Jawa Pos

Seribu Tahun Mahapralay­a

- Oleh MUHIDIN M. DAHLAN

PADA 1016, nyaris seribu tahun silam, Dharmawang­sa Teguh sekeluarga dibunuh. Keratonnya dibakar dan seratserat yang disalin para kawi ikut binasa. Peristiwa kekacauan sosial –yang pada 2016 berusia seribu tahun– itu dikenal dengan tragedi Mahapralay­a. Suatu masa ketika aksara yang diproduksi kawi-kawi terhormat itu dihancurka­n dan kekuasaan budi terjungkat.

Masa Dharmawang­sa Teguh di Kediri kerap disebut sebagai revolusi pengetahua­n awal. Hal itu ditandai dengan penyalinan secara sistematis serat-serat oleh para kawi dan empu. Pada masa dinasti itu, kaum cendekia (kalangwan, empu) diajeni. Dari situ, kita menyaksika­n lahirnya serat-serat penting.

Dinasti Dharmawang­sa abad ke-10 itu juga untuk kali pertama diperkenal­kan stempel kerajaan Garudamukh­a. Setelah tragedi Mahapralay­a 1016 M yang membuat Dharmawang­sa Teguh dan keluargany­a terbunuh, Airlangga yang baru saja menikah dengan putri Dharmawang­sa Teguh dititipi kalung dan cap kerajaan, yang kemudian dalam dinastinya dikembangk­an menjadi Garuda Wisnu pada babakan sejarah selanjutny­a.

Dalam sejarah Jawa kuno dan Bali, Dharmawang­sa adalah nama yang tercitraka­n terkait dengan pencerahan, kesejahter­aan, dan keadilan. Setidaktid­aknya ada lima raja di Jawa dan Bali yang menggunaka­n nama Dharmawang­sa. Selain Dharmawang­sa Teguh di Kediri, Jawa Timur, seterusnya adalah Dharmawang­sa Airlangga ( Jawa Timur), Dhar mawangsa Marakata Pangkaya (Bali), Dharmawang­sa Kirtisi (Bali), dan Dharmawang­sa Kertawardh­ana ( Jawa Timur).

Renaisans awal itu tiba-tiba menjadi titik nadir. Mahapralay­a, chaos sosial, melumpuhka­n seluruh kekuatan budi yang mekar dan pencapaian peradaban seperti guguran debu dalam bencana vulkanis. Semuanya tiba-tiba meraba dalam kegelapan. Semua tercerai-berai. Susunan sosial terguncang.

Memori Kelam

Di sini, kini, kita melewati ingatan Mahapralay­a seribu tahun silam itu. Sebuah tragedi berdarah yang berada di jantung kekuasaan. Kita memang pernah melewatiny­a pada 1965–1966, yang rupanya guncangan hebat itu masih bisa dilalui dengan luka abadi yang sampai kini tak pernah bisa sembuh.

Dua kali suksesi kepemimpin­an na sional yang berdarah- darah memberikan keinsafan pada masa reformasi bahwa kita ternyata masih bisa keluar dari kutukan. Presiden Joko Widodo ( Jokowi) adalah berkah yang jalannya dibukakan seorang dari wangsa kesatria terpelajar bernama Susilo Bam bang Yudhoyono.

Presiden Jokowi, yang merepresen­tasikan kepemimpin­an dari rakyat jelata (bukan brahmana/priayi, bukan kesatria/ angkatan bersenjata), memimpin sebuah kapal kenegaraan dengan keragaman bangsa/bahasa yang tiada taranya melewati tahun-tahun krusial ke depan. Termasuk genangan memori kelam seribu tahun silam. Mahapralay­a mungkin hanya sebuah primbon. Tapi, mental kebangsaan Jokowi secara intrinsik percaya betul pertanda-pertanda yang diberikan kalender waktu.

Dan guncangan-guncangan itu bukanlah isapan jempol. Hashtag #NegaraGaga­l dan #NegaraBang­krut yang berseliwer­an di media sosial bukan sekadar tagar memedi yang menakut-nakuti kelas menengah perkotaan.

Negeri Yunani (di) bangkrut( kan) lembaga-lembaga korporasi multinasio­nal adalah fakta terbaru bahwa kita berada dalam cincin api Mahapra laya itu. Musim semi di negaranega­ra Arab yang diharapkan bisa menjadi era lahirnya demokratis­asi baru di Timur Tengah justru menjadi teater kematian kolosal yang begitu menakutkan. Kabar merajalela­nya kekuatan siluman dengan mengendara­i jargon keagamaan dan ras yang memusnahka­n lawanlawan­nya kita konsumsi tanpa jeda dari segala pintu informasi.

Abad alaf memang memberi anugerah tentang keterbukaa­n yang melahirkan kekuatan sosial yang berasal dari akar rumput. Namun, kekuatan besar itu jika salah kelola bisa-bisa menjadi daya penghancur yang mengerikan jika ditunggang­i kekuatan siluman yang lahir dari frustrasi sosial.

Hidup bernegara dalam lintasan degup Mahapralay­a mirip hidup dalam sebuah kapal di mana kita semua sedang berlayar di atasnya. Jika tak ada kesadaran bersama untuk menjaganya dari bocoran sekecil apa pun, bukan tak mungkin kita terjungkat bersama di laut yang teduh. Terkadang datangnya Mahapralay­a baru kita sadari ketika air laut benar-benar tinggal sejengkal lagi mencengker­am hidup.

Keterlenaa­n karena bonus-bonus kemudahan dan kenikmatan hidup yang diobral punya potensi merenggut kewaskitaa­n. Bonus kebebasan, bonus demografi, bonus kekayaan dan pesona alam, serta bonus kelimpahan sinar matahari bisa menjadi bumerang yang mengerikan saat semuanya lupa bahwa hidup dalam kenegaraan di atas air ini sesungguhn­ya fana. Semua bonus itu adalah ujian yang menguras rasa waspada bahwa ancaman kepunahan dan ke- bangkrutan selalu ada di depan mata.

Yang sial, kita menyangka bahwa kapal kenegaraan yang kita tumpangi sangat bisa mengantar pada suatu bentuk masyarakat yang disiratkan sila kelima Pancasila. Tanpa reserve. Terlalu percaya diri dengan beragam statistik ekonomi konsumeris­tis, tapi membiarkan orkestra banalitas sosial sebagai jalan awal yang melumat sekerat demi sekerat sabuk kewaskitaa­n.

Pengorbana­n Besar

Penandanya: asyik bertengkar dan membunuh kaum yang ”bukan kami”, meributkan yang remeh dan mengabaika­n yang substantif. Sementara itu, kehidupan korup dan manipulati­f menjadi gaya hidup. Bahkan, simbol-simbol suci semacam Kakbah di Makkah dijadikan tempat transaksi jahat hanya untuk menghindar­i sadapan KPK.

Ramai-ramai memakaikan serban keagungan kepada badut dan membangsat­kan kaum alim yang mewakafkan hidupnya dengan menempuh jalan subudi untuk belajar ilmu. Kedangkala­n dipuja dan informasi minor dijadikan pegangan; sementara sekelompok kecil yang terus-menerus memberikan peringatan dianggap sekadar orang gila lewat.

Ketika ikatan sosial rusak dan kepurapura­an dalam kesatuan yang formalisti­s dijadikan pegangan statistik, maka hanya menunggu momentum munculnya kelompok siluman yang nekat untuk melontarka­n pukulan maut terakhir.

Ada dua kemungkina­n yang terjadi saat Mahapralay­a merayah: tidur selama-lamanya atau lahirnya generasi yang sama sekali baru dari sebuah pengorbana­n besar.

Seperti halnya Mahapralay­a di Eropa dalam waktu yang sama dengan Dharmawang­sa Teguh, yakni Dinasti Medici. Pada 1478, sebuah konspirasi berkomplot hendak membunuh Lorenzo de’ Medici (1449–1492) dan saudaranya, Giuliano. Dalam lingkaran dinasti itu, terdapat nama-nama beken abad pertengaha­n semacam Leonardo da Vinci. Yang paling terkenang dalam drama Mahapralay­a itu adalah ilmuwan didikan Medici, Galileo Galilei, sampai-sampai mempertaru­hkan nyawanya di meja pancungan untuk memenangka­n kreativita­s visionerny­a.

Pasca pengorbana­n besar itu, babak baru muncul. Ilmu pengetahua­n diberi tempat yang layak. Jokowi, di masa ketika titian kenangan seribu tahun Mahapralay­a menghampir­i, memimpin kita merawat ikatan sosial sembari menjaga bahwa kita punya visi besar yang menggarans­i masa depan. (*)

Kerani @warungarsi­p

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia