Usia yang Mengisahkan Peradaban
BANYAK buku yang kita baca. Namun, kita sering kali tak memperhatikan tahun berapa buku itu dibuat. Beragam buku dibaca sekadar untuk menambah informasi dan wawasan melalui deretan kata dan kalimat di dalamnya.
Kita luput mengamati buku sebagai sebuah makhluk yang memiliki tahun kelahiran. Ia kadang melintas waktu, meretas zaman, menjadi warisan berharga di alih generasi. Buku-buku yang demikian kadang dianggap tak menarik lagi, kuno, lapuk, dan berdebu.
Padahal, usia buku mengisahkan sebuah peradaban. Melihat tahun terciptanya suatu buku, kita diajak menyibak sejarah yang melatarbelakangi kenapa buku itu harus lahir.
Di satu sisi, kita dapat menelisik tingkat pemikiran manusia di masanya. Di sisi lain, kita juga dapat mengetahui struktur kemajuan sebuah bahasa, komunikasi, dan interaksi. Lebih penting lagi, usia buku akan menuntun kita untuk mengenali tingkat peradaban suatu masyarakat kala buku itu dibuat.
Bukan suatu hal yang asing, banyak buku yang dilarang dan dibakar pada zamannya, namun kemudian menjadi buku terbaik di masa sesudahnya. Atau sebaliknya, suatu buku dipuja di sebuah era, tapi dihujat di era setelahnya.
Kelahiran sebuah buku sering kali berkaitan dengan pertarungan idealisme, perjuangan, serta pertentangan antara penulis dan penguasa. Walaupun tak sedikit pula yang menjadikan buku sebagai alat puja-puji. Kemunculan buku sarat akan kepentingan.
Karena itu, mengintip usia dan tahun kelahiran sebuah buku akan membawa kita pada belantara memori historis yang lebih luas tentang polemik kebudayaan dan peradaban suatu masyarakat.
Dalam konteks ini, saya justru lebih tertarik untuk mengisahkan bagaimana usia buku yang hanya berisi angka tahun mampu membawa temuan dan hal lain yang lebih kompleks. Asep Yudha Wirajaya (2009) melakukan penelitian mendetail tentang usia sebuah naskah kuno. Dia menekankan dua metode untuk mengetahui usia sebuah buku, terutama naskah-naskah yang dibuat tanpa adanya keterangan gamblang terkait tahun berapa ia diciptakan.
Pertama, interne evidentie, yakni metode memperkirakan umur suatu buku dengan cara memanfaatkan data fisik yang terdapat dalam buku itu sendiri. Dalam konteks ini, penggunaan jenis kertas menjadi penting untuk diketahui.
Sering kali kertas yang digunakan dalam buku-buku lawas memperlihatkan tanda, simbol, dan lambang pabrik pembuat kertas. Tanda yang demikian biasa disebut dengan watermark.
Artinya, usia pembuatan buku itu terjadi di rentang eksistensi kehidupan sebuah pabrik pembuat kertas. Buku-buku lawas di Eropa, misalnya, memiliki spesifikasi kertas tertua pada beberapa buku dengan watermark tahun 1346, terdiri atas 271 model yang berasal dari Italia, Prancis, dan Jerman. Walaupun kadar usia kertas sebuah buku dapat ditentukan lewat penelitian laboratorium, mengamati watermark adalah metode yang paling sederhana dan memungkinkan untuk dilakukan siapa saja.
Kedua, externe evidentie, merupakan metode mengetahui usia sebuah buku dengan memanfaatkan data dari luar buku itu. Hal tersebut biasanya terjadi pada naskahnaskah kuno seperti babat atau serat di Jawa atau naskah-naskah yang ditulis pada daun lontar, kulit binatang, dan batu.
Naskah yang demikian sering kali berisi kisah yang berhubungan dengan kehidupan raja dan kerajaan. Kakawin Arjunawiwaha, misalnya, tak menjelaskan tahun pembuatannya, namun pada salah satu bagian cerita menyebutkan nama Raja Airlangga.
Artinya, kita dapat menghubungkan usia pembuatan naskah itu dengan rentang kekuasaan yang dimiliki Raja Airlangga. Tentu saja tidak dapat diketahui dengan detail dan pasti tahun kemunculan naskah.
Namun, masa pemerintahan suatu raja menjadi petunjuk yang jelas bahwa naskah itu dibuat di masa dan zaman ketika dia berkuasa. Hal tersebut juga terjadi pada kasus musik di Jawa.
Gending-gending kuno tak diketahui tahun penciptaannya. Namun, terdapat Serat Wedhapradangga, mengisahkan gending-gending yang dipersembahkan untuk raja-raja yang bertakhta. Dengan kata lain, serat tersebut menuntun bahwa gending itu diciptakan pada suatu masa raja tertentu yang dapat diketahui dengan jelas jangkauan waktunya.
Usia sebuah buku memberikan informasi tentang idealisme penulis. Banyak penulis yang diburu, dipenjarakan, dan menjadi buron karena bukunya. Kisah yang demikian banyak kita jumpai pada masa Soeharto atau Orde Baru. Mungkin hari ini kita tak merasakan gejolak apa pun kala membaca buku-buku mereka.
Berganti hari kemudian memberikan kesan berbeda dalam memaknai sebuah buku. Namun, dengan melirik tahun buku itu dibuat, kita dapat melihat segala pergulatan dan peristiwa besar yang sarat makna dan nilai. Buku dalam hal ini tak ubahnya sebuah monumen.
Tahun pembuatannya bukan semata deretan angka. Angka itu sendiri hidup dan abadi. Dengan demikian, cobalah lihat tahun berapa buku-buku yang Anda baca itu diciptakan. Bisa jadi Anda akan mendapatkan pengalaman lain yang menarik dengan mengetahui dan menganalisisnya. (*) *) Esais, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta