Meneropong Realitas yang Timpang
Meskipun esai-esai dalam buku ini ditulis lebih 20 tahun lalu, kekuatan refleksi dan relevansinya tetap cukup kuat.
KENYATAAN hidup sehari-hari sering tampil sebagai sesuatu yang biasa. Akibatnya, sering kali kepekaan kita tumpul dan tak bisa menangkap pesan hidup di balik sebuah peristiwa.
Akhirnya hidup ini menjadi jalinan arus yang hambar sehingga dalam bahasa Sokrates menjadi hidup yang tak layak dijalani karena tanpa refleksi. Esai-esai budayawan kondang Emha Ainun Nadjib yang terkumpul dalam buku ini mengajak pembaca untuk merefleksikan kenyataan hidup sehari-hari.
Yang menarik, refleksi Emha terfokus pada kisah-kisah hidup orang-orang pinggiran. Di halaman persembahan buku ini, secara eksplisit Emha menyebut ’’orangorang yang dianiaya’’, ’’orang-orang yang ditindas’’, ’’orang-orang yang dirampas kemerdekaannya’’, dan ’’orang-orang yang dimiskinkan’’.
Penyebutan Emha ini jelas merupakan sebentuk keberpihakan yang sifatnya cukup ideologis. Artinya, dalam meneropong kenyataan hidup yang timpang, Emha berada di pihak mereka yang terpinggirkan itu. Pihak yang terpinggirkan kerap tak memiliki saluran untuk menyatakan diri di ruang publik sehingga Emha kemudian seperti menjadi juru bicara untuk mereka.
Contohnya seperti kisah para pedagang di pasar yang diancam secara samar oleh seorang pejabat lantaran proses pembongkaran dan renovasi pasar. Emha menam- pilkan dialog orang-orang kecil yang resah dan merasa tak dihargai itu. Di sebuah bagian, Emha menulis bahwa mereka bukannya tidak setuju, tapi hanya ingin diajak berunding, diakui, dan dihargai bahwa mereka juga adalah subjek utama pembangunan.
Esai-esai dalam buku ini memang ditulis pada paro pertama dekade 1990-an, saat pemerintah Orde Baru nyaris sepenuhnya tak memberikan ruang kritis dan ruang partisipasi masyarakat dalam proses politik dan pembangunan. Kisah pedagang pasar di atas cukup sering terjadi, tapi tak ada media yang siap mengangkat isu ini secara terang-terangan.
Lebih dari sekadar menyajikan ironi pembangunan, Emha memberikan refleksi sederhana yang cukup tajam dan mendasar. Misalnya terkait kasus pembangunan Kedung Ombo, Jawa Tengah, yang mendapat penolakan dari warga namun akhirnya diresmikan pada 1991.
Seperti pedagang pasar, warga sebenarnya tidak hendak membangkang dan melawan program pembangunan yang dicanangkan pemerintah. Mereka hanya menuntut keadilan. Tapi, tulis Emha, apakah untuk menuntut keadilan warga akhirnya harus mendapat cap sebagai ’’melawan konstitusi’’?
Perlawanan memang identik dengan orang-orang pinggiran, termasuk di antaranya kaum buruh. Masalahnya, pemerintah Orde Baru ketika itu kemudian terbiasa memberikan stigma negatif kepada para buruh yang sering memprotes ketidakadilan yang dialaminya dengan menyebut mereka sebagai ’’komunis’’. Padahal, tulis Emha, tak harus menjadi komunis untuk memprotes ketidakadilan.
Namun, Emha tak hanya berhenti Gelandangan di Kampung Sendiri: Pengaduan Orang
Orang Pinggiran
Emha Ainun Nadjib
Bentang Pustaka, Jogjakarta
Pertama, Maret 2015
viii + 288 halaman
978-602-291-078-7 di sini. Emha mengajak pembaca untuk menelaah lebih dalam. Jika isu buruh dalam konteks internasional memang cukup identik dengan komunis, Emha mengusik kita untuk melihat kenyatan kaum buruh di negara-negara komunis yang ketika itu justru ditindas penguasa. Malah kaum buruh di negara kapitalis cenderung berjaya.
Selain berangkat dari hasil pengamatan, Emha menulis esai-esainya berdasar pengaduan, baik secara langsung maupun melalui surat. Pada 1992, Emha misalnya, pernah menerima surat dari seorang pendeta di Nusa Tenggara Timur yang menyampaikan keresahannya akibat proyek hutan tanaman industri yang menggusur hutan adat dan padang ternak warga dan jemaatnya. Mereka sudah mengadu kepada aparat, tapi hasilnya nihil dan tak memuaskan.
Emha juga menulis beberapa esai tentang kasus mutilasi di Probolinggo pada 1992 yang membuat geger. Mbah Jiwo, seorang nenek, memutilasi cucunya sendiri.
Badan cucunya itu diiris-iris menjadi 79 bagian. Sebagian, kabarnya, dijadikan bahan membuat rawon. Orang-orang terkejut, juga mengecam. Atas peristiwa ini, Emha mengemukakan refleksi menarik.
Kalau orang-orang terkejut dengan sadisme Mbah Jiwo dan menganggap Mbah Jiwo sebagai orang yang tak normal, mengapa banyak warga memandang biasa realitas yang sebenarnya juga tak biasa dan bahkan mungkin juga termasuk sadis?
Emha menyebut seorang ibu di pasar yang bekerja mulai tengah malam hingga esok sorenya hanya untuk seribu–dua ribu rupiah, sementara di sebuah kantor ada orang yang hanya duduk-duduk digaji ratusan juta rupiah. Apakah ini bukan sadisme dalam mekanisme perekonomian kita?
Di tengah berbagai fenomena ketimpangan sosial dan ketidakadilan itu, memang ada para pemuda yang tampak peduli, misalnya, dengan menggelar demonstrasi. Namun, atas fenomena seperti ini, Emha memberi catatan kritis. Emha khawatir mereka yang ’’hobi’’ demonstrasi itu ’’lebih berorientasi kepada keasyikan memprotes daripada pencarian jalan keluar’’.
Meskipun esai-esai dalam buku ini ditulis lebih 20 tahun lalu, kekuatan refleksi dan relevansinya tetap cukup kuat. Esai-esai dalam buku ini tidak saja menghadirkan suara orang yang terpinggirkan, tapi juga memuat refleksi kritis terkait isu pembangunan dan kehidupan sosial pada umumnya.
Bukankah ketimpangan sosial yang menuntut perhatian pemerintah dan semua unsur masyarakat hingga ini masih menjadi masalah serius bagi bangsa ini? Bukankah masih banyak warga kita yang menjadi gelandangan di kampung sendiri? Demikian juga masalah pembangunan kadang juga masih berbenturan dengan aspirasi masyarakat, seperti dalam kasus pembangunan semen di Rembang, Jawa Tengah.
Kekuatan esai-esai Emha terletak pada sudut pandangnya yang kritis, reflektif, dan tak biasa sehingga dapat menghadirkan kenyataan hidup yang timpang dengan lebih menggugah. Perspektif Emha dalam esai-esainya menghidupkan kepekaan kemanusiaan kita yang mendasar sehingga juga menggiring kita untuk berbuat sesuatu demi mengatasi berbagai realitas timpang itu meski dengan cara yang sederhana. (*) Dosen Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep