Berharap Untung, Malah Buntung
TURUNNYA daya beli masyarakat mengakibatkan pertumbuhan ekonomi di semester I 2015 hanya 4,9 persen, lebih rendah daripada semester I tahun lalu yang 5,1 persen. Hal itu membuat sejumlah pelaku usaha kehilangan omzet triliunan rupiah saat Hari Raya Idul Fitri.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N. Mandey menjelaskan, Lebaran selalu menjadi berkah pelaku usaha. Demikian juga halnya di sektor ritel yang menjadi ujung tombak penjualan industri seperti makanan-minuman (mamin), pakaian jadi, dan elektronik. ”Tapi, Lebaran tahun ini beda. Penjualan sepi karena masyarakat menunda pembelian,” ujarnya
Penundaan beli itu membuat omzet ritel Lebaran tahun ini menurun cukup tajam dibanding Lebaran tahun sebelumnya. Jika biasanya naik dua kali lipat saat Lebaran, tahun ini omzet ritel diperkirakan hanya meningkat 30 persen. Omzet ritel setiap bulan rata-rata Rp 10–13 triliun. ”Lebaran tahun ini omzetnya sekitar Rp 15 triliun, tahun kemarin Rp 25 triliun,” ungkapnya.
Menurut Roy, produk mamin tetap dibeli karena kebutuhan masyarakat sangat tinggi saat Lebaran. Tapi, untuk konsumsi produk nonmamin, masyarakat cenderung menahan diri. Orang lebih memilih membeli barang kebutuhan pokok seperti makanan daripada produk elektronik yang harganya mahal-mahal.
Biasanya omzet ritel mulai menunjukkan peningkatan pada Mei atau sekitar dua bulan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Namun, itu tidak terjadi hingga bulan puasa berakhir tahun ini. Penjualan baru terlihat naik di dua pekan terakhir Juni. ”Itu pun tidak terlalu tinggi. Animo membeli masyarakat masih rendah. Pengunjung banyak, tapi pembeli sedikit,” beber Roy.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adi S. Lukman mengatakan, pada saat bulan puasa dan Lebaran, peningkatan omzet bisa mencapai 1,5 kali lipat dibanding bulan-bulan biasa. ”Biasanya omzet mamin Rp 70–80 triliun di bulan biasa. Kalau Lebaran seperti sekarang kira-kira omzetnya Rp 120 triliun,” terangnya.
Namun, pertumbuhan penjualan di Lebaran kali ini tidak sebesar Lebaran tahun-tahun sebelumnya yang meningkat hingga dua kali lipat atau mencapai omzet di atas Rp 150 triliun. Hal itu terjadi karena tahun ini daya beli masyarakat sedang menurun. ”Biasanya Lebaran sangat menggembirakan buat kami, tapi tahun ini tidak terlalu tinggi seperti tahun-tahun sebelumnya,” kata Adi.
Penurunan penjualan juga terjadi di industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G. Ismy mengakui, tahun ini terberat bagi pelaku usaha tekstil dan pakaian jadi (garmen). ”Lebaran yang biasanya mampu mendongkrak omzet hingga 30 persen, tahun ini malah sepi order. Omzet turun 25–30 persen dibanding Lebaran tahun-tahun sebelumnya,” ujar dia.
Biasanya dua bulan sebelum puasa permintaan sudah mulai berdatangan. Pabrik garmen bahkan sampai kewalahan melayani pesanan. Tapi, Lebaran tahun ini kondisinya berbeda. Hingga menjelang Hari Raya Idul Fitri, pesanan sangat sedikit, bahkan beberapa tidak mendapat order sama sekali. ”Beberapa perusahaan terpaksa berhenti beroperasi untuk sementara karena lagi sepi order,” ungkapnya.
Penjualan mobil juga terkena dampak lesunya daya beli masyarakat. Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie Sugiarto mengatakan, kondisi saat ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bulan Ramadan dan Lebaran menjadi salah satu momentum untuk meningkatkan penjualan kendaraan.
Namun, perlambatan ekonomi membuyarkan harapan itu karena daya beli masyarakat ikut menurun. Dia tidak yakin laporan penjualan pada Ramadan dan Idul Fitri bisa naik sampai 5 persen. ”Biasanya ada kenaikan sedikit, sekitar 5 persen. Sekarang bisa-bisa tidak sampai 5 persen,” ujarnya. (wir/dim/c9/kim)