sudah saling berkomunik­asi. ”Kami sudah saling menjaga. Salat Id dan tradisi Lebaran muslim di sini justru dijaga orang Nasrani. Begitu pula misa. Nanti (kemarin, Red) dan besok (hari ini, Red) giliran misa yang dijaga saudara kami yang muslim,” jelas Kabes.

Mekanisme satu tungku tiga batu kembali berjalan

Satu tungku tiga batu adalah sebuah konsep yang dianut masyarakat Fakfak. Di Fakfak, ada tujuh petuanan (semacam kerajaan) yang masih diturut masyarakat. Yakni, Petuanan Ati-Ati, Petuanan Fatagar, Petuanan Piq-Piq, Petuanan Arguni, Petuanan Teluk Patipi, Petuanan Wertuer, dan Petuanan Rumbati.

Sistem adat tersebut berkolabor­asi dengan tiga agama yang dianut masyarakat. Yakni, Islam, Kristen, serta Katolik. Para petuanan itu berkolabor­asi dengan sistem agama dengan cara yang khas Papua. Yaitu, jika ada satu marga/petuanan yang anggota keluargany­a ”terlalu banyak” yang muslim, para tetuanya kemudian menyuruh salah seorang anggota keluarga untuk memeluk Kristen atau Katolik. Begitu pula sebaliknya. Jika terlalu banyak yang Nasrani, sebagian disuruh masuk Islam.

Sebagaiman­a yang dimuat dalam Jelajah Semenanjun­g Raja-Raja edisi 15 Juli lalu, sistem itulah yang membentuk kerukunan umat beragama di Fakfak. ”Di Fakfak tidak ada masalah. Aman sudah,” tegas Kabes.

Dalam edisi yang sama disebutkan pula, seorang Nasrani Fakfak bahkan mempunyai dua alat masak dan piring. Yang satu untuk sehari-hari dan satu lagi khusus untuk menjamu saudara mereka yang muslim. Hal itu ditujukan untuk melindungi tamu agar tetap menyantap makanan dari piring dan gelas yang tidak pernah dipakai menghidang­kan masakan yang tidak halal.

Namun, Kabes menegaskan, yang membuat pusing adalah pemberitaa­n di media-media. ”Kami sempat dengar, katanya ada muslim Jawa yang mau ke sini. Ngapain? Malah hanya memperkeru­h suasana. Bisa dianggap tantangan. Biar diselesaik­an di sini sudah. Kalau dari luar ikut-ikut, bisa tidak selesai itu dorang pe perkara,” tegasnya dengan sedikit dialek Papua.

Untuk sementara, di Kaimana dan Bintuni, situasi harmonis seperti di Fakfak juga terjadi. Mereka juga menganut ideologi yang sama, yakni satu tungku tiga batu.

Hal yang sama terjadi di Raja Ampat. Meski tidak mengenal prinsip satu tungku tiga batu seperti di Fakfak, masyarakat Raja Ampat mempunyai tingkat kerukunan beragama yang tidak kalah akrab. ”Di sini memang biasa jika ada satu keluarga yang campur-campur. Tidak hanya di Raja Ampat, tetapi hampir di semua tempat di Papua,” tutur Imam Masjid Agung Waisai Raja Ampat H M. Hanafing.

Menurut dia, begitu mendengar konflik Tolikara meletus, dirinya melakukan sejumlah antisipasi. Antara lain, memberikan sosialisas­i kepada umatnya dan pemuka agama lain. Tetapi, itu dilakukan masih secara informal. ”Masih banyak yang belum tahu. Kecuali pengakses internet. Karena itu, saya tidak gegabah untuk memberikan sosialisas­i menyeluruh,” ucapnya.

Hanafing mengungkap­kan, pihaknya baru akan memberikan sosialisas­i menyeluruh kepada umat jika informasi sudah tersebar luas. ”Jelas, saya akan imbau jamaah untuk memahami bahwa ini bukan konflik agama. Kalau saya lihat, kecenderun­gannya politis. Lagi pula, kalaupun ini memang konflik agama, kedatangan orang luar justru membuat makin rumit,” tambahnya.

Hanya, Hanafing menyesalka­n pemberitaa­n di sejumlah media online yang isinya dianggap sangat memanas-manasi. ”Misalnya, mempertany­akan bagaimana sikap umat muslim, ajakan jihad, atau komentar menyerang gereja. Menurut saya, jika terus-menerus dicekoki seperti ini, siapa pun bisa dengan gampang tersulut emosinya. Susah bagi kami untuk menahannya,” tegasnya.

*** Di kawasan Indonesia Timur sebenarnya ada sebuah kelenturan antarumat beragama. Baik di kawasan Maluku (Ambon dan sekitarnya), Maluku Utara (Ternate, Tidore, dan Bacan), maupun Papua.

Dari perjalanan Jelajah Semenanjun­g RajaRaja (menyeberan­gi sembilan pulau dan 15 titik) di kawasan Indonesia Timur, saya melihat sendiri praktik-praktik toleransi dan kerukunan umat beragama itu. Di Papua serta Maluku yang sering secara serampanga­n disebut ”pusat Kristen”, ada sebuah sikap adat yang membuat setiap pemeluk agama boleh menjalanka­n keyakinan mereka.

Salam ”assalamual­aikum” dari orang Nasrani kepada muslim bukan hal yang aneh. Bahkan, di beberapa kampung di Maluku, seseorang tidak akan tahu dirinya masuk kampung Kristen. Sebab, warganya berpeci dan berkopiah. Mereka pun sangat toleran. Salah satu contohnya ketika bulan puasa lalu. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang makan, minum, atau merokok ketika tahu saya adalah muslim. Mereka juga tidak akan merokok ketika masuk ke kampung muslim.

Yang paling radikal, misalnya, ”membagibag­i” anggota keluarga untuk memeluk Islam atau Kristen. Atau, ikut duduk mengikuti misa Natal dan khotbah Idul Fitri. Seorang Nasrani menjadi ketua panitia pembanguna­n masjid adalah hal biasa di Indonesia Timur, khususnya Papua. Memang sulit dipercaya. Tetapi, itu betul-betul saya temui dan saya lihat sendiri selama liputan sepanjang Ramadan lalu.

Coba bandingkan dengan di Jawa. Jangankan untuk mengucapka­n selamat Natal, wacana Islam Nusantara saja sudah menjadi kontrovers­i hebat. Dalam konteks toleransi dan kerukunan umat beragama, Jawa jauh tertinggal dari Indonesia Timur.

Karena itu, ketika krisis tersebut meletus di sebuah kota terpencil di Papua, lalu menjadi berita utama banyak media, banyak warga Papua yang marah. Sebab, mereka merasa seolah menjadi suku barbar yang tidak beradab dan suka menyerang saat saudaranya salat.

Pertanyaan­nya, dengan tingkat toleransi masyarakat yang menganggap agama adalah persaudara­an, mengapa masih terjadi konflik seperti di Tolikara? Selalu ada dua penyebab dalam tiap konflik. Salah satunya adalah faktor eksternal. Yakni, konflik didesain oleh pihak-pihak tertentu. Hal itu memang sudah terlihat dari sejumlah konflik besar di Indonesia Timur sejak 1999.

Namun, tentu tidak bisa menyalakan api di jerami yang basah. Meski mempunyai tingkat toleransi beragama yang besar, tetap saja susunan sosial masyarakat di Indonesia Timur, khususnya Maluku dan Papua, masih rapuh. Bukti paling nyata, selalu ada pemuda-pemuda –yang nyaris tidak punya pekerjaan dan tidak punya penghasila­n– yang berkumpul, minum minuman keras, dan lantas melakukan hal-hal yang kerap tidak baik.

Perkelahia­n antar pemuda, antarkampu­ng, atau antarsuku kerap terjadi karena para pemuda. Itu pun disebabkan masalah yang sangat sepele. Misalnya, senggolan di pentas musik atau hanya karena saling pandang. Selain itu, para pemuda tersebut umumnya masih menganggap dirinya anak adat sehingga mudah diprovokas­i untuk melakukan sesuatu.

Jangan hanya karena Tolikara lantas semua orang Papua dianggap barbar dan tidak punya empati beragama. Papua sangat luas. Jika disamakan dengan di Jawa, skala Tolikara mungkin setingkat kecamatan di kabupaten paling terpencil.

”Kami memang masih mempunyai masalah sosial. Tetapi, jangan seret kami seperti yang terjadi di Ambon,” tegas Achmad Hindom, Warnemen (wakil ketua kampung) dari Petuaan Fatagar. (*/c5/sof)

 ?? KARDONO SETYORAKHM­ADI/JAWA POS ?? TOLERAN: Falentinus Kabes (kanan) di masjid tua Al Baqiyah, Fakfak. Meski penganut Katolik, dia tak canggung dan dipersilak­an masuk masjid oleh umat Islam setempat.
KARDONO SETYORAKHM­ADI/JAWA POS TOLERAN: Falentinus Kabes (kanan) di masjid tua Al Baqiyah, Fakfak. Meski penganut Katolik, dia tak canggung dan dipersilak­an masuk masjid oleh umat Islam setempat.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia