Narsisme Kaum Sufi
”Jika diriku sendiri tak dikenang, aku akan dikenang sampai hari kiamat karena mutiaramutiara puisi yang telah kutebarkan di atas kepala orang banyak. Kubah-kubah langit akan hancur sebelum sajak ini nanti sirna.”
(Fariduddin Attar)
SETIAP penulis yang menjadi pemuja terhadap karyanya sendiri, yang membanggakannya dengan sedemikian rupa, sering kali kita menyebutnya sebagai narsis. Ada sejenis kebanggaan yang tidak bisa disembunyikan ketika olah pikir dan renungan yang diperasnya menjelma menjadi sebuah karya yang menurutnya cemerlang!
Dalam terminologi psikologi, jenis kebanggaan itu biasa disebut ”narsisme” atau ”narsisisme”. Tapi, tidak semua narsisme itu buruk. Dalam batas-batas tertentu, narsisme tak lebih hanyalah sebentuk ”kemasan” dari mutiara-mutiara hikmah yang terkandung di dalamnya.
Dalam karya-karya sastra klasik, terutama karya-karya kaum sufi yang lahir di Timur Tengah, kita bisa menjumpai jenis narsisme yang unik sekaligus terpuji. Dalam karya-karya Fariduddin Attar dan Abdurrahman Jami, misalnya, ada banyak ungkapan yang –jika tidak memahami konteksnya– pembaca akan menilainya sebagai wujud dari ”kesombongan” belaka. Atau, jika pembaca hanya menilai karya mereka ”sebatas karya” sebagaimana pada umumnya karya sastra, yang lahir pastilah anggapan-anggapan negatif bahwa mereka telah terjebak pada ”pengakuan diri” yang sungguh keterlaluan.
Tapi, jika kita membacanya dengan pengetahuan yang mumpuni, dengan kepekaan jiwa yang tinggi, di balik ”narsisme” itu terdapat beribu-ribu hikmah. Ada semacam lautan kearifan yang ketika diselami penuh dengan mutiara kehidupan.
Itulah jenis ”narsisme yang terpuji”, yang sama sekali tidak berhubungan dengan puja-puji, apalagi mengatakannya sebagai bentuk patologi. Tidak. Narsisme semacam ini sering kali kita jumpai dalam karya-karya sastrawan besar Islam yang memiliki pengaruh dalam hidupnya, yang karya-karyanya mengilap sebagaimana keluhuran jiwa mereka yang mengilap.
Sebutlah Fariduddin Attar (w. 1230), sastrawan yang dijuluki Si Penebar Wangi. Dalam kitab Mantiqut Thair ( Musyawarah Burung), Attar dengan tegas dan ”narsis” mengatakan: ”Tulisanku memiliki keistimewaan yang mengagumkan: ia akan memberikan lebih banyak manfaat sesuai dengan bagaimana cara membacanya.”
Membaca Attar tentu saja memasuki lautan hikmah. Karyanya menyimpan wangi-wangian dan kata-kata narsisnya tidak mencelakakan dirinya. Sebab, Attar terbebas dari pujian. Apa yang telah digubahnya pantas untuk dirayakan karena dia telah memerasnya dari sebuah perenungan dan pengembaraan panjang.
”Jika diriku sendiri tak dikenang,” kata Attar di bagian akhir buku itu, ”aku akan dikenang sampai hari kiamat karena mutiara-mutiara puisi yang telah kutebarkan di atas kepala orang banyak. Kubah-kubah langit akan hancur sebelum sajak ini nanti sirna.”
Jika Attar membungkus hikmah di balik puisi-puisinya dengan ungkapan yang narsis, Abdurrahman Jami juga demikian. Jami adalah sastrawan besar Islam abad XV asal Afghanistan. Dia penulis yang lihai. Beharistan ( Kota Musim Semi) dan Nafahatul Uns ( Napas dari Bayu Persahabatan) adalah beberapa karyanya dalam bentuk prosa yang sangat terkenal.
Sebelum meninggal pada 1492 Masehi, Jami menulis sebuah novel bertajuk Yusuf dan Zulaikha. Novel yang sudah diterjemahkan ke sejumlah bahasa itu merupakan kado terakhir Jami sebelum dia berpulang ke alam keabadian. Dalam novel tersebut, dengan ”narsis” Jami mengatakan: ”Sebagaimana Tuhan adalah saksiku, karyaku adalah sesegar sumber yang baru. Setiap babnya adalah taman harum, dengan mawar indah di setiap rangkaian bunga.”
Jami ingin menggiring pembaca ke sebuah dunia di mana kisah-kisah yang dihadirkan dan kata-kata yang digubahnya adalah tangga untuk menggapai lautan cinta Ilahi. Itulah sebabnya, dalam epilog Yusuf dan Zulaikha, Jami menuturkan bahwa karya legendaris tersebut ditulis untuk memenuhi janjinya: sepercik hikmah yang memancar dari penanya setidaknya mampu memberikan kesegaran bagi jiwa-jiwa yang kering.
Ketika Jami berpulang, karya-karyanya menjadi primadona, tidak hanya di Timur Tengah, tapi juga di berbagai penjuru dunia. Mereka yang membaca karya Jami, dengan penuh kesadaran sekaligus kedewasaan, akan tenggelam dalam kenikmatan tanpa sisa. Jami, sebagaimana juga Attar, seperti menyediakan beribu-ribu kendi yang berisi anggur. Setiap kali anggur itu ditenggak, melesatlah jiwa-jiwa yang kehausan. Ketika jiwa-jiwa melesat secepat kilat, barulah tahu bahwa narsisme itu bukanlah sejenis kebanggaan diri yang terkutuk, melainkan sebuah keniscayaan yang mencerahkan.
Dengan demikian, narsisme dalam konteks ini tidak bisa dipahami sebagai bentuk ”pengakuan diri”, semacam penyakit untuk meneguhkan karya-karyanya atau mengukuhkan eksistensinya. Sama sekali tidak. Mereka terbebas dari semua itu.
Beratus-ratus tahun setelah karya-karya Jami dan Attar dikenang di berbagai penjuru dunia, muncul sosok penyair sufi sekaligus filsuf yang juga mengemas karya-karyanya dengan ungkapan-ungkapan ”narsis”: Muhammad Iqbal (1877–1938). Dalam Javid Namah ( Kitab Keabadian), misalnya, dengan ”narsis” Iqbal mengatakan, ”Apa yang telah kukatakan berasal dari dunia lain; buku ini turun dari langit lain.”
Barangkali Iqbal merasa perlu mengatakan demikian karena dalam karya tersebut dia dengan gagah menceritakan bahwa dirinya melakukan petualangan rohani dari bumi lewat ”daerahdaerah” bulan, Merkurius, Venus, Mars, Yupiter, dan Saturnus hingga sampai di luar segala daerah: hadirat Ilahi. Itulah sebabnya, agar pembaca dapat mereguk hikmah di balik puisi-puisinya, Iqbal berpesan, ”Tuturkan kembali kata-kataku dengan mudah kepada yang muda-muda, jadikan kedalamanku tergapai buat mereka.” (*)
Editor dan penikmat sastra, tinggal di Jogjakarta, Twitter @yusrielga