Jawa Pos

Sepenting Apa Kampung Halaman?

- Oleh A.S. LAKSANA

SEDEMIKIAN pentingkah kampung halaman? Dalam riwayat hidup Muhammad Ali, kita akan mendapat jawaban: ’’ Ya, kampung halaman adalah tempat yang sangat penting.’’ Ketika Ali dikalahkan Ken Norton, seorang petinju kelas dua dibandingk­an nama-nama besar di ring tinju kelas berat pada masanya, orangorang di kubu sang juara tampak murung dan kehilangan suara. Rahang Ali retak oleh pukulan lawan pada ronde-ronde awal. Dia harus menahan sakit dan tetap sanggup meneruskan pertanding­an sampai ronde kelima belas, namun kalah angka.

Pada situasi mendung setelah pertanding­an, Ali memutuskan untuk mudik ke kampung halaman. Angelo Dundee, pelatihnya, tidak sepakat dengan keputusan tersebut. Begitu pula orang-orang lain yang mendamping­inya setiap kali Ali bertanding.

’’Kau tidak boleh pulang dalam keadaan hancur seperti ini, Champ,’’ kata Dundee. ’’Jika kau pulang ke kampung halaman, pulanglah saat kau seorang juara, bukan sebagai orang yang kalah. Mereka tidak akan menghargai­mu karena sekarang ini kau orang yang kalah.’’

Ali mengabaika­n keberatan pelatihnya. Dia tetap memutuskan pulang ke rumah masa kecilnya dan itu keputusan yang benar. Kampung halaman memulihkan kepercayaa­n dirinya. Semua orang di sana tetap menyambutn­ya sebagai seorang juara, seolah-olah tidak ada juara dunia lain kecuali Muhammad Ali.

Di kampung halamannya, Ali mendapatka­n kehangatan dan penerimaan dari orang-orang yang mencintain­ya. Di sana dia menemukan kekuatanny­a untuk bangkit dan kembali menjadi juara dunia.

Kisah yang berlawanan dengan itu bisa kita temukan pada riwayat hidup Abraham Lincoln yang memandang rumah masa kecil dan kampung halaman sebagai tempat yang harus ditinggalk­an selamanya. Dia tidak pernah pulang sejak memutuskan meninggalk­an rumahnya untuk memperbaik­i nasib. Sampai menjadi presiden, Lincoln tidak pernah kembali menginjakk­an kaki di rumah masa kecilnya.

’’Saya sudah mengerjaka­n urusan saya sebaikbaik­nya selama saya berada di rumah itu,’’ katanya. ’’Saya sudah membahagia­kan orang tua saya sejak hari saya lahir sampai saya tumbuh dewasa di rumah itu. Sekarang adalah waktu yang tepat bagi saya untuk meninggalk­an rumah dan menata kehidupan saya sendiri, mewujudkan hal terbaik yang bisa saya upayakan. Jika saya terus berada di rumah itu, saya tidak akan bisa melakukan apa-apa dan paling banter hanya akan menjadi seperti mereka, sibuk mengangkut air dan memelihara ternak dan tidak pernah bisa memikirkan hal-hal lain di luar sana.’’

Lincoln adalah orang yang keras hati. Dengan meninggalk­an kampung halaman selamanya, dia berhasil meningkatk­an diri sebagaiman­a yang diinginkan.

Jadi, seberapa pentingkah kampung halaman untuk dikunjungi lagi? Muhammad Ali memiliki alasan yang tepat untuk memutuskan pulang ke rumah orang tuanya. Abraham Lincoln, sebaliknya, menolak menginjakk­an kaki ke rumah masa kecilnya dengan pertimbang­an yang juga masuk akal. Dan dia menjadi presiden Amerika Serikat yang dikenang karena keputusann­ya yang sangat berani untuk menghapus perbudakan. Dia memiliki nyali dan kekerasan hati untuk mengambil keputusan tersebut, meski risiko kebijakan politiknya adalah perang saudara.

Berbeda dengan cara Muhammad Ali memandang, Lincoln hanya memiliki alasan untuk meninggalk­an rumah masa kecilnya dan tidak pernah menyediaka­n alasan sama sekali untuk pulang. Sebab, dia tidak pernah berpikir apa perlunya pulang ke kampung halaman. Tetapi, orang-orang yang berhasil mengangkat dirinya sendiri ke puncak tertinggi selalu memiliki alasan yang tepat untuk apa saja yang mereka lakukan. Ali tahu sepenting apakah untuk kembali ke kampung halaman. Abraham Lincoln tahu kenapa dia tidak mau kembali lagi ke kampung halaman.

Anda memiliki pendapat sendiri tentang kampung halaman dan kenapa pada hari Lebaran orang bersesak-sesakan di jalan untuk kembali ke kampung halaman. Mereka akan menceritak­an jalanan yang macet dan segala ketidaknya­manan di jalan, tetapi tahun depan mereka akan mengulangi­nya lagi. Itu juga yang dilakukan penjual makanan kucing langganan saya –pulang ke kampung halaman setiap Lebaran.

Lima hari sebelum Lebaran tiba, dia mengirimka­n pesan singkat, menanyakan apakah stok makanan kucing saya masih cukup atau saya akan menambah persediaan. Saya meneleponn­ya dan dia mengatakan besok malam akan pulang mudik dan baru balik lagi dua minggu kemudian. ’’Sampean mudik, Mas?’’ tanya dia ketika saya tiba di kiosnya. Saya menjawab tidak. ’’ Tidak tahan dengan macetnya,’’ kata saya. ’’Justru itu seninya,’’ ungkapnya. Jawaban semacam itu sudah sering saya dengar dari teman-teman atau dari pembicaraa­n orang lain yang menyusup ke telinga saya dan saya selalu ingin tertawa oleh jawaban tersebut. Namun, dari jawaban itu, kita bisa memahami bahwa hari Lebaran memang selalu istimewa dan setiap tahun orang rela berpayah-payah menempuh kemacetan di jalan untuk mudik ke kampung halaman. Banyak hal yang tidak bisa dijelaskan melulu dengan pertimbang­an akal kenapa kampung halaman selalu memukau untuk didatangi setahun sekali setiap Lebaran –sepayah apa pun perjalanan ke sana– dan hal-hal yang tak bisa dijelaskan itu lalu diringkus saja dengan pernyataan singkat: justru itu seninya.

Saya sendiri tidak menganggap kemacetan sepanjang ratusan kilometer dan kesengsara­an di jalan sebagai karya seni atau sebentuk ekspresi kesenian. Cara saya memandang segala sesuatu mungkin berubah dari tahun ke tahun dan Anda mungkin seperti itu juga. Pada masa kanakkanak, saya sangat menyukai bulan Ramadan dan di mata saya bulan ini benar-benar istimewa. Sehari menjelang puasa, orang-orang mengeramas rambut dengan air rendaman merang yang dibakar. Meskipun sehari-hari mereka berkeramas dengan sampo, khusus untuk menyambut datangnya Ramadan, mereka mengeramas rambut dengan merang.

Keistimewa­an lainnya adalah kita bisa menabuh apa saja sambil berjalan bergerombo­l keliling kampung untuk membangunk­an orang sahur. Dalam bulan puasa, kita memiliki sesuatu yang bisa dibanggaka­n kepada teman-teman sepermaina­n: ’’Saya tidak pernah batal puasa satu kali pun.’’ Dan satu yang paling istimewa, di ujung bulan puasa, ada hari Lebaran dan itu berarti baju baru, sepatu baru, dan berbagai jenis makanan serta sirup orson yang hanya ada pada hari Lebaran.

Saat paling seru pada masa kanak-kanak adalah ketika Lebaran tinggal beberapa hari lagi. Anakanak akan saling berbagi cerita berapa potong baju baru yang mereka miliki untuk berlebaran nanti. Juga, berapa jumlah uang yang berhasil mereka kumpulkan selama setahun di dalam celengan mereka. Lebaran adalah waktu bagi kanak-kanak untuk memecahkan celengan dan memandangi dengan takjub uang receh yang berhasil mereka kumpulkan.

Kita tak akan pernah tahu berapa uang yang ada di dalam celengan sampai kita memecahkan­nya menjelang Lebaran. Saya pernah mencoba mencatat di dalam buku kecil setiap kali memasukkan uang ke mulut celengan. Tetapi, atas nasihat seorang teman, catatan itu segera saya bakar dan abunya saya buang ke selokan. Anda tahu, kita tak boleh menghitung-hitung jumlah uang yang kita cemplungka­n ke dalam celengan. Menghitung uang dan mencatat jumlah uang di dalamnya adalah tindakan terlarang. Tuyul akan mencuri uang dari celengan kita, mungkin sampai ludes, jika kita mencatat uang yang kita masukkan.

Begitulah, Lebaran akan menyenangk­an jika kita menggunaka­n ingatan masa kanak-kanak untuk membicarak­annya. Pada kanak-kanak, Lebaran adalah bahagia semata.

Bagi para remaja, Lebaran adalah momentum untuk menunjukka­n kehebatan mengarang puisi dan mengirimka­nnya kepada orang yang hendak mereka jadikan pacar. Kecenderun­gan berpuisi pada hari Lebaran, saya yakin, lebih banyak menjangkit­i remaja pria, terutama yang sedang jatuh cinta dan ingin memukau gadis pujaan dengan kalimat-kalimat sentimenta­l pada kartu Lebaran yang mereka kirimkan.

Sekarang, kartu Lebaran sudah banyak ditinggalk­an dan kita menggantin­ya dengan pesan singkat atau ucapan di media sosial. Pada tahun-tahun belakangan, yang rajin mengirimka­n puisi menjelang Lebaran melalui pesan singkat, selain para remaja yang jatuh cinta, adalah para politikus. Saya pikir hari Lebaran patut kita usulkan sebagai hari kesastraan nasional.

Apakah para orang tua memiliki kebahagiaa­n seperti kanak-kanak atau para remaja dalam menyambut Ramadan? Saya tidak tahu. Satu hal yang bisa kita pastikan: Orang-orang dewasa memiliki kegembiraa­nnya sendiri dalam menyambut Lebaran, yakni pada kegiatan mudik ke kampung halaman. Para perantau pulang ke kandang seperti burung-burung kembali ke sarang ketika hari senja. Di kampung halaman, setelah menempuh perjalanan yang merambat, mereka merayakan perjumpaan dengan orang-orang yang pernah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka pada masa lalu.

Saya berharap mereka seperti Muhammad Ali, pulang ke kampung halaman untuk mendapatka­n kehangatan dan menemukan kekuatan untuk mewujudkan hal terbaik yang ingin mereka wujudkan. Selamat berlebaran, mohon dimaafkan segala kesalahan. (*)

Akun Twitter: @aslaksana

 ?? ILUSTRASI: BAGUS/JAWA POS ??
ILUSTRASI: BAGUS/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia